Liana menantu dikeluarga yang cukup berada tapi dia dipandang rendah oleh mertuanya sendiri. Mahendra suaminya hanya bisa tunduk pada ibunya, Liana dianggap saingan bukan anak menantu..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon citra priskilai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mahendra mulai bekerja
Mahendra mulai bekerja pada pagi hari ini, biar bagaimanapun Mahendra memang harus bekerja meski hanya sekedar untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Pagi itu Mahendra pamit pada Liana dan Dion, dan juga ibu Hindun dan bapak Suparman.
Ibu Hindun melengos tampak sangat tidak anak lelakinya bekerja, karena ibu Hindun berfikir gak usah susah susah kerja lagian hasil sawah dan ladang sudah cukup untuk dimakan sehari hari. Tapi pikiran ibu Hindun sangat kolot dan tidak bisa berfikir secara realistik. Sampai detik ini kebutuhan rumah Liana yang menanggung dari laba toko. Mulai dari listrik, kebutuhan dapur, kebutuhan kamar mandi, bensin untuk motor, bahkan untuk biaya sekolah Dion.
Liana wanita yang cerdas dalam hal finansial, meski suami tidak menghasilkan uang sama sekali tapi seorang Liana mampu menutup semua kebutuhan rumah tangga yang harus dibeli dengan namanya uang.
Ibu Hindun, melirik Liana dengan sinis. Tapi Liana tak menghiraukan perlakuan ibu mertuanya, toh itu sudah kewajiban Mahendra untuk mencari nafkah buat keluarga. Setiap hari Liana harus menerima penghinaan dan harus diremehkan oleh ibu mertuanya sendiri. Tanpa tahu pengorbanan Liana sebenarnya sudah melebihi batas kewajaran.
Mana ada menantu perempuan yang menghidupi keluarga suami bertahun tahun. Kalau bukan Liana pasti sudah minta cerai dari Mahendra.
Mahendra pun berangkat kerja naik sepeda motor buntutnya, tak disangka belum ada semenit Mahendra keluar dari rumah ibu Hindun sudah melontarkan kata kata yang membuat liana semakin maju selangkah lagi untuk menerima tawaran dari sebuah instansi bank swasta.
"Kamu itu perempuan ya"
"Bisanya hanya nyuruh suami kerja melulu"
''Emangnya situ siapa nyuruh nyuruh Mahendra kerja"
"Meski Mahendra gak pernah kerja kita gak susah untuk makan"
"Hasil ladang dan sawah sudah lebih lebih buat makan sehari hari"
"Buktinya, kamu jadi istri Mahendra gak pernah tu yang namanya lapar" cerocos ibu Hindun pada Liana dengan sangat angkuh dan tamak.
Liana langsung mengendong Dion dan pergi begitu saja dari hadapan ibu Hindun. Bukanya ingin jadi menantu durhaka pada ibu Hindun, tapi lebih baik jaga lidah dan sikap saja agar tidak memperkeruh keadaan. Karena Liana sangat hafal betul sikap ibu Hindun jika omongannya di balas.
Liana naik sepeda motor tak kuasa membendung air mata, memang apa salahnya jika suami bekerja untuk menafkahi suami istri. Toh gaji Mahendra juga tidak lebih banyak dari hasil laba toko jika diperhitungkan dengan angka matematika.
Setelah Liana mengantar Dion, Liana menuju toko dan membuka tokonya setiap pukul tujuh pagi. Liana mulai melayani pembeli yang mulai berdatangan dan setelah sepi pembeli Liana mulai menghubungi salah satu instansi keuangan yang menawarkan sebuah anggunan yang memiliki keuntungan lebih bagi Liana.
Tentu saja Liana tidak percaya begitu saja, Liana mengecek apakah betul otoritas jasa keuangan benar benar mengcover instansi keuangan tersebut. Liana mulai mengecek satu persatu keamanan instansi keuangan tersebut dan terbukti aman terpercaya.
Liana melihat langit begitu mendung sore itu, dan akan tampak turun hujan. Liana teringat dengan suaminya Mahendra, pasti suaminya nanti akan kehujanan waktu pulang kerja nanti sore.
Sore itu langit benar benar akan turun hujan, angin mulai bertiup dengan kencang. Liana bergegas menutup toko, dan pulang bersama Dion. Liana dan Dion sempat kehujanan di jalan waktu pulang, sampai rumah Liana seperti biasa memasak untuk makan malam untuk keluarga kecilnya dan keluarga suaminya. Alias ibu Hindun dan bapak Suparman mertuanya.
Terimakasih