Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Penyihir Hitam
...****************...
Arunika merasa bahwa konflik yang pernah ia baca dalam naskah tua itu mulai terungkap satu per satu.
"Jadi, Madam Mery berusaha kembali ke istana setelah pengkhianatannya?" tanya Arunika pelan, mencoba memahami peran penting yang akan dimainkan wanita tersebut dalam kehidupan mereka.
Pangeran ketiga mengangguk. "Ya, Kakak Ipar. Itulah mengapa kita harus tetap waspada. Madam Mery tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Meskipun dia meminta kesempatan kedua, kami yakin ada sesuatu yang lebih besar di balik kembalinya dia."
Pangeran pertama menambahkan dengan nada serius, "Kami belum mengetahui motif sebenarnya. Tapi aku yakin, ada agenda tersembunyi. Karena itu, kamu harus lebih berhati-hati, Arunika. Jangan sampai terperangkap dalam rencana jahatnya."
Arunika menarik napas dalam-dalam, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat di pundaknya. "Aku mengerti, Pangeran. Setelah pertemuan tadi, aku akan jauh lebih waspada."
"Bagus, Aku percaya padamu." ucap Pangeran pertama sambil menggenggam tangan istrinya dengan lembut namun tegas.
Arunika mengangguk pelan. Ia tahu bahwa peran yang harus dijalaninya sebagai Tuan Putri dan pendamping sang Pangeran bukan sekadar simbol, melainkan posisi kunci dalam menghadapi konflik besar yang mulai mengintai. Namun ia percaya dengan cinta dan kepercayaan di antara mereka apa pun rintangan yang datang, mereka akan mampu menghadapinya.
Menurut buku aslinya Arunika merasa kalau Pangeran Pertama adalah sosok yang bisa di percaya, dan di buku aslinya juga menyebutkan kalau Sang Putri Arunika mencurigai semua adik dari Pangeran Pertama.
...****************...
"Kakak, aku akan selesaikan ini dengan Ayahanda. Hanya beliau yang punya kuasa untuk memutuskan. Kau jaga Kakak Ipar aku rasa ia adalah incarannya." ucapan Pangeran Kedua menggantung di udara sebelum sosoknya bersama Pangeran Ketiga dan Keempat menghilang secepat kilat dari tempat mereka berdiri.
Pangeran Mark memandang Arunika sejenak dengan tatapan dalam. "Tuan Putri, aku harus kembali ke aula untuk menyambut tamu. Ingat jangan keluar ruangan tanpa aku atau salah satu adik-adikku bersamamu."
Arunika hanya mengangguk, menerima perintah itu dalam diam. Pangeran Mark pun berlalu, menutup pintu di belakangnya dengan suara halus yang terasa berat di hati Arunika.
Kini ia sendiri.
Sekarang ia harus bagaimana?
Dunia ini sangat berbeda dengan dahulu, ia tak ingat apapun lagi. Ia mulai luluh dengan Pangeran Pertama, apa ia juga sebenarnya menyukai sahabatnya Mark?
Arunika duduk di bangku taman belakang istana. Angin sore menyapu pelan, membawa aroma bunga dan dedaunan yang segar, namun tak mampu menenangkan gelisah dalam dadanya. Ia adalah seorang istri setidaknya, secara status.
Arunika bukan gadis yang anggun. Bahkan kecerobohannya masih mengikutinya sekarang.
Tapi bagaimana caranya menjadi istri seorang pangeran di dunia ini? Di dunia nyata, ia belum pernah menikah. Ia bahkan tak tahu bagaimana caranya menjadi pasangan yang layak, terlebih untuk seseorang seperti Pangeran Mark.
Lebih dari itu, hanya Arunika yang tahu kenyataan paling membingungkan dari semuanya: ia bukan benar-benar bagian dari dunia ini.
"Aku di sini tapi rasanya seperti tamu di hidupku sendiri," gumamnya lirih, memandangi bunga-bunga bermekaran yang tak bisa memberi jawaban.
Pikirannya berkecamuk. Ia tahu dirinya berasal dari dunia nyata dari masa dan tempat yang berbeda. Ia bukan tokoh utama dalam cerita ini. Tapi mengapa semuanya terasa nyata? Perasaannya juga semakin nyata? Kenapa ia merasa sangat terhubung dengan tempat ini dan dengan Pangeran Mark?
Ia ingin kembali, tentu. Mungkin ada yang mencarinya. Mungkin tubuhnya hanya tertidur dalam dunia nyata, menunggu untuk bangun. Tapi mengapa hatinya menolak melepaskan apa yang sedang ia alami di sini?
Ada yang belum selesai.
Ada sesuatu yang mengikatnya.
"Aku harus kembali" bisiknya. "Tapi apa benar aku bisa pergi sebelum semuanya terungkap?"
Tiba-tiba, angin berhembus sedikit lebih kencang. Helaian rambutnya tergerai, dan untuk sesaat ia merasakan sesuatu. Sebuah tarikan lembut seolah suara diam-diam dari dalam istana memanggil namanya.
Arunika berdiri. Di dalam dadanya, sebuah naluri yang ia sendiri tidak pahami mulai membimbing langkahnya. Meski telah dilarang untuk pergi sendirian, ia tahu dalam ia harus melanggar aturan itu. Ada sesuatu yang perlu ia ketahui. Sesuatu yang terlalu besar untuk diabaikan.
Langkahnya menyusuri lorong-lorong sunyi istana, yang kini tampak lebih gelap dan sepi dari biasanya. Cahaya obor berkedip samar di sepanjang dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seolah hidup.
Setiap langkah terasa berat namun pasti.
"Aku harus tahu," desisnya.
"Aku harus tahu siapa aku sebenarnya di dunia ini dan mengapa semuanya terasa begitu nyata."
Lorong itu terus memanggil seperti bisikan tak terlihat yang memandu ke arah kebenaran.
Dan Arunika tak lagi bisa mundur.
...****************...
Ia melanggar apa yang di perintahkan suaminya, ia harus mencari perpustakaan mungkin ia bisa melakukan sesuatu untuk pangeran Mark. Ia adalah istrinya yang mungkin ia harus tau apa yang dilakukan oleh tuan putri disini. Selain di kamar saja. Lagian kenapa ia harus di kamar saja, ia tak lupa kalau ini berbahaya.
Ia berjalan di lorong istana ini menuruni anak tangga yang melingkar, ia menghela napasnya. "Jauh sekali."
"Kakak ipar!" Panggil pangeran kedua, Arunika terlihat gelagapan. "Kakak pertama memintaku untuk mencarimu, ternyata kau disini." Arunika tak bisa menjawabnya karena ia tak tau harus bagaimana bahkan ia tau kalau pangeran kedua adalah vampire.
"Kamu disini?"
Arunika terhenti di tengah langkahnya, merasa tegang ketika mendengar suara Pangeran Kedua memanggilnya. Ia menyadari betul bahwa ia baru saja melanggar perintah suaminya, Pangeran Mark, untuk tidak pergi sendirian. Namun, dorongan untuk mencari tahu lebih banyak tentang peran yang seharusnya ia jalankan sebagai istri pangeran terus menguasainya.
Pangeran Kedua, dengan sosoknya yang mengesankan, muncul dari bayangan lorong dan menatap Arunika dengan pandangan tajam. "Kakak ipar, kenapa kamu di sini? Kau tahu bahwa istana ini tidak sepenuhnya aman, terutama untukmu," ujarnya dengan nada yang sedikit memarahi namun penuh perhatian.
Arunika mencoba merangkai alasan di kepalanya, namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Pangeran Kedua mendekat, membuatnya merasa semakin gelisah. Ia tahu bahwa Pangeran Kedua adalah seorang vampir, dan meskipun ia selalu bersikap baik, aura misteriusnya tetap membuat Arunika merasa waspada.
"Aku hanya ingin... mencari perpustakaan," jawab Arunika akhirnya, berusaha terdengar yakin. "Aku ingin mempelajari lebih banyak tentang tugas seorang putri. Aku merasa tidak cukup hanya berdiam diri di kamar."
Pangeran Kedua tersenyum tipis, seolah memahami motivasinya, namun tetap memperlihatkan sedikit kekhawatiran. "Aku mengerti keinginanmu, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menjelajah sendirian. Selain itu, banyak hal yang tidak kamu ketahui tentang istana ini, terutama ancaman yang mengintai. Kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya."
Arunika mengangguk, merasa bahwa ia tidak punya pilihan selain menurut. "Baiklah, aku akan kembali ke kamar," ujarnya pelan. Pangeran Kedua menyunggingkan senyum misteriusnya dan menggeleng pelan.
"Bagaimana jika aku menemanimu ke perpustakaan? Jika itu yang kau inginkan, maka setidaknya kau tidak akan sendirian. Lagipula, ada beberapa buku di sana yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu."
Arunika tersenyum, sedikit lega karena Pangeran Kedua tidak menghakiminya. Bersama-sama, mereka mulai berjalan menuju perpustakaan yang letaknya di ujung lorong, menuruni tangga yang terasa semakin berliku.
Di balik rasa penasaran yang terus mendesak, Arunika juga tidak bisa menghilangkan kekhawatirannya. Sesuatu tentang istana ini dan penghuninya terasa lebih rumit dari sekadar kisah dalam buku yang pernah ia baca.
Setelah mereka tiba di perpustakaan, Arunika tercengang melihat betapa besar dan megahnya ruangan itu. Rak-rak buku yang menjulang tinggi diisi dengan buku-buku tua yang berdebu, berjajar rapi di sepanjang dinding. Cahaya lilin-lilin yang berkerlip memberikan suasana misterius dan tenang.
Arunika mulai berjalan di antara rak-rak, tangannya dengan lembut menyentuh sampul-sampul buku, mencoba mencari sesuatu yang bisa membantunya memahami peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang putri. Pangeran Kedua tetap mengawasinya dari jarak dekat, memberikan ruang namun tetap waspada.
Setelah beberapa saat, Arunika menemukan sebuah buku tebal berjudul "Tugas Seorang Putri dan Ratu: Panduan untuk Memerintah dengan Bijak". Judul itu tampak cocok dengan apa yang ia cari, dan ia langsung menarik buku itu dari raknya. Namun, ketika ia membuka buku tersebut, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Halamannya terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
"Ini menarik," gumam Arunika, lalu duduk di meja terdekat dan mulai membacanya. Di halaman pertama, buku itu membahas tentang peran tradisional seorang putri—bagaimana seorang putri harus mendukung suaminya, menjaga martabat kerajaan, dan menjadi teladan bagi rakyat. Namun, semakin ia membaca, ia menyadari bahwa banyak tanggung jawab tersebut terasa kuno dan kaku, seolah mengekang kebebasan seorang wanita.
"Apakah kau menemukan sesuatu yang berguna?" tanya Pangeran Kedua, mendekatinya sambil melirik halaman buku yang sedang dibaca Arunika.
"Aku rasa begitu," jawab Arunika pelan, "Tapi banyak hal di sini terasa... tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Aku ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana caranya menjadi lebih dari sekadar pendamping. Aku ingin menjadi putri yang bisa membuat perbedaan."
Pangeran Kedua tersenyum tipis. "Menjadi putri yang kuat tidak selalu datang dari mengikuti aturan yang tertulis. Kadang-kadang, kau harus menciptakan jalanmu sendiri. Namun, ingatlah, kakak ipar, peranmu juga membawa banyak tanggung jawab, dan tidak semua orang akan mendukung pilihanmu."
Arunika mengangguk. Ia sadar bahwa tanggung jawabnya sebagai istri Pangeran Mark jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Dengan buku itu di tangannya, ia merasa ada banyak hal yang perlu ia pelajari dan pahami. Tetapi, di balik semua itu, ia juga merasa ada lebih banyak misteri di istana ini yang belum terungkap—termasuk tentang Madam Mery yang baru saja muncul kembali.
Arunika berjalan mengikuti Pangeran Kedua menuju ruang keluarga tempat para pangeran biasanya berkumpul. Ia masih memegang erat buku tentang tanggung jawab seorang istri pangeran, meskipun pikiran dan perasaannya masih diliputi kebingungan. Tanggung jawab untuk menghasilkan keturunan terasa begitu berat baginya—sesuatu yang ia bahkan belum sepenuhnya siap hadapi.
"Apakah kau baik-baik saja, kakak ipar?" tanya Pangeran Kedua saat melihat Arunika terdiam dalam langkahnya.
"Ya, aku hanya... terlalu banyak berpikir," jawab Arunika pelan sambil mencoba tersenyum. "Semua ini terasa begitu nyata dan berat. Aku belum pernah membayangkan akan memikul tanggung jawab sebesar ini."
Pangeran Kedua menatapnya dengan perhatian. "Kau tidak perlu merasa terburu-buru. Kakak Pertama juga mengerti. Kami semua tahu bahwa peranmu sebagai Putri kerajaan bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi dengan semua yang sedang terjadi di istana."
Setibanya mereka di ruang keluarga, Arunika melihat Pangeran Mark sudah duduk bersama saudara-saudaranya. Wajahnya tampak serius, tetapi saat melihat Arunika, ia langsung tersenyum lembut dan mengulurkan tangannya untuk menyambutnya.
"Arunika, kau membawa buku?" tanya Pangeran Mark sambil menatap buku yang dibawa istrinya.
"Iya, aku merasa perlu membacanya... tentang tanggung jawab seorang istri pangeran," jawab Arunika dengan suara pelan namun jujur.
Pangeran Mark terdiam sejenak, lalu menarik Arunika lebih dekat. "Kita tidak harus membicarakan ini sekarang, Arunika. Kau tidak perlu merasa tertekan. Kau adalah istriku, bukan karena kewajiban, tapi karena kita memilih untuk bersama."
Arunika menatap suaminya, merasa sedikit lega dengan kata-kata itu. Namun, tetap saja ada kekhawatiran yang mengganggu pikirannya. Sebagai istri seorang pangeran, ia tahu bahwa tanggung jawabnya bukan hanya pada suaminya, tetapi juga pada kerajaan dan garis keturunan.
Sementara mereka berbincang, Pangeran Kedua duduk bersama mereka, dan saudara-saudara lainnya tampak menunggu dengan penuh perhatian.
"Ada hal penting yang perlu kita diskusikan," kata Pangeran Ketiga, memulai pembicaraan. "Mengenai Madam Mery dan langkah-langkah selanjutnya yang harus kita ambil. Kita perlu memastikan keamanan kakak ipar dan kerajaan."
"aku akan mengantarmu ke kamar."
"Tunggu kakak! Kalau kau mengantarkannya ke kamar yang ada kau tak mau balik lagi kemari." Kata pangeran ketiga.
"Benar. Biar aku saja yang antar." Tawar pangeran bungsu, pangeran ketiga memang benar bahwa ia tak mau kembali berkumpul karena lebih baik bersama istrinya.
"Tidak perlu pangeran bungsu, aku bisa jalan sendirian."
"Jangan!?" Kata mereka semua, sekarang Arunika mengerti mereka semua ternyata ingin melindunginya.
"Kita buka portal saja." Saran pangeran keenam. Ia membuka portal menuju kamarnya, ia masuk ke dalam lubang itu setelah sampai di kamarnya. Portalnya tertutup dengan cepat.
Lagi-lagi ia terjebak di kamar.
...****************...
Arunika duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang setelah portal itu menutup. Sekali lagi, ia merasa seperti terjebak dalam batasan peran yang belum sepenuhnya ia pahami. Meski kamar yang megah ini menandakan statusnya sebagai Putri dan istri seorang Pangeran, ia tetap merasa seperti ada banyak hal yang belum ia ketahui atau siap hadapi.
"Aku kembali di sini lagi," gumamnya pada diri sendiri sambil memandang sekeliling kamar. Rasanya dunia luar begitu jauh, dan meskipun ia tahu semua orang berusaha melindunginya, Arunika tak bisa menghilangkan perasaan gelisah dalam dirinya.
Ia mendekati jendela, melihat taman kerajaan yang terbentang di luar, dengan angin lembut yang berhembus dan pepohonan yang bergoyang. Pikirannya kembali ke tanggung jawab yang baru ia baca.
Apakah ia benar-benar bisa menjalankan semua itu? Tanggung jawab sebagai istri, sebagai Putri kerajaan, dan semua peran yang datang bersamanya terasa seperti beban berat yang tiba-tiba jatuh di pundaknya.
"Sampai kapan sih aku kayak gini?" bisiknya pelan.
Di tengah kebingungannya, ia mendengar ketukan halus di pintu. Suara yang familiar memanggil dari balik pintu, "Arunika, ini aku, Pangeran Mark. Boleh aku masuk?"
Merasa sedikit lega, Arunika membuka pintu, dan Pangeran Mark masuk dengan senyum lembut. "Aku tahu ini berat bagimu, dan aku tak ingin kau merasa sendirian."
Arunika tersenyum samar, merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadirannya. "Terima kasih, Pangeran."
Pangeran Mark menggenggam tangannya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Kau tidak perlu terburu-buru, Arunika. Kita menjalani ini bersama. Aku ada di sini untuk mendampingimu, bukan hanya sebagai suami, tapi juga sebagai sahabatmu."
Arunika kembali ke aktivitas sebelumnya, ia meminum air abadi itu dan juga kelopak bunga teratai itu, tapi anehnya ia tak merasa lapar sama sekali. Pangeran Mark yang masih sibuk dia mulai memerintah kerajaan menata semuanya kembali, sedangkan raja vampir yang menghilang di siang hari. Ia tak tau kemana perginya tanpa adanya informasi.
Menurut buku aslinya raja Sakha menghilang saat pesta rakyat, namun Arunika tak menyadari kalau sang raja Sakha menghilang. Tak ada yang tau sebab raja Sakha itu menghilang.
Jam menunjukkan pukul setengah lima sore, semua orang-orang bersiap masuk ke rumah mereka. Ia menatap para orang-orang tersebut dari atas istana. Semuanya sibuk karena hari semakin gelap, tapi kali ini ia merindukan kakaknya, yaitu pangeran Renjana.
Ia memejamkan matanya dan menatap langit senja yang indah, ia ingat saat kecil mereka selalu bermain di taman belakang dengan latar senja yang indah.
Potongan memori itu berasal dari Sang Putri bayangan itu membuat dirinya meneteskan air mata, ingatan Putri Arunika juga membuatnya ingin bertemu dengan Pangeran Renjana.
Tiba-tiba ada tangan yang menutupi matanya, "Siapakah aku?" Suara yang ia kenal. Hatinya sangat senang sekali dan membalikkan badannya, Pangeran Renjana terkejut karena adiknya menangis.
"Adikku, kenapa?" Gadis itu menggeleng cepat dan tak menjawabnya karena perasaan Putri Arunika ini membuatnya semakin terharu. Ia tak bisa mengendalikan dirinya.
...****************...
Pangeran Renjana, yang menyadari bahwa adiknya menangis, langsung memeluk Arunika dengan lembut. "Adikku, maafkan aku jika aku lama tidak muncul. Apa yang terjadi? Ceritakan padaku," bisiknya penuh perhatian dan penasaran.
Arunika menggelengkan kepala, menghapus air matanya dengan cepat. "Aku hanya... merindukanmu, Kak. Semua ini terasa begitu berat, dan aku tak tahu apakah aku bisa menjalani semuanya," suaranya terdengar rapuh.
Pangeran Renjana mengusap punggungnya dengan lembut, berusaha menenangkan Arunika. "Kau tidak perlu memikul semua beban sendirian, adikku. Aku selalu ada di sini untukmu, seperti dulu kita bermain di taman dengan latar senja yang indah. Ingatlah, kau tidak sendirian."
Arunika memeluk kakaknya erat-erat. "Terima kasih, Kak. Kehadiranmu selalu membuatku merasa lebih kuat."
Pangeran Renjana tersenyum lembut, lalu melepaskan pelukannya dan menatap Arunika dengan penuh kasih. "Aku akan selalu mendukungmu, adikku. Apapun yang terjadi, kau punya keluargamu di sini. Dan jika ada yang kau butuhkan, jangan ragu untuk mencariku."
Arunika mengangguk pelan, merasa lega dengan kehadiran kakaknya. Meski tantangan menjadi Putri dan istri Pangeran Mark masih membayangi, setidaknya kini ia merasa ada yang mendukungnya sepenuh hati.
"Kak, bagaimana keadaan kerajaan? Aku merasa ada banyak hal yang disembunyikan dariku..." Arunika bertanya pelan, masih memikirkan sosok Madam Mery dan konflik yang akan datang.
Pangeran Renjana tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kerajaan sedang memasuki masa yang rumit. Banyak intrik yang sedang terjadi di balik layar. Tapi aku janji, aku akan memberitahumu segalanya pada waktunya. Untuk sekarang, kau perlu fokus menjaga dirimu sendiri."
Mendengar hal itu, Arunika merasa sedikit cemas, tapi ia mempercayai kakaknya. Senja semakin gelap, dan keduanya berdiri di balkon, menatap horizon yang perlahan tertelan malam.
"Jangan menangis, aku disini sekarang. Kau tetap adik kecilku. Maafkan aku Arunika." Pangeran Renjana juga menangis karena ia tidak bisa melakukan apapun untuk pergi menikah dan untuk sebuah taktik politik.
"Tidak kakak, aku merasa bersalah karena aku sepertinya melanggar janji kita."
"Apa janji kita?"
"Aku hanya melakukan apa yang di perintahkan ayahkan? Tapi aku tidak bisa melakukan apa yang di lakukan oleh hatiku ini."
"Ouh jadi kau sedang jatuh cinta?" Pangeran Renjana tertawa kecil mendengar isi hati adiknya itu
Pangeran Renjana tersenyum lembut sambil menghapus air matanya sendiri."Jadi, adikku yang kecil sudah jatuh cinta, ya? Siapa yang membuat hatimu berdebar begitu?"
Arunika tersipu malu, lalu memalingkan wajahnya. "Aku... aku tak tahu, Kak. Tapi semuanya terasa begitu rumit. Hatiku terasa berat, dan aku bahkan tak yakin apakah ini cinta atau hanya kebingungan."
Pangeran Renjana tertawa kecil lagi, tapi kali ini suaranya penuh kasih. "Cinta memang selalu rumit, terutama saat kau berada di tengah kekacauan seperti ini. Tapi jangan terburu-buru. Dengarkan hatimu dan biarkan waktu yang menjawabnya. Yang penting, kau jangan merasa bersalah karena mengikuti apa yang diperintahkan ayah. Terkadang kita harus melakukan hal yang tidak kita inginkan demi kebaikan yang lebih besar."
Arunika mendesah, matanya masih memandang senja yang semakin pudar. "Aku tahu, Kak. Tapi terkadang, aku merasa terjebak di antara perintah dan perasaanku sendiri. Aku takut mengecewakan semua orang."
Pangeran Renjana meletakkan tangannya di bahu Arunika, menatapnya dengan penuh kelembutan. "Tak ada yang salah dengan mengikuti hatimu, Arunika. Terkadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah jujur pada diri sendiri. Lagipula, kau tetaplah adikku yang berharga, apapun yang terjadi."
Arunika tersenyum tipis, merasa sedikit lebih lega. Setidaknya ia memiliki kakaknya di sisinya, yang selalu memberikan nasihat dan dukungan tanpa syarat.
"Lalu bagaimana?" tanya Arunika, lirih namun penuh harap.
"Apa yang bagaimana?" balas Pangeran Renjana, senyumnya hangat seperti pagi pertama setelah hujan panjang.
"Apakah aku... masih belum mengetahui semuanya?" Nada Arunika gemetar, seperti dirinya sendiri belum siap dengan jawaban yang mungkin datang.
Renjana menatapnya, lembut namun tegas. "Arunika, tidak semua kebenaran harus dibuka sekarang. Beberapa hal... hanya bisa terungkap saat waktunya benar-benar tiba."
Arunika mengangguk pelan. Ada ketenangan dalam jawaban itu, walau menyimpan misteri. Ia tahu, semua akan terbuka perlahan. Bukan karena disembunyikan, tapi karena belum waktunya.
"Terima kasih, Kakak..."ucapnya tulus.
Renjana tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Lihatlah, suamimu sedang mencarimu. Aku harus pergi."
Dengan hormat mereka saling menunduk, dan Renjana pun berbalik, berjalan menjauh hingga sosoknya lenyap dalam bayang-bayang taman.
Arunika masih menatap ke arah kepergiannya, sebelum akhirnya beralih ke sosok lain yang kini melangkah mendekat, Pangeran Mark. Tatapannya teduh, tapi jelas terlihat kekhawatiran menyelinap di balik ketenangannya.
"Apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya, menyentuh pundak Arunika dengan sentuhan yang begitu lembut. "Aku melihatmu bersama Renjana. Apakah ia mengatakan sesuatu yang penting?"
Arunika menggeleng pelan. "Tidak. Kami hanya berbicara tentang masa lalu. Aku merasa lebih baik sekarang."
Senyum Pangeran Mark merekah, namun matanya tetap tak lepas dari wajah istrinya. "Aku senang kau merasa lebih baik. Tapi ingat, Arunika... aku akan selalu ada untukmu. Jika ada apapun yang membebanimu sekecil apapun itu jangan ragu untuk memberitahuku."
Tatapan mereka bertemu. Dalam mata Pangeran Mark, Arunika menemukan pelindung, teman, sekaligus harapan. Ia menarik napas dalam dan berkata, "Terima kasih, Pangeran."
Mark mengulurkan tangan, dan Arunika menerimanya. Genggaman mereka erat, hangat.
"Ayo," ucapnya pelan. "Mari kembali ke kamar. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan. Tentang rencana kita ke depan."
Bersama, mereka melangkah meninggalkan taman. Langit mulai meredup, namun di dalam hati Arunika, perlahan terang mulai menyala kembali.
Asap hitam yang mengawasinya dari jauh tanpa ada yang bisa mengetahui bahwa ada ancaman besar bagi seorang wanita yang berdarah manis.
Menurut buku aslinya Putri Arunika mulai merasakan getaran berbeda pada Pangeran Pertama tetapi kali ini Arunika membawa alurnya lebih cepat dari yang ia bayangkan membuat alurnya berubah, kali ini ia berhasil melakukannya, karena Sang Putri Arunika sudah merasakan ketulusan sang pangeran. Arunika juga tak tau apa ini perasaannya yang ia bawa dari jiwanya sendiri atau dari hati sang pemilik tubuh ini. Selanjutnya Pangeran Pertama memberi tau pada Arunika kalau Pangeran Renjana akan naik tahta menjadi raja menggantikan posisi Ayahnya yaitu Raja Amerta, banyak sekali konflik ketika Pangeran Renjana menjadi raja. Tetapi juga mereka mempunyai strategi yang sama menghancurkan kegelapan.
...****************...
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉