Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Hujan
Pintu apartemen terbuka perlahan, Sean melangkah masuk ke dalam, tubuhnya masih terasa ngilu akibat insiden tadi, rintik hujan di luar baru saja benar-benar berhenti. Sepi, hanya suara televisi yang memutar tayangan larut malam memenuhi ruangan.
Di depan layar, Elio, temannya, sudah terlelap dengan posisi nyaris terguling dari sofa. Mulutnya sedikit terbuka, dan remote TV masih tergenggam di tangannya.
"Elio, bangun, pindah ke kamar, sana!" Sean merasa lelah, namun dirinya geli pada saat melihat temannya yang ngiler.
Elio bergumam tanpa sadar, "Aku nggak makan pembaca yang gak like dan komentar, sumpah!" katanya sambil menggeliat, lalu perlahan berdiri dan tersandung menuju kamar tamu, masih setengah sadar.
Gerakannya mirip seperti zombie yang terlalu malas bicara.
Begitu pintu kamar tertutup, Sean menghela napas panjang, dia duduk di sisi sofanya, mengangkat kepalanya untuk menatap langit-langit.
Tangannya meraih jaket yang sempat ia gunakan untuk memayungi Liliana, masih sedikit lembap dan masih ada jejak hangat dari malam yang aneh itu.
Sean berbisik sendiri, "Setiap kali hujan dia muncul dan saat hujan berhenti dia menghilang?"
Matanya menatap ke arah jendela besar di ruang tengah, beberapa tetes air masih meluncur perlahan di permukaan kaca.
"Ini bukan hal biasa, bukan kebetulan dan dia bukan orang biasa, tapi kenapa harus saat hujan?" batinnya yang semakin kebingungan.
Ia bangkit, berjalan ke jendela, membuka sedikit celah untuk merasakan udara malam.
Sean masih berpikir, "Apa aku yang terlalu banyak mikir? Atau dia benar-benar bukan dari sini?"
Ia menyentuh bekas luka kecil di bibirnya, hasil dari kejadian dengan preman tadi dan tersenyum tipis.
"Tapi, kalau benar dia datang karena hujan, aku harap hujan turun lagi besok." lirihnya.
Suara gemerisik dari televisi yang belum dimatikan mengalihkan perhatian Sean, ia menoleh perlahan.
"— dan menurut laporan terbaru dari BMKG, hujan malam ini mungkin menjadi salah satu yang terakhir dalam beberapa minggu ke depan. Musim kemarau diprediksi akan datang lebih awal dari biasanya tahun ini, menandai berakhirnya musim hujan di sebagian besar wilayah kota—"
Suara reporter di layar begitu biasa, netral, dan profesional. Tapi di telinga Sean, suara itu menggema, seperti palu yang memukul keras dadanya.
Sean terdiam, "Musim kemarau?"
Ia duduk kembali ke sofa, tangannya mengepal perlahan dan perasaan cemas tiba-tiba menyusup, sebuah kekhawatiran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kalau benar dia hanya datang saat hujan, berarti?" katanya di dalam hati.
Ia memejamkan mata, mengingat saat terakhir Liliana menoleh padanya sebelum menghilang, caranya memandang, ekspresinya, suaranya. Semua terasa nyata, tapi juga begitu rapuh seperti mimpi yang bisa pecah kapan saja.
Sean dengan pelan dan penuh harap berkata, "Apa aku nggak akan bisa lihat dia lagi?"
Ia menatap ke arah jendela, di luar sana, rintik hujan terakhir mulai reda dan langit mulai membuka celah, memperlihatkan sedikit warna oranye dini hari yang akan segera datang.
"Jangan pergi, belum sekarang!" lirih Sean yang semakin merasa sedih hingga air matanya menetes.
Tangannya mengepal lebih erat, dan untuk pertama kalinya sejak lama Sean merasakan perasaan takut.
Takut akan kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat benar-benar ia miliki.
Hari-hari berlalu, matahari terus bersinar terik tanpa ampun, cuaca begitu kering, dan langit tampak terlalu biru dengan tanpa awan yang menghiasi langit, terlalu kosong.
Sean duduk di depan mejanya, tumpukan naskah mulai menumpuk di sisi kanan, sementara cangkir kopi yang sudah dingin dibiarkan terlupakan di sisi kiri.
Tangannya menggenggam erat selembar kertas yang mulai kusut, kertas yang begitu berarti baginya.
Pesan di kertas itu tertulis dengan tulisan tangan halus.
"Jangan menyerah hanya karena hari ini gelap, terkadang malam adalah tempat mimpi-mimpi besar terlahir." pesan dari tulisan tangan Liliana.
Liliana memang suka menulis pada saat dia berada di kamar Sean.
Sean menatap tulisan itu lama, rasanya seperti mendengar suara Liliana kembali, lembut dan tegas dalam satu waktu.
Sean berbisik pada dirinya sendiri, "Kamu pergi tapi kamu juga yang nyuruh aku bertahan, ya?"
Dia menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit kamar, hujan tak kunjung turun, dan tak ada tanda bahwa Liliana akan kembali.
Namun, berbeda dengan masa lalunya yang kelam dan penuh keputusasaan, kali ini Sean menemukan satu alasan untuk tetap melangkah, 'Kenangan Liliana.'
Dia menyalakan laptopnya. Membuka dokumen kosong. Menamai file itu, "Hujan," dan dia mulai menulis.
"Kalau aku nggak bisa bertemu kamu di dunia nyata maka aku akan menulisimu dalam cerita, berkali-kali sampai hujan turun dan kita akan bertemu lagi." kata Sean dengan berkata mantap di dalam hatinya.
Tumpukan buku berserakan di sekitar ranjang, beberapa terbuka di halaman teori metafisika kuno, sementara lainnya jatuh begitu saja ke lantai, seolah ikut menyerah bersama pemiliknya.
Liliana duduk bersandar di kepala tempat tidur, rambut panjangnya sedikit kusut, dan matanya tampak lelah, bukan karena kurang tidur, tapi karena terlalu banyak berharap.
Di tangannya, ia memegang satu buku terakhir yang berisikan halamannya kosong. Liliana memandanginya dengan kosong pula.
Liliana berbisik, "Tak ada satu pun yang menjelaskan kenapa aku bisa ke sana—hmph!"
Dia menoleh ke arah jendela, langit sore kini tidak menjanjikan apa pun, cerah dan terlalu cerah, awan pun enggan menampakkan diri.
Liliana berkata pelan dengan penuh harap dan bertanya, "Hujan hanya itu caraku bertemu denganmu, ya?"
Ia memeluk buku kosong itu erat ke dadanya. Meskipun dirinya berasal dari keluarga terkaya di dunia, dengan segala akses dan fasilitas tak terbatas, rasa rindu dan kosong ini tak bisa dibeli atau diatasi oleh siapa pun.
Liliana berbisik, seperti sedang berdo'a, "Sean, apa kamu juga sedang memikirkan aku di sana?"
Angin sore bertiup lembut dari jendela yang terbuka, membuat helaian rambutnya menari pelan dan untuk sejenak, Liliana membiarkan air matanya jatuh, diam-diam, tak bersuara.
Air matanya jatuh tepat saat langit mendadak gelap dan setitik hujan pertama menyentuh jendela besar di kamarnya. Hujan turun pelan, namun pasti, seperti jawaban atas harapannya yang selama ini dipendam.
Tetes, demi tetes terus berjatuhan.
Dan pada saat yang bersamaan, mata Liliana terpejam. Kepalanya tertunduk ke depan, tubuhnya lemas, seperti kehilangan kesadarannya.
Namun sebelum tubuhnya benar-benar jatuh, udara di sekitarnya mulai bergetar halus. Ada semacam aliran energi lembut yang mengelilingi dirinya dan seperti menariknya pergi.
...----------------...
Di Jalan Menuju Apartemen Sean, langkah Sean terhenti di trotoar dan stetes hujan jatuh di ujung hidungnya. Lalu dua tetes, ribuan hingga Sean kini menatap langit dengan penuh harapan.
Tubuhnya perlahan basah. Tapi dia tidak bergerak, dia justru berdiri diam, membiarkan dirinya larut dalam air yang jatuh dari langit air yang seperti membawa rasa rindu dari seseorang.
Sean menunduk, dan setitik air mata jatuh bersamaan dengan hujan.
Seketika ia merasa dingin, namun juga hangat, hatinya seperti bergolak.
Sean menatap langit dan berkata, "Liliana..."
Dan pada saat Sean akhirnya kembali membuka pintu apartemennya, dia basah, dan kelelahan. Namun, harapannya kini terkabul.
Di sana, terlihat seorang gadis duduk di sofa lamanya, dengan pakaian yang kembali sedikit basah namun wajahnya pucat dan kelelahan.
"Liliana!"
Dia terlihat seperti baru saja terbangun dari mimpi panjang, matanya sedikit kosong, namun perlahan menatap Sean yang kini berdiri membeku di ambang pintu.
Liliana dengan lembut berkata dengan nada yang penuh akan kerinduan, "Sean"
Sean membisu, kemudian tersenyum samar, "Kamu kembali."