Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 32 Kebebasan yang Direnggut
"Dia bilang ... dia mau nyerah, Vir."
Tanvir terdiam menatap Raffa. Sedangkan Dimitri dan Paman Adi terpaku. Tak menyangka Dzaka akan mengucapkan hal seperti itu.
"Fa ... apa yang lo tau soal Dzaka yang gak lo bagi sama gue?" tanya Tanvir menatap lurus pada Raffa yang memandang tubuh tak berdaya Dzaka sendu.
"Gue ... gue ...." Tanvir tak mampu melanjutkan ucapannya. Pikirannya kini dipenuhi bisikan menghakimi dirinya sendiri. Dia sudah gagal menjadi sahabat Dzaka.
Raffa menggulirkan netranya pada Tanvir yang memandang kosong ke arah lantai tempatnya berpijak. "Bukan salah lo, Vir!"
Pandangan Tanvir bergerak naik mendengar ucapan Raffa. "Nggak, Fa. Ini salah gue. Gue juga sahabatnya Dzaka. Tapi ... tapi ... gue menenggelamkan diri dalam masalah gue sendiri."
Raffa menggeleng singkat. "Bukan, Vir. Lo udah cukup berat dengan masalah keluarga lo, jadi ... gue sama Dzaka gak pernah menyalahkan ketidakhadiran lo di samping kita."
"Raffa ...." Raffa menoleh ketika suara Dimitri memasuki pendengarannya.
Dimitri menatap Raffa dengan pandang rumit. Banyak hal berputar di pikirannya membuat Dimitri lelah. "Bisa lo kasih tau gue apa aja yang lo tau soal Dzaka?"
Raffa terdiam. Selama dia mengenal sosok Dimitri, tak pernah sekalipun Raffa mendengar nada suara pemuda yang lebih tua darinya itu se sendu ini.
Dimitri berucap penuh permohonan membuat hati Raffa merasakan getaran aneh. Baru kali ini ada orang lain yang sangat ingin mengetahui kondisi Dzaka selain dirinya.
"Gue ... gue gak tau banyak." Suara Raffa terdengar ragu.
"Cukup yang lo tau aja. Itu udah lebih dari cukup. Gue akan sangat berterima kasih dengan informasi yang lo kasih," balas Dimitri dengan suara tenang, namun menyimpan pengharapan yang dalam.
Raffa terdiam sejenak, mencoba menggali beberapa kejadian dari masa lalu tentang Dzaka yang bisa dia bagikan.
"Beberapa waktu yang lalu, gue pernah liat lebam di wajah Dzaka." Raffa menatap Dimitri yang kini menatapnya dalam diam.
"Waktu itu ... gue sama Dzaka lagi di parkiran nungguin lo, Vir. Waktu lo datang bawa mobil barang Qeela."
Mendengar hal itu, Tanvir mencoba mengingat kejadian lalu yang dimaksud Raffa. Cukup lama Tanvir terdiam hingga dia mengangguk mantap setelah berhasil mengingat hal itu.
"Waktu itu ... gue sempat megang bahunya ... dan Dzaka meringis. Detik itu juga gue langsung sadar kalau Dzaka pasti diapa-apain lagi sama orang itu," ujar Raffa dengan emosi yang mulai mencuat ke permukaan ketika mengingat hal itu.
Dimitri mengernyit. "Orang itu?"
Raffa mengangguk. "Orang itu. Panggilan khusus Dzaka untuk orang yang selama ini memegang kendali atas hidupnya."
Paman Adi yang sejak tadi diam mendengarkan tiba-tiba menyebut sebuah nama yang membuat Dimitri mengepal tangan menahan amarah yang menggebu di dalam dirinya.
"Tuan Emir?" tanya Paman Adi dengan nada ragu. Namun, anggukan dari Raffa dan Tanvir membuatnya terdiam.
"Dzaka gak bilang langsung sih, tapi ... siapa lagi, kan? Dzaka juga bukan berandalan yang bakal berantem di jalanan," jelas Raffa menegaskan bahwa kemungkinan terbesar apa yang dia pikirkan adalah benar.
"Apa Dzaka pernah cerita ke kalian soal apa yang dilakukan orang itu ke dia?" tanya Dimitri yang dibalas gelengan oleh kedua sahabat adiknya itu.
"Dzaka tetap Dzaka. Dia selalu berusaha jadi tempat teraman untuk orang lain. Dia juga selalu ada buat sahabatnya. Tapi ... dia gak pernah ngasih orang lain ruang untuk ikut campur di dalam kehidupannya," balas Tanvir.
"Gue gak tau apa sebenarnya yang terjadi. Tapi Dzaka selalu bilang kalau dia gak belajar dia gak bakal hidup," ujar Raffa membuat ketiga orang di sana mengernyit heran.
"Maksudnya?" tanya Tanvir yang tak paham maksud dari ucapan itu.
Raffa menoleh dan menatap Tanvir. "Kita tau sekeras apa Dzaka belajar, Vir. Padahal kita tau dia anak yang cerdas. Lo juga pasti tau gimana dia gak punya ruang untuk menjalani kehidupan selayaknya remaja pada umumnya."
Raffa menghela napas berat sebelum melanjutkan. "Tau apa yang lebih menyakitkan yang pernah gue dengar dari mulut Dzaka?"
Suara Raffa sedikit bergetar membuat semua orang menunggu dalam perasaan cemas. "Dzaka bilang ... dia itu cuma ... cuma ... manusia boneka."
Raffa mengontrol deru napasnya mencoba menahan sesak yang membuncah di dadanya. "Dzaka merasa kalau dia itu bukan manusia. Karena dia hidup di bawah kendali orang itu. Dzaka gak pernah ngerasain yang namanya kebebasan. Dan gue ... gue ngeliat Dzaka nangis untuk pertama kalinya."
Raffa yang sudah tak kuasa menekan sesaknya, kini membiarkan air mata mengalir di pipinya. Kilas balik itu masih meninggalkan rasa yang sama seperti saat itu.
"Fa ..., kenapa lo gak pernah cerita hal ini sama gue?" tanya Tanvir yang kini sudah terisak. Hatinya ikut hancur mendengar penjelasan Raffa.
"Gue gak mungkin nambah beban lo, Vir," balas Raffa seraya menggeleng pelan.
Dimitri terdiam. Dia tidak menangis. Bahkan dia tidak bergeming. Wajah datarnya yang dingin tak terbaca. Namun, di dalam dirinya, Dimitri sedang meraung keras.
Dimitri juga pernah merasa lelah dengan kehidupan. Dia bahkan pernah ingin menyerah berjuang sendirian dengan trauma yang dimilikinya. Hidupnya terasa berat hingga Dimitri pikir mengakhiri hidup satu-satunya jalan untuk memutus rantai rasa sakitnya.
Namun, ternyata adiknya jauh lebih tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa pemuda itu bertahan hidup seperti itu? Hati Dimitri tak hanya sakit, tapi hancur lebur mendengar semua itu.
"Sebenarnya kehidupan seperti apa yang Dzaka jalani?" Suara Dimitri menarik atensi semua orang yang tadinya tenggelam dalam perasaan masing-masing.
Raffa memusatkan atensinya pada wajah pucat Dzaka. "Seorang remaja yang hidup hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Sekalipun dia terbaring di ranjang rumah sakit, selagi matanya terbuka dan tangannya bisa digerakkan, dia akan dituntut untuk belajar."
Semua orang ikut memusatkan atensi mereka pada Dzaka. Ucapan Raffa selanjutnya membuat semua orang berusaha keras menahan air mata yang mendesak.
"Remaja yang kebebasannya direnggut untuk tujuan yang bahkan dia sendiri gak pernah tau. Karena dia hidup sebagai boneka yang kehidupannya sudah diatur sedemikian rupa." Suara Raffa bergetar. Sesaknya semakin mendesak.
"Maafkan Paman, Tuan Muda." Paman Adi menjatuhkan lututnya di samping ranjang Dzaka dengan tubuh bergetar terisak. Sebagai orang kepercayaan yang ditugaskan menjaga Dzaka, Paman Adi malah terjebak di mansion mewah Tuan Emir dan mengabaikan tuan muda yang seharusnya dia jaga dengan nyawanya sendiri.
Raffa menutup matanya mencoba mengatur pernapasannya perlahan. Namun, satu hal tiba-tiba terlintas di benaknya.
"Hanya satu orang yang selalu menyaksikan semua itu ...."
Sontak semua mata menatap Raffa dengan sorot keingintahuan yang besar. Namun, Raffa tercekat dengan ucapannya sendiri.
Sosok itu ... bagaimana bisa mereka semua melewatkan sosok itu.