Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peperangan Spiritual di Tempatnya Wayan
"Akhirnya kau kembali juga, Aji," seru Wayan, seseorang yang melatih Aji berkuda dan bagaimana caranya memegang senjata.
Aji kaget. Ternyata ia terlempar hingga desa dekat rumahnya. Pun, tak jauh dari pusat Kerajaan Majapahit. Tiba-tiba saja ia duduk di samping Wayan yang sedang bermeditasi. Di dalam rumah Wayan, yang juga aktif membuat senjata, khususnya adalah keris.
"Santai, Aji," ujar Wayan nyaris tertawa lebar. "Tarik napasmu dalam-dalam, lalu embuskan. Sepertinya kau baru saja mengalami hal-hal kurang menyenangkan. Dan, dari mana saja kau selama ini?"
Aji mengikuti saran Wayan. Ia tarik napas dan mengembuskannya. Setelah itu, barulah ia berkata, "Sari menghilang. Dan, selama ini, aku di pulau seberang. Di Suwarnadwipa, dan di wilayah yang katanya banyak warganya yang kanibal, tapi justru mereka... masyarakat yang sangat ramah daripada di Yawadwipa ini."
"Sari menghilang?" Wayan mengernyitkan dahi. "Bagaimana bisa? Memang, selama ini aku pernah mendengar bahwa ia diculik hingga dibawa ke luar pulau. Sisanya aku tidak tahu lagi."
"Justru itu, Wayan," Aji berkata dengan raut wajahnya tegang. "Aku pun, jika bukan karena kebiasaan pindah-pindah ini, aku tidak akan bisa menuju tempat Sari dan Nawang Wulan disekap. Mereka berhasil aku bebaskan, dan kami menuju wilayah kanibal itu. Beberapa minggu kami di sana, hingga Sari hilang. Pemimpin di sana bilang, ada kemungkinan Sari diculik oleh makhluk gaib."
Wayan terdiam cukup lama. Hanya suara kayu yang dipukul pelan. Entah karena ia mencoba menenangkan diri atau hanya sekadar menata pikirannya. Obor kecil yang menggantung di sisi kanan rumahnya bergoyang-goyang, memantulkan bayang-bayang Wayan ke seluruh dinding bambu.
“Ada yang harus kau ceritakan dengan sangat jelas, Aji,” katanya akhirnya. “Makhluk gaib seperti apa? Yang kau lihat apa? Ciri-cirinya apa?”
Aji memijit pelipisnya. Napasnya masih cepat.
“Di sana, mereka menyebutnya begu ganjang. Semacam bayangan tinggi… memanjang… bisa sebesar pohon aren. Hampir tak terlihat wajahnya. Dan kemarin malam… dia muncul.”
Wayan mengepalkan tangan, reaksi yang jarang terlihat dari sosok setenang dirinya.
“Begu—ganjang?” Wayan mengulang pelan. “Makhluk itu… bukan dari tanah sini. Bukan dari bumi Majapahit.”
“Jadi kau tahu?” Aji mendongak cepat.
Wayan menatapnya lama, seolah sedang menimbang apakah Aji siap mendengar sesuatu yang lebih besar dari sekadar legenda.
“Aku tidak sepenuhnya tahu,” jawab Wayan, “tapi aku pernah mendengar dari para bhiksu yang singgah di sini. Mereka bercerita tentang makhluk-makhluk dari dataran jauh, dari utara, dari arah yang bukan dunia manusia. Makhluk yang bisa membentangkan tubuhnya seakan-akan tidak berbatas.”
Aji memeluk lututnya. Ujung jarinya bahkan terasa dingin. “Wayan… aku takut Sari tersedot ke dimensi lain. Sama seperti aku, tapi… dia bukan aku. Dia bukan seseorang yang mampu menahan tarikan lubang hitam atau pergeseran dunia.”
Wayan menunduk.
“Aji,” katanya lembut. “Kau berpikir bahwa kemampuanmu berpindah dunia itu sebuah kutukan. Tapi aku yakin itu juga bagian dari takdirmu. Ada alasan kenapa kau yang terpilih, bukan orang lain.”
Aji menghela napas panjang. “Tapi aku tidak ingin menjadi terpilih jika harus kehilangan adikku.”
Wayan menepuk bahu Aji, sekali, tapi kuat.
“Dengar aku baik-baik,” kata Wayan. “Jika makhluk itu benar-benar yang kau lihat, maka Sari tidak hilang. Ia dipindahkan. Dan sesuatu yang dipindahkan masih mungkin kau temukan.”
Aji menatap gurunya itu dengan harapan tipis.
“Bagaimana cara menemukannya?”
Wayan bangkit berdiri, menuju rak kayu yang penuh dengan bilah logam setengah jadi. Ia menarik sebuah keris berukuran lebih pendek dari biasanya, dengan gagang kayu hitam yang halus.
“Keris ini,” katanya sambil menyerahkannya. “Namanya Kaliswari. Belum sempurna, tapi cukup untuk menstabilkan ruang di sekitarmu.”
Aji memandang keris itu. Langsung ia merinding. Bilahnya seakan memantulkan cahaya yang tidak berasal dari obor.
“Apa keris ini bisa membantuku kembali ke… ruang lain itu?” tanya Aji yang masih ketakutan.
“Bukan kerisnya,” jawab Wayan, “tapi energi yang tersimpan di dalamnya. Kau pernah merasakan tarikan lubang hitam itu, bukan? Kau bisa memicu pergeseran ruang… tapi tanpa penyeimbang, tubuhmu bisa tercerai-berai di antara dua dunia. Kaliswari mencegah itu.”
Aji menelan ludah. “Aku tidak tahu apakah aku masih bisa memicunya lagi.”
Wayan tersenyum kecil. “Kau bisa. Kau pernah melakukan lebih dari sekali. Dan kau masih hidup.”
Aji memejamkan mata. Ia mengingat tarikan gelap yang menyeretnya dari Suwarnadwipa ke rumah Wayan. Mengingat suara Sari yang terdengar dari dalam pusaran. Mengingat bayangan tinggi yang berdiri di antara pohon-pohon.
“Ada sesuatu lagi,” kata Aji perlahan. “Makhluk itu… seperti sedang menonton. Seperti sengaja membiarkan aku ditarik masuk.”
Wayan mendecak kecil. “Kalau begitu… Sari tidak diculik untuk dimakan.”
“Jadi?”
“Mereka menginginkanmu.”
Aji merinding.
“Kenapa aku?” seru Aji hampir memohon. “Apa yang mereka inginkan dariku?”
Wayan mendudukkan diri kembali.
“Aji,” kata Wayan. “kau bukan sekadar anak Majapahit. Dari dulu aku curiga ada sesuatu dalam tubuhmu. Bukan roh jahat. Bukan kutukan. Tapi energi yang sangat-sangat tua.”
Langsung Wayan menunjuk dada Aji. “Energi itu yang membuatmu bisa melewati batas ruang.”
“Tapi aku tidak pernah memintanya!” Aji membalas.
“Tapi energi itu memilihmu.”
Aji menunduk. Tangannya gemetar. Wayan membiarkannya beberapa saat.
Kemudian sang guru berkata, “Jika Sari dibawa oleh makhluk yang memahami energi itu… maka mereka sedang menunggu sesuatu. Menunggu kau mengikuti. Dan mereka tahu kau akan pergi.”
Aji mengepal. “Tentu saja aku akan pergi! Sari sendirian di sana!”
“Kau akan pergi,” sahut Wayan pelan, “tapi bukan tanpa persiapan.”
Wayan bangkit, bergerak cepat ke pojok rumahnya. Ia menggeser sebuah peti kayu besar, membuka kuncinya, dan mengeluarkan gulungan kain panjang berwarna merah bata.
“Ini pakaian pelindung dari para empu di barat,” jelas Wayan. “Tidak sempurna, tapi cukup menahan serangan energi.”
Lalu Wayan pun mengambil sebuah kantung kecil dari tempurung kelapa. “Ini garam suci dari para brahmana. Taburkan ketika kau merasa ruang di sekitarmu mulai retak.”
Aji mengangguk cepat, mengambil semuanya tanpa bertanya.
“Dan terakhir…” Wayan membuka kotak kecil berisi tiga lembar daun yang tampak mengering. “…daun kalimosodo. Jika kau merasuki ruang gelap itu, kunyah satu lembar. Itu akan menahan kesadaranmu agar tidak hilang.”
Aji mengambilnya hati-hati.
“Wayan…” suara Aji makin bergetar. “Terima kasih.”
Wayan mengangkat alis. “Kau pikir aku membantumu karena belas kasihan?” Ia mengerling. “Tidak, Aji. Kau ini muridku. Kalau sampai hilang di dunia lain, aku harus cari sampai ujung bumi. Itu merepotkan.”
Aji tertawa spontan. Tawa yang tipis, pendek, tapi nyata.
“Sekarang,” kata Wayan sambil duduk bersila kembali, “coba ceritakan lagi proses bagaimana lubang itu menarikmu. Apa yang kau rasakan. Apa yang kau pikirkan sebelum berpindah.”
Aji memejamkan mata. Mengingat.
“Waktu itu aku mengejar kain milik Sari. Aku berpikir hanya satu hal: aku harus menyusulnya. Aku tidak peduli ke mana.”
Wayan mengangguk. “Energi mengikuti niat. Kau fokus, dan alam merespon.”
“Aku merasa dadaku panas. Telapak tanganku kesemutan. Lalu tanah di bawahku retak… seperti ada mulut besar terbuka.”
“Bagus. Sekarang…” Wayan menarik napas dalam. “…coba ulangi perasaan itu.”
Aji ragu. “Di sini?”
“Tenang saja. Aku ada di sini. Kalau kau sampai hilang setengah badan, aku tarik sisanya.”
Aji memutar bola mata. “Wayan, itu tidak lu—"
Namun Wayan sudah menutup mata, memusatkan energi.
Aji duduk bersila. Memegang keris Kaliswari erat-erat. Ia mengingat wangi tanah basah. Suara Sari yang menangis. Cahaya gelap yang berputar. Energi yang menelan. Dadanya mulai panas. Telapak tangan bergetar. Lantai bambu di bawahnya berderak pelan.
Wayan membuka satu mata, menilai keadaan. “Bagus… teruskan… tapi jangan terlalu dalam.”
“A-aku bisa merasakannya!” kata Aji napas tersengal.
Cahaya redup dalam rumah itu tiba-tiba bergetar. Bayangan Wayan dan Aji memanjang ke tiga arah sekaligus, seperti ditarik sesuatu dari luar.
“Wayan… aa—da sesuatu yang memanggil!”
“Fokus!” perintah Wayan. “Tapi jangan biarkan ia menyeretmu penuh!”
Aji semakin gemetar. Cahaya gelap mulai muncul di sisi kirinya. Yang halus dan tipis seperti asap hitam yang berputar.
“Aku lihat sesuatu… seperti jendela!”
Wayan berdiri, menahan pusaran dengan telapak tangannya. “Baik! Sekarang arahkan niatmu! Jangan membiarkan ia memilih tujuan sendiri! Pikirkan Sari! Hanya Sari!”
“Aku—aku pikirkan Sari! Sari… Sari…!”
Pusaran semakin besar. Lantai rumah bergetar keras.
Wayan memaki dalam bahasa Bali Kuno. “Astaga… kau terlalu kuat! Aji, lepas sedikit!”
“TIDAK! Aku harus ke Sari!”
“Kalau terlalu cepat, jiwamu bisa tercerai! Kendurkan dulu!”
Namun Aji tidak mendengar. Cahaya gelap itu membesar. Kali ini membentuk pusaran yang sama seperti yang menelannya di Suwarnadwipa.
“Wayan… aku… aku melihat sesuatu…”
“Apa!?” bentak gurunya.
“Aku melihat… tangan kecil… i-itu tangan Sari!”
Wayan merapatkan rahangnya.
“Baik.” Ia menurunkan tangannya. “Kalau begitu… pergi.”
“Wayan… aku—”
Sebelum ia bisa melanjutkan, energi gelap meledak, dan tubuh Aji terangkat dari lantai.
“Cari adikmu!” teriak Wayan.
Aji lalu ditelan dan bersiap untuk berpindah lagi. Padahal belum ada sehari ia di tempatnya Wayan.