Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Sentuhan Pertama
Elara berdiri di tengah dapur istana yang luas, dikelilingi oleh kuali-kuali tembaga raksasa dan pisau-pisau daging yang terlihat cukup tajam untuk memenggal kepala naga. Para koki istana—makhluk-makhluk bisu dengan kulit pucat—bergerak di sekelilingnya, mengabaikan keberadaannya seolah dia hanyalah hantu lain di kastil ini.
Di atas meja kayu di hadapannya, Elara menumbuk daun Aloe yang dia temukan di pot hias lorong timur (untungnya bukan tanaman beracun). Dia mencampurnya dengan madu hutan yang dia bawa dari desa dan sedikit bubuk Moonflower yang tersisa di sakunya.
"Ini konyol," gumamnya pada diri sendiri. "Mengobati kutukan dewa dengan resep luka bakar nenek."
Tapi hanya ini yang dia punya. Pengetahuan herbal desa dan percikan sihir kehidupan yang lemah.
Setelah ramuan itu berubah menjadi pasta hijau kental yang berbau segar, Elara memindahkannya ke dalam mangkuk kecil. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.
Sudah dua hari sejak perjanjian dibuat. Selama dua hari itu, Kaelen menghilang. Pelayan bilang Raja sedang "sibuk di perbatasan". Elara menggunakan waktu itu untuk mempelajari tata letak istana, tapi dia tahu dia tidak bisa menunda lebih lama. 30 hari berjalan cepat.
"Nona Elara?"
Suara serak mengejutkannya. Vorian berdiri di pintu dapur. Jubah hitamnya tampak kotor oleh debu abu, dan ada goresan baru di topeng peraknya.
"Raja telah kembali," kata Vorian singkat. "Dan dia terluka."
Jantung Elara mencelos. "Terluka? Di mana dia?"
"Di ruang kerjanya. Dia melarang siapa pun masuk, tapi..." Vorian ragu sejenak, sesuatu yang langka bagi pria dingin itu. "Lukanya tidak menutup. Mungkin... ramuanmu bisa berguna."
Elara tidak menunggu dua kali. Dia menyambar mangkuk obatnya dan berlari mengikuti Vorian.
Ruang kerja Kaelen berantakan.
Buku-buku berserakan di lantai, sebuah meja kayu terbalik, dan ada noda cairan hitam—darah sang Raja—yang menetes di karpet mahal.
Kaelen duduk di sebuah kursi di dekat perapian yang apinya hampir mati. Dia bertelanjang dada, menampilkan tubuh bagian atasnya yang merupakan peta penderitaan. Separuh kulitnya yang masih manusia tampak pucat pasat, berkeringat dingin. Sementara separuh tubuh batunya tampak berdenyut dengan cahaya merah marah.
Ada luka robek yang dalam di bahu kirinya (sisi manusia). Luka itu tidak mengeluarkan darah merah, melainkan cairan hitam pekat yang mendesis saat menyentuh kulit, seolah darahnya sendiri adalah racun yang membakar.
"Keluar!" geram Kaelen saat melihat pintu terbuka. Dia mencoba berdiri, tapi terhuyung dan jatuh kembali ke kursi. "Aku bilang jangan ganggu aku!"
"Maaf, Yang Mulia," kata Elara tegas, melangkah masuk dan mengabaikan aura membunuh yang memancar dari pria itu. "Tapi Anda terlihat mengerikan."
"Ini bukan urusanmu," desis Kaelen, mencengkeram bahunya yang terluka. "Ini racun Void Walker. Jika kau mendekat, uapnya saja bisa membuat paru-parumu melepuh."
Elara berhenti sejenak, mengendus udara. Bau belerang dan daging terbakar sangat menyengat. Tapi di balik itu, dia mencium aroma lain. Aroma infeksi magis.
Dia tidak mundur. Dia justru menarik kursi kecil dan duduk tepat di depan Kaelen.
"Saya sudah menandatangani kontrak untuk merawat Anda," kata Elara, meletakkan mangkuk obat di meja kecil. "Jika Anda mati karena infeksi bodoh ini, kontrak batal dan desa saya hancur. Jadi, diamlah dan biarkan saya bekerja."
Kaelen menatapnya dengan mata terbelalak, terkejut dengan keberanian—atau kelancangan—gadis itu. Rasa sakit tampaknya membuat pertahanannya melemah. Dia tidak melawan saat Elara meraih lengan kirinya.
"Ini akan sakit," peringatan Elara.
Dia mengambil kain bersih, mencelupkannya ke dalam air hangat yang dibawa pelayan, dan mulai membersihkan luka itu.
"Argh!" Kaelen mengerang, rahangnya mengeras hingga urat lehernya menonjol. Tangan kanannya yang berbentuk cakar batu mencengkeram lengan kursi hingga kayunya hancur menjadi serbuk.
"Tahan," bisik Elara, tangannya bekerja cekatan meski gemetar.
Cairan hitam itu panas. Elara bisa merasakan ujung jarinya melepuh sedikit, tapi dia mengabaikannya. Dia membersihkan racun itu sebersih mungkin, lalu mengambil pasta hijau yang dia buat.
"Apa itu?" tanya Kaelen, napasnya memburu.
"Sesuatu yang dingin," jawab Elara.
Dia mengoleskan pasta itu langsung ke atas luka yang menganga.
Reaksinya instan.
Saat jari Elara yang berlumuran pasta menyentuh kulit Kaelen, cahaya hijau lembut memancar dari tangannya. Itu bukan sihir yang dia paksakan keluar, melainkan respons alami. Sihir kehidupannya bereaksi terhadap Void di tubuh Kaelen seperti air yang bertemu api.
Sssshhhh.
Suara desisan terdengar, dan asap putih tipis mengepul.
Kaelen tersentak hebat, punggungnya melengkung kaku. Tapi kemudian, ekspresi kesakitan di wajahnya perlahan memudar. Matanya yang merah menyala meredup, kembali menjadi warna gelap yang lebih tenang.
Rasa panas yang membakar bahunya digantikan oleh sensasi dingin yang menyejukkan. Rasa sakit yang seperti ditusuk ribuan jarum perlahan tumpul, lalu menghilang.
Kaelen menatap bahunya sendiri dengan takjub. Luka robek itu tidak sembuh total—sihir Elara tidak sekuat itu—tapi pendarahannya berhenti. Tepi luka yang tadinya menghitam kini mulai merapat, menunjukkan jaringan kulit merah muda yang sehat.
Dia mengangkat pandangannya ke wajah Elara.
Gadis itu sedang berkonsentrasi penuh. Keningnya berkerut, butir-butir keringat muncul di pelipisnya. Bibirnya komat-kamit merapalkan mantra desa sederhana, mantra penenang bayi.
Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, Kaelen merasakan sentuhan fisik yang tidak menyakitkan. Tidak ada rasa jijik. Tidak ada rasa takut. Tangan gadis itu lembut, hangat, dan... menyembuhkan.
"Sudah," Elara menghembuskan napas panjang, menarik tangannya. Dia tampak lelah, wajahnya sedikit pucat. "Itu akan menahan racunnya untuk sementara."
Elara mengambil perban bersih dan mulai membalut bahu Kaelen.
Kaelen masih diam, menatapnya intens. Jarak mereka begitu dekat. Lutut mereka bersentuhan.
"Kenapa?" tanya Kaelen tiba-tiba, suaranya parau.
Elara mendongak, tangannya berhenti membalut. "Kenapa apa?"
"Kenapa sihirmu tidak menyakitiku?" Kaelen menatap tangan Elara seolah itu adalah benda asing yang ajaib. "Sihir suci para pendeta membakar kulitku. Sihir elemen para penyihir membuat duri-duriku tumbuh liar. Tapi sihirmu... rasanya seperti..."
Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Rasanya seperti hujan setelah kemarau panjang. Tapi dia tidak akan mengatakan hal memalukan itu.
"Mungkin karena saya tidak mencoba melawan kutukan itu," jawab Elara polos, mengikat simpul perban terakhir. "Saya hanya menyapa bagian tubuh Anda yang masih manusia. Mengingatkan sel-selnya untuk hidup."
Kaelen tertegun mendengar filosofi sederhana itu.
Tiba-tiba, dia menyadari sesuatu. Tangan kanan batunya—cakar monster itu—tanpa sadar telah bergerak mendekati tangan Elara yang ada di pangkuannya.
"Hati-hati," Kaelen menarik tangannya cepat, kembali memasang wajah dingin. "Jangan terlalu nyaman. Kau baru saja menyembuhkan goresan kecil. Kutukan utamanya masih ada di sana, menunggu untuk memakanmu."
Elara membereskan mangkuk obatnya dan berdiri. "Satu langkah kecil tetaplah satu langkah, Yang Mulia. Sekarang, istirahatlah. Saya akan membuatkan teh untuk membantu Anda tidur."
"Aku tidak butuh teh," bantah Kaelen otomatis.
"Anda butuh," potong Elara. "Mata Anda merah, dan bukan karena kutukan. Anda kurang tidur."
Sebelum Kaelen sempat membantah lagi, Elara sudah berbalik menuju pintu. Namun, di ambang pintu, dia berhenti.
"Oh, satu lagi, Yang Mulia," kata Elara tanpa menoleh. "Lain kali, jika Anda terluka... jangan menunggu sampai infeksi. Panggil saya."
Pintu tertutup.
Kaelen duduk sendirian dalam keremangan ruang kerjanya. Dia menyentuh perban putih di bahunya dengan jari batunya yang tajam, sangat hati-hati agar tidak merobeknya.
Rasa sakitnya hilang.
Benar-benar hilang.
Dan yang lebih aneh lagi, di dalam dadanya, di tempat yang biasanya terasa kosong dan dingin, ada percikan kehangatan asing. Itu bukan sihir. Itu perasaan lain yang sudah lama dia lupakan.
Harapan.
"Elara," bisiknya, menguji nama itu di lidahnya. Rasanya tidak seburuk yang dia kira.
Di luar pintu, Elara bersandar pada dinding batu yang dingin. Dia meluncur turun hingga terduduk di lantai, memegangi tangannya yang gemetar hebat.
Dia melihat telapak tangannya. Ada sedikit luka bakar melepuh di ujung jarinya akibat menyentuh darah hitam Kaelen tadi. Rasanya perih sekali.
"Sakit," ringisnya sambil meniup jarinya.
Dia menyembunyikan rasa sakit itu di depan Kaelen agar pria itu tidak merasa bersalah—atau merasa benar bahwa dirinya berbahaya.
Elara tersenyum kecil di tengah rasa perih itu.
Dia berhasil. Sentuhan pertamanya tidak membunuhnya.
"Satu hari terlewati," bisiknya. "Tinggal 29 hari lagi."
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️