“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Satu
Shaka menatap Davina tanpa berkedip. Ekspresinya bukan kemarahan, tapi seperti seseorang yang tiba-tiba kehilangan pijakan. Angin rooftop berembus pelan, menggoyangkan lampu gantung kecil di atas meja mereka. Namun, suasana di antara keduanya tetap berat seperti batu.
“Davina .…” Suara Shaka akhirnya keluar, pelan. “Dari semua yang kamu ceritakan barusan, apa yang kamu harapkan aku lakukan sekarang?”
Davina menunduk. Air matanya jatuh lagi tanpa bisa dicegah. Ia menggenggam ujung taplak meja seolah itu satu-satunya tempat untuk berpijak.
“Aku .…” Ia menarik napas yang tidak stabil. “Aku mohon … tolong bilang ke orang tuamu kalau kamu menolak pertunangan ini.”
Shaka mengerutkan kening. “Hanya begitu?”
Davina menggeleng cepat, suaranya pecah.
“Kalau aku yang bilang ke Papa, dia akan curiga. Dia akan makin mengurung aku. Aku takut, Shaka. Aku takut banget. Aku nggak bisa bilang alasan sebenarnya. Aku nggak bisa bilang kalau aku sudah mencintai Kevin. Papa akan ....” Ia tidak melanjutkan. Napasnya tersendat seperti ada sesuatu yang menahan di tenggorokan.
Shaka menatapnya lama. Sangat lama. Ada banyak hal berputar di matanya, kekecewaan, kebingungan, rasa terluka, tapi juga sesuatu yang sangat dewasa, pengertian.
“Aku yang bilang ke mereka?” ulang Shaka umtuk memastikan.
Davina mengangguk perlahan. “Tolong. Ini satu-satunya cara. Kamu orang yang Papa percaya. Kalau kamu bilang kamu keberatan, Papa nggak akan maksa aku. Dan aku .…” Davina menunduk dalam, suaranya semakin kecil, “Aku nggak mau kamu terseret masalah yang lebih besar kalau tahu alasan sebenarnya.”
Shaka bersandar ke kursinya, memejamkan mata beberapa detik yang terasa panjang sekali. Lalu ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seperti berusaha menyusun ulang dirinya menjadi seseorang yang lebih kuat.
Ketika ia membuka mata lagi, ada ketegasan yang tidak ada sebelumnya.
“Baik,” ucap Shaka akhirnya. “Aku akan bantu kamu.”
Davina menutup mulut dengan tangan gemetar, menangis dalam diam. “Shaka … makasih … makasih banyak…”
“Jangan terima kasih dulu.” Ia tersenyum tipis, meski pahit. “Keputusan ini nggak mudah buat aku. Tapi aku nggak mau kamu terjebak dalam hubungan yang nggak kamu inginkan. Aku nggak mau jadi orang yang bikin kamu nggak bahagia.”
Davina merasa dadanya semakin sesak. “Aku ....”
Shaka mengangkat tangan, menghentikan. “Kamu nggak perlu jelasin apa-apa lagi. Aku udah dengar semuanya.”
Untuk pertama kalinya sejak makan malam itu dimulai, Shaka terlihat lega. Bukan karena kabar yang ia terima baik, tapi karena ia tahu arah harus melangkah.
“Besok aku datang ke rumah,” ujar Shaka mantap. “Aku ngomong langsung ke Papa Robby.”
Davina mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa karena air matanya terlalu deras. Tapi Shaka menerima itu. Dibiarkan. Tidak ada teguran, tidak ada tuntutan. Bahkan ia berdiri, berdiri dan bergerak ke arah kursi Davina, lalu berjongkok di depannya.
“Davi … kamu berhak memilih hidup kamu sendiri,” ucap Shaka pelan. “Kalau itu bukan aku … aku ikhlas. Meski sakit, aku tetap ikhlas.”
Davina membalas tatapan itu, dan rasa bersalah menghantamnya lagi. Tapi ia tahu, ini satu-satunya jalan.
Keesokan paginya, rumah keluarga Davina kembali terasa seperti museum, rapi, mewah, tapi dingin. Semua orang berjalan dengan langkah pelan seolah takut melanggar sesuatu yang suci. Mama sibuk di dapur, meski wajahnya tegang. Papa Robby duduk di ruang kerja dengan kemeja rapi, sibuk membaca sesuatu yang entah apa.
Davina di kamarnya, gelisah seperti orang yang menunggu vonis.
Jam hampir menunjukkan pukul sepuluh ketika suara mobil berhenti di depan rumah. Davina refleks menyingkap tirai. Mobil hitam Shaka.
Shaka turun dari mobil, menatap rumah itu lama sebelum melangkah masuk. Sementara Davina menutup tirai dengan cepat, bersembunyi di balik kain tebal itu, berdoa semoga semuanya berjalan lancar.
Beberapa detik kemudian terdengar suara bel. Mama yang membukakan pintu, terkejut tapi sopan.
“Oh, Shaka … kamu sendirian?”
“Iya, Tante. Saya ada perlu ketemu Om Robby.”
Mama mempersilakan masuk. Langkah Shaka terdengar jelas dari kamar Davina. Perlahan, pasti, menuju ruang kerja Papa.
Davina menempelkan telinganya ke pintu, jantungnya berdetak sekeras gemuruh.
Tak lama kemudian suara Papa terdengar, berat dan penuh wibawa seperti biasa. “Shaka ...? Ada apa datang pagi-pagi begini?”
“Om,” suara Shaka tegas tapi sopan. “Aku ingin bicara soal pertunangan.”
“Pertunangan apa?” tanya Papa bijaksana tapi tajam.
“Pertunangan aku dan Davina, Om.”
Davina memejamkan mata. Napasnya terasa sesak, takut kalau papa tak menyetujui.
“Begini .…” Shaka melanjutkan perlahan, hati-hati. “Aku ingin membatalkan rencana pertunangan itu.”
Hening yang membentang seperti jurang dalam. Papa Robby tidak langsung menjawab. Davina bisa membayangkan wajah papanya, bagaimana ia menautkan kedua alis, lalu meletakkan dokumen di meja untuk menatap Shaka lebih jelas.
“Kenapa mendadak begini?” tanya Papa, nadanya dingin seperti es tipis. “Baru kemarin kita bicara dan semuanya sudah disepakati. Sekarang kamu bilang batal?”
Shaka menghela napas. “Aku minta maaf, Om. Tapi aku pikir lebih baik ini disampaikan secepatnya, sebelum semuanya makin jauh.”
“Itu bukan alasan.” Suara Papa mulai turun satu oktaf. “Apa masalah sebenarnya?”
Davina menekan dadanya yang terasa sakit. Lalu terdengar suara Papa lagi, lebih tajam.
“Apa ini permintaan Davina?”
Davina membeku di balik pintu, tubuhnya serasa tersengat listrik. Shaka butuh satu detik sebelum menjawab. Satu detik yang sangat panjang dan sangat menegangkan.
Kemudian ia berkata, “Tidak, Om.” Shaka melanjutkan dengan suara mantap, “Ini kemauan aku sendiri. Aku … sebenarnya sudah memiliki kekasih yang sangat aku cintai, Om. Hubungan kami sudah lama. Aku tidak ingin membohongi keluargaku, keluarga Om, atau Davina.”
Papa terdiam. Hanya sekali ia mengembuskan napas, tapi embusan itu terdengar seperti badai besar yang ditahan. Davina hampir lemas saking tegangnya.
“Baik,” ucap Papa akhirnya. “Kalau memang itu keputusanmu. Om tidak akan menahan. Tapi .…” Nada suaranya berubah dingin, “Hubungan keluarga kita tetap harus dijaga. Jangan sampai keputusan ini menimbulkan masalah di luar.”
“Tentu, Om,” jawab Shaka cepat. “Aku akan tetap berhubungan baik dengan semua keluarga di sini."
Tak lama kemudian, suara langkah Shaka menjauh. Mama mengantarnya keluar. Pintu depan tertutup. Mobil Shaka pergi.
Davina terduduk di tepi ranjang, dadanya naik turun cepat, seperti baru saja melakukan hal paling berat seumur hidupnya padahal ia hanya mendengarkan dari jauh.
Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik. Pintu kamarnya diketuk.
“Davina.” Terdengar suara Papa memanggil.
Davina menahan napas. Tangannya menghapus sisa air mata di pipinya. Ia bangkit, membuka pintu perlahan.
Papa Robby berdiri di sana. Wajahnya tenang, terlalu tenang. Itu justru yang membuat Davina semakin takut.
“Papa mau bicara.”
Davina mengangguk dan mundur sedikit. Memberikan ruang untuk Papa masuk, lalu menutup pintu di belakangnya. Suara kunci tidak terdengar, tapi atmosfer kamar tiba-tiba terasa sempit dan gelap.
Papa menatap putrinya lama sekali. Matanya tajam, menusuk sampai ke tulang.
“Papa mau kamu menjawabnya jujur.”
Davina mengangguk pelan, meski lututnya hampir goyah. Papa mendekat satu langkah.
“Tadi Shaka datang menemui papa untuk membatalkan pertunangan. Apakah ini atas permintaan kamu?
Davina terkejut dengan pertanyaan sang papa. Jantungnya terasa copot.
“Jawab, Davina. Ini semua atas permintaan kamu'kan?” tanya papa dengan nada penuh penekanan.
jujur papi murka GK jujur SMA aja entahlah..... trserah kmu Vina....
lok jodoh Klian bkln ktmu Kevin
sama anak kok kejem bangdt