Nama Tokoh Utama: Arsaka Adyatma
Latar: Dunia Kultivator Jepang (Nihon Reikai), tersembunyi di dimensi lain.
Ringkasan Plot
Arsaka Adyatma, seorang mahasiswa teknik elektro yang realistis dari Jakarta, melakukan perjalanan wisata ke Kyoto, Jepang. Ketika ia menyentuh sebuah Gerbang Kuil kuno yang tersembunyi dimensinya, ia secara tak sengaja ditarik ke dalam Nihon Reikai—Dunia Kultivator Jepang, sebuah dimensi di mana hukum fisika digantikan oleh energi spiritual yang disebut Reiki atau Ki, dan kekuatan menentukan segalanya.
Tiba-tiba terdampar dan dilengkapi dengan sistem antarmuka mirip game yang misterius dan warisan unik Segel Naga Void yang tidak aktif, Arsaka mendapati dirinya berada di dasar rantai makanan. Ia diselamatkan oleh murid-murid dari Sekte Awan Guntur di tepi Kekaisaran Tiga Bintang, yang langsung meragukan asal-usulnya.
Novel ini mengikuti perjalanan Arsaka dari seorang Murid Tahap Awal yang naif menjadi seorang Kaisar Kultivasi yang ditakuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sourcesrc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Dunia kultivasi, seperti yang Arsaka pelajari, bukanlah tentang pencerahan yang tenang di puncak gunung yang indah. Setidaknya, tidak untuknya. Baginya, kultivasi berbau seperti belerang, telur busuk, dan lumpur yang difermentasi.
Kolam Pemurnian Tanah telah menjadi rumah keduanya.
Dalam dua minggu berikutnya, Arsaka Adyatma mengembangkan reputasi di antara para Murid Luar Sekte Awan Guntur. Dia bukan lagi "si Asing" atau "si Jenius Raiden". Dia dikenal sebagai "Si Pertapa Lumpur" (Katak Lumpur, menurut Katsuo dan teman-temannya).
Rutinitas hariannya sangat brutal dan monoton, sebuah jadwal yang hanya bisa ditoleransi oleh seorang mahasiswa teknik yang terbiasa begadang seminggu penuh untuk ujian akhir.
Setiap pagi sebelum fajar, dia akan bangun di pondoknya, mengganti jubah putihnya yang bersih dengan jubah latihan compang-camping yang khusus ia sisihkan. Dia kemudian akan berjalan ke Kolam Pemurnian Tanah, mengabaikan tatapan jijik dari murid-murid yang menuju Paviliun Dapur untuk sarapan.
Dia akan duduk bersila di tepi kolam berlumpur itu, di mana baunya paling menyengat, dan memulai.
Selama delapan belas jam sehari, dia melakukan dua hal secara bersamaan:
Kultivasi Eksternal: Menggunakan Mugen Kyūki untuk menyerap Reiki Tanah yang sangat padat namun tercemar dari kolam.
Kultivasi Internal: Menggunakan "Filter Pemurnian Internal" yang baru ia ciptakan untuk melatih Teknik Tinju Tanah Naga berulang kali.
Bagi orang luar, itu adalah pemandangan yang aneh dan menjijikkan. Arsaka akan duduk tak bergerak selama berjam-jam, tubuhnya perlahan-lahan tertutup lapisan lumpur kering yang beruap, sementara auranya berfluktuasi dengan energi cokelat yang berat.
Namun bagi Arsaka, itu adalah surga efisiensi.
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
Mugen Kyūki (Dasar) telah menyerap Reiki tercemar selama 50 Jam.
Keahlian Ditingkatkan: Mugen Kyūki (Dasar - Lvl 2). Efisiensi Pemurnian: +20%.
Afinitas Tanah Meningkat: 20/100 -> 35/100.
Peringatan: Tubuh Anda mulai menunjukkan resistensi terhadap racun mineral.
Rasa sakitnya luar biasa. Reiki "kotor" itu, bahkan setelah disaring oleh Mugen Kyūki, masih terasa seperti meminum pasir cair. Itu menggores meridiannya, dan dia harus terus-menerus menggunakan Reiki yang baru diserap untuk memperbaiki kerusakan mikro. Itu adalah siklus penghancuran dan pembangunan kembali yang konstan.
Namun hasilnya... hasilnya sangat fenomenal.
Setiap hari, Teknik Tinju Tanah Naga-nya menjadi lebih kuat. Dia tidak lagi memukul batu. Dia sekarang berdiri di tengah kolam, meninju lumpur itu sendiri. Setiap pukulannya mengirimkan gelombang kejut yang padat melalui cairan kental, sebuah latihan resistensi yang sempurna.
Dia juga memperhatikan perubahan pada tubuhnya. Kulitnya menjadi lebih keras, tulangnya terasa lebih berat dan padat.
Dua minggu setelah dia memulai latihannya di kolam (Total 17 hari di Reikai):
Arsaka sedang bermeditasi di kolam ketika antarmuka Sistemnya menyala dengan warna emas.
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
Reiki telah mencapai batas maksimum (250/250).
Menerobos ke Tingkat Kultivasi Berikutnya... BERHASIL!
Tingkat Kultivasi: Murid Tahap Menengah (Fase 4/10).
Hadiah Level: Reiki Maksimum Baru: 300. Peningkatan Kekuatan +10. Peningkatan Pertahanan Fisik +10.
Keahlian Ditingkatkan: Teknik Tinju Tanah Naga (Dasar - 40%).
Sebuah gelombang energi yang hangat dan kuat meledak dari Dantiannya. Lumpur di sekelilingnya terdorong mundur sejauh satu meter oleh ledakan Reiki murni, menciptakan riak sempurna di kolam yang tenang itu.
Arsaka membuka matanya. Dia merasa... kokoh. Dia merasa seperti jangkar.
"Fase Empat," bisiknya, senyum tersungging di bibirnya yang berlumpur. "Enam bulan, katamu, Goro-sensei? Aku bahkan belum sebulan di sini."
Dia berdiri, melangkah keluar dari kolam. Dia sekarang lebih berat dan lebih kuat.
Sayangnya, terobosan itu tidak luput dari perhatian.
"Lihat itu. Si Katak Lumpur membuat kolam meledak lagi."
Suara itu milik Katsuo. Si pengguna pedang berotot itu berdiri di jalur menuju dapur, didampingi oleh dua murid luar lainnya. Mereka jelas-jelas sedang dalam perjalanan untuk sarapan dan berhenti khusus untuk mengejeknya.
"Menjijikkan," kata salah satu temannya. "Dia bahkan tidak berbau seperti manusia lagi. Dia berbau seperti rawa iblis."
Arsaka biasanya mengabaikan mereka. Dia terlalu fokus pada tujuannya. Tapi hari ini, setelah terobosannya, dia merasa sedikit lebih percaya diri.
Dia berjalan melewati mereka, menuju pondoknya untuk membersihkan diri.
"Hei! Aku bicara padamu, Asing!" Katsuo melangkah maju, menghalangi jalan Arsaka. "Kau pikir kau hebat karena kau satu-satunya yang cukup bodoh untuk berendam di kotoran? Kau menodai reputasi Murid Luar!"
Arsaka menatap Katsuo. "Aku berlatih. Sama seperti kalian. Hanya saja... metodeku sedikit berbeda."
"Berlatih?" Katsuo tertawa terbahak-bahak. "Kau menyebut itu latihan? Kau tidak mengayunkan pedang. Kau tidak melatih jurus. Kau hanya duduk di lumpur seperti babi! Kau mungkin telah menipu Penatua Goro dengan Elemen Petirmu, tapi kau tidak bisa menipuku. Kau seorang pengecut."
Katsuo, yang jelas-jelas kesal karena Arsaka tidak menunjukkan rasa takut, memutuskan untuk meningkatkan taruhannya.
"Ayo kita buktikan. Pukul aku," kata Katsuo, menyeringai sambil menepuk dadanya. "Atau lebih baik, biarkan aku menunjukkan padamu apa itu kekuatan Murid Luar yang sebenarnya."
Sebelum Arsaka bisa bereaksi, Katsuo mendorongnya dengan keras di dada, bermaksud membuatnya jatuh kembali ke dalam kolam lumpur.
Itu adalah kesalahan besar.
Katsuo mungkin berada di Fase 6, jauh di atas Fase 4 Arsaka dalam hal Reiki murni. Tapi Katsuo adalah seorang praktisi Api—fokus pada serangan dan kecepatan.
Arsaka, sementara itu, telah menghabiskan dua minggu terakhir melakukan satu hal: menyerap esensi Tanah.
Saat tangan Katsuo menyentuh dada Arsaka, dia tidak mendorong seorang pria. Dia mendorong sebuah batu yang berakar.
Arsaka bahkan tidak bergerak. Dia hanya sedikit menekuk lututnya, secara naluriah mengaktifkan fondasi Tinju Tanah Naga. Reiki Tanah-nya mengalir ke kakinya, menguncinya ke tanah.
Dorongan Katsuo, yang seharusnya melempar Arsaka, berhenti total. Sebaliknya, Katsuo lah yang merasakan getaran tumpul menjalari lengannya, seolah-olah dia baru saja mencoba mendorong dinding benteng.
"Apa...?" Katsuo bergumam, bingung.
"Doronganmu lemah," kata Arsaka datar, suaranya tenang.
Kemarahan melintas di mata Katsuo. Dihina oleh seorang Fase 4 di depan teman-temannya? Tidak bisa diterima.
"Kau...!" Katsuo menarik kembali tangannya, kali ini melapisinya dengan Reiki Api samar, bersiap untuk pukulan sungguhan.
"Katsuo! HENTIKAN!"
Suara itu sedingin es dan memotong ketegangan seperti pisau. Kaguya berdiri di ujung jalan, busurnya di tangan, matanya menyipit marah. Di sebelahnya, Yuuto sedang mencatat dengan panik di bukunya, kuasnya bergerak cepat.
"Kaguya-san!" Katsuo buru-buru menyembunyikan Reiki Api-nya. "Aku hanya... menguji Murid Luar yang baru."
"Kau mengganggunya," kata Kaguya. "Penatua Goro ingin menemuinya. Sekarang."
Katsuo memucat. "Penatua Goro?"
Kaguya mengabaikannya dan mengangguk ke Arsaka. "Ikut aku, Pertapa Lumpur. Dan bersihkan dirimu dulu. Baumu sampai ke Aula Penatua."
Arsaka mengangguk, melemparkan pandangan terakhir yang tenang ke Katsuo—yang kini tampak lebih marah karena diabaikan—dan bergegas ke pondoknya.
Setelah mandi air dingin tercepat dalam hidupnya dan mengenakan jubah putih bersih, Arsaka merasa seperti manusia lagi. Dia mengikuti Kaguya dan Yuuto (yang terus-menerus meliriknya dan mencatat "fluktuasi pasca-lumpur") ke lapangan latihan utama.
Penatua Hirano Goro sedang menunggu. Di depannya diletakkan sebuah batu uji resmi: sebuah kubus sempurna dari Batu Besi Hitam, setebal tepat satu chi (sekitar 30 cm). Ini adalah batu yang sama yang Penatua Goro katakan akan memakan waktu enam bulan bagi Arsaka untuk bisa menghancurkannya.
"Kau telah membuat keributan, Arsaka Adyatma," kata Goro, suaranya datar, tidak menunjukkan apakah dia marah atau terkesan. "Katsuo melaporkan kau menyerangnya."
"Aku hanya berdiri, Sensei," jawab Arsaka jujur.
"Hmph." Goro melirik Katsuo yang berdiri dengan malu di kejauhan. "Berdiri adalah pertahanan terbaik dari Elemen Tanah."
Goro menunjuk ke batu hitam di depannya. "Aku memberimu waktu enam bulan untuk menguasai fondasi Tinju Tanah Naga dan menghancurkan batu ini. Kaguya memberitahuku bahwa kau telah menghabiskan dua minggu di kolam lumpur."
"Ya, Sensei."
"Kau membuat seluruh Paviliun Murid Luar berbau seperti rawa. Kau telah menyebabkan terobosan Reiki yang mengganggu sesi meditasi pagi," lanjut Goro. "Dan kau telah mencapai Fase 4."
Itu bukan pertanyaan. Itu adalah pernyataan. Penatua itu tahu segalanya.
"Kecuali kau bisa membenarkan semua gangguan ini," kata Goro, "hukumanmu karena membuang-buang sumber daya Sekte—bahkan sumber daya lumpur—akan berat."
Dia menunjuk ke batu itu. "Ujianmu dipercepat. Enam bulan menjadi... sekarang. Hancurkan."
Seluruh lapangan latihan terdiam. Para murid lain, termasuk Katsuo, Kaguya, dan Yuuto, berkumpul untuk menonton. Mereka semua tahu seberapa keras Batu Besi Hitam itu. Seorang murid Fase 6 biasa pun akan kesulitan menggoresnya.
Meminta seorang Fase 4 untuk menghancurkannya adalah hal yang mustahil.
Arsaka merasakan tekanan. Ini adalah ujiannya. Ini adalah pembuktian konsep teknik elektro-nya.
Dia mengabaikan para penonton. Dia mengabaikan tatapan ragu Kaguya dan tatapan mencemooh Katsuo.
Dia melangkah ke depan batu itu.
Dia menutup matanya.
Dia tidak memiliki kolam lumpur di sini. Dia tidak punya jangkar eksternal. Dia hanya punya dirinya sendiri dan Afinitas Tanah 35/100 yang telah dia perjuangkan dengan susah payah.
"Sistem, status Teknik Tinju Tanah Naga," bisiknya dalam hati.
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
Teknik: Teknik Tinju Tanah Naga (Dasar - 40%).
Status: Siap.
Dia masuk ke posisi kuda-kuda. Sempurna. Berat badannya terdistribusi secara merata.
Dia menarik napas, persis seperti yang dia lakukan ribuan kali di kolam.
Dia tidak mencoba "Filter Internal" yang rumit. Dia tidak perlu lagi. Reiki Tanah-nya sekarang cukup kuat untuk didorong tanpa memicu badai Petir.
Dia menyalurkan semua Reiki Tanah yang bisa dia kumpulkan dari Dantian Fase 4-nya. Dia menarik energi dari bumi di bawah lapangan latihan. Dia memadatkan semuanya ke dalam kepalan tangan kanannya.
Tidak ada cahaya yang mencolok. Tidak ada aura yang terlihat. Kepalan tangannya hanya tampak... lebih padat, seolah-olah diukir dari batu granit.
Dia membuka matanya.
"HAAAA!"
Dia tidak menggunakan kecepatan. Dia menggunakan beban. Dia menuangkan seluruh berat badan dan energi yang terkompresi ke dalam satu titik di tengah batu hitam itu.
Tinju itu mendarat dengan suara THUD yang berat dan memuakkan.
Selama satu detik, tidak ada yang terjadi.
Katsuo mulai menyeringai. "Dia gagal—"
KRAAAAAKKKK!
Suara itu bukan retakan. Itu adalah suara ledakan terkompresi.
Batu Besi Hitam setebal satu chi itu tidak retak. Batu itu tidak terbelah.
Batu itu meledak menjadi serpihan debu dan kerikil halus.
Keheningan total melanda lapangan latihan. Rahang Katsuo ternganga. Kuas Yuuto jatuh dari tangannya. Bahkan Kaguya pun melebarkan matanya karena terkejut.
Arsaka menurunkan tangannya, terengah-engah. Kepalan tangannya utuh, tidak tergores sedikit pun.
Penatua Hirano Goro menatap debu di tanah, lalu ke Arsaka. Dia tidak tersenyum, tetapi kedutan kecil muncul di sudut matanya—pujian tertinggi yang bisa dia berikan.
Dia berjalan mendekat, dan untuk pertama kalinya, menepuk bahu Arsaka. Tepukan itu terasa berat, seperti lempengan baja, tetapi penuh arti.
"Enam bulan... menjadi tujuh belas hari," gumam Goro, suaranya dipenuhi kekaguman yang nyaris tak terdengar. "Fondasi Tanah-mu... kokoh."
Goro berbalik menghadap murid-orid lain. "Kalian semua lihat! Inilah dedikasi! Inilah kultivasi! Dia mungkin bau, tapi dia lebih kuat dari kalian semua yang hanya tahu cara mengeluh!"
Dia kemudian kembali ke Arsaka. Tanpa sepatah kata pun, dia melemparkan gulungan biru elektrik yang telah disimpan di pondok Arsaka—gulungan yang dilarang disentuhnya.
Arsaka menangkapnya. Jurus Pedang Petir Pertama.
"Fondasi Tanah-mu sudah siap," kata Goro. "Kau telah membangun wadahnya. Sekarang... saatnya mengisi cangkir itu dengan badai."
"Mulai hari ini," lanjut Goro dengan suara yang lebih keras agar didengar semua orang, "Arsaka Adyatma bukan lagi hanya Murid Luar. Dia adalah Murid Pribadi Penatua Ketiga. Siapapun yang mengganggunya, mengganggu aku."
Arsaka memegang gulungan Tanah di satu tangan dan gulungan Petir di tangan lainnya. Keseimbangan telah tercapai.
...