NovelToon NovelToon
Fajar Kedua Sang Sayyidah

Fajar Kedua Sang Sayyidah

Status: sedang berlangsung
Genre:Kontras Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Fantasi Wanita / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.

Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.

Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.

Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sama Berbahayanya

Wazir Khalid dan Wazir lainnya bangkit, rasa hormat yang mereka tunjukkan kini bercampur dengan kewaspadaan yang tidak bisa mereka sembunyikan. Mereka membungkuk hormat, menundukkan kepala di hadapan anak sepuluh tahun yang baru saja menguji loyalitas mereka dan mengancam keseimbangan politik seluruh Emirat.

“Kami pergi, Sayyidah. Kami akan mulai merumuskan penolakan resmi, menggunakan diplomasi yang sehalus mungkin, namun tetap tegas sesuai perintah Sayyidah,” janji Wazir Khalid, matanya berkedip penuh semangat, seolah baru saja terbangun dari tidur panjang yang kusam.

Setelah mereka pergi, disusul oleh Tariq yang menutup pintu gading dengan bunyi denting pelan, Yasmeen membiarkan dirinya roboh kembali ke bantal-bantal sutra di kursi kebesaran. Ruangan itu kembali hening, diselimuti bayangan yang dilemparkan tirai berat.

Ia menang. Ia telah memenangkan pertarungan administratif. Ia telah mencabut otoritas Zahir di mata pejabat Emirat yang paling loyal.

Tetapi kemenangan ini terasa pahit. Pernikahan. Harith Al-Qaim. Kenangan itu terasa seperti beban fisik yang membebani bahunya yang kecil. Ia harus membatalkan pertunangan itu. Tetapi tidak sekarang. Sekarang, ancaman terbesar masih berkeliaran di istana ini, dengan darah yang sama mengalir di nadinya: Sayyid Zahir.

Yasmeen menutup mata, mencoba mengumpulkan energi, memfokuskan pikirannya. Ia perlu menyusun rencana bagaimana menghancurkan kredibilitas Zahir di mata Sultan tanpa membangkitkan kemarahan politik Kesultanan. Itu adalah teka-teki yang sulit, dan waktunya sempit.

Tiba-tiba, suara langkah kaki di luar ruangan membuatnya menegang. Langkah kaki itu tidak terburu-buru, tetapi penuh percaya diri, dan didampingi suara cekikikan anak-anak yang familier. Yasmeen langsung sadar. Zahir.

Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Zahir yang tersenyum lebar, senyum yang begitu ramah dan meyakinkan—terlalu meyakinkan, sebuah topeng yang sempurna. Di belakangnya, berdiri 9, selir dan istri barunya, dengan kedua anak mereka: Zain yang berusia lima tahun dan Ruqayyah, yang baru menginjak usia empat tahun. Mereka adalah keluarga utuh Zahir yang baru, yang selama ini Zahir jauhkan dari Yasmeen dan ibunya.

Zahir maju ke dalam ruangan. “Sayyidah kecilku, mengapa kau menyibukkan diri dengan Wazir yang membosankan ini? Lihat siapa yang datang mengunjungimu. Saudara-saudarimu!”

Di masa lalu, pemandangan ini hanya akan membuat Yasmeen kecil merasa kesepian dan tersisih, menganggap dirinya hanyalah pewaris Emirat yang harus tunduk pada Ayahnya yang dominan. Tetapi kini, pemandangan itu terasa seperti racun dingin. Mehra, ibu tiri yang selalu tersenyum lembut, yang di masa depan mendorongnya ke pernikahan mengerikan dan secara pasif membantu rencana pembunuhannya.

Dan Zain. Sosok kecil yang tampan, dengan mata abu-abu cerah dan rambut gelap yang sama dengan Yasmeen. Anak yang di masa lalu ia cintai sepenuh hati sebagai adik tiri, yang akhirnya ia percayai dengan masa depan Emirat, namun akhirnya memilih racun untuknya.

Kekejaman macam apa yang menanti di mata mungil itu? hati Yasmeen menjerit.

“Abī,” ujar Yasmeen, bangkit berdiri dan memasang topeng manisnya. Itu adalah hal yang mudah baginya kini. Ia telah hidup lebih dari dua dekade. “Sungguh kejutan yang menyenangkan. Aku tidak tahu Abī membawa Roobbatun Mehra dan anak-anak Abī ke Sayap Timur.”

Zahir tertawa. Itu adalah tawa yang dalam dan palsu. “Tentu saja. Setelah Jaddīmu tiada, kita harus menjadi keluarga. Aku sangat merindukan putriku yang satu-satunya ini, Yasmeen. Kami tidak boleh membiarkanmu sendirian. Kami ingin mengucapkan selamat tinggal.”

Selamat tinggal? Ia sedang berusaha mendorongku kembali ke rencana semula. Rencana pendidikan. Rencana pernikahan.

Mehra maju selangkah, postur tubuhnya sangat berhati-hati. Mehra adalah wanita yang cerdik, tidak seganas Zahir, tetapi lebih licik. “Ya, Sayyidah. Kami semua sedih kau akan segera meninggalkan kami. Tetapi perjalanan ke Kota Agung adalah kehormatan besar, bukan?”

“Aku tidak akan pergi, Roobbatun Mehra,” jawab Yasmeen, menjaga nada suaranya tetap ringan, seolah-olah itu hanya detail kecil yang ia lupakan. Ia melihat Mehra tersentak sedikit. Jelas Zahir belum memberitahu seluruh keluarganya bahwa rencananya terhenti total.

Zahir segera turun tangan, ekspresinya menjadi muram dan serius, meninggalkan tawa palsunya. “Yasmeen, kita sudah membicarakan ini. Ini bukan keputusan yang kau buat sendiri. Ini adalah kebaikan Sultan. Jaddīmu pun akan menyetujuinya.”

Yasmeen melangkah ke samping, memberi isyarat kepada Zain dan Ruqayyah yang kini berdiri canggung di ambang pintu.

“Zain, kemarilah. Ruqayyah, apakah kalian merindukan Sayyidah?” Yasmeen berlutut, membawa dirinya sejajar dengan bocah lima tahun itu. Perutnya mual, tetapi ia memaksakan sentuhan.

Ruqayyah, polos dan mungil, segera memeluknya. “Ukhth Yasmeen bau tinta!” katanya dengan logat cadel.

Zain tidak memeluknya. Anak itu menatap Yasmeen dengan tatapan ingin tahu yang sangat dalam, tatapan yang terlalu tajam untuk anak seusianya. Tatapan yang sama, dingin dan menuntut, yang akan ia lihat dari mata Zain, saat bocah itu beranjak dewasa dan merebut segala miliknya.

“Ayah bilang, Ukhth Yasmeen akan pergi jauh untuk menjadi Putri Kota Agung,” ucap Zain, suaranya sedikit gemetar, namun ada nada tuntutan yang jelas. “Apakah Sayyidah akan kembali dan memimpin istana ini?”

Pikiran Yasmeen bergerak cepat. Ia perlu memprovokasi ambisi Zain sekarang. Ambisi yang di masa lalu dibiarkan membara oleh Zahir dan Mehra, sampai membakar seluruh Nayyirah.

“Memimpin istana ini?” Yasmeen membelai rambut Zain dengan lembut, sentuhan palsu yang membuatnya merinding. “Mengapa kamu menanyakan itu, Zain? Apakah kamu ingin menjadi pemimpin di sini?”

Zain menegakkan tubuh. “Aku adalah putra Sayyid Zahir! Tentu saja. Ayah bilang, jika Sayyidah pergi belajar, Ayah yang akan merawat istana ini sampai aku besar. Aku akan membantu Ayah. Aku akan mengendarai kuda dan pergi ke perbatasan seperti Jaddī!”

Wajah Zahir seketika menjadi tegang. Zahir jelas terkejut bahwa anaknya mengungkap rencana tersembunyi itu—bahwa Zahir berniat mengendalikan Emirat melalui nama Zain, sementara Yasmeen tersingkir.

Yasmeen menatap Zain, matanya berkedip dengan kepedihan masa lalu yang tidak tertahankan. Bocah ini tidak tahu apa-apa, ia hanya mengulangi ambisi ayahnya. Namun, Yasmeen tidak bisa memaafkan. Ia tidak bisa mencintai Zain lagi, karena di mata itu, ia hanya melihat pengkhianatan yang fatal.

Zainku. Aku pernah mencintaimu begitu buta hingga aku menyerahkan kendali padamu. Kali ini, kau hanya akan menjadi pengamat, terpisah dariku selamanya.

Yasmeen bangkit berdiri. Keramahan palsunya langsung menghilang, digantikan oleh keseriusan seorang Emir yang baru saja mendengar ancaman suksesi.

“Abī, mengapa Abī berkata pada Zain bahwa ia akan merawat istana ini?” tuntut Yasmeen, nadanya masih dikontrol, tetapi ketegasan yang baru ia gunakan di depan Wazir tadi kembali muncul.

Zahir melambaikan tangan, mencoba mengabaikan momen canggung itu. “Itu hanya obrolan kecil dengan anak-anak, Yasmeen. Aku hanya menenangkannya agar ia tidak bersedih saat kau pergi. Bagaimanapun, kau adalah putriku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Ia mendekati Yasmeen, matanya memancarkan rasa bersalah yang diatur, berusaha memeluk Yasmeen. Yasmeen membiarkannya, membiarkan tubuhnya tetap kaku di dalam pelukan dangkal itu. Ia tahu pelukan ini adalah kamera yang harus ditunjukkan kepada Mehra dan anak-anak, untuk menunjukkan betapa Zahir mencintai putrinya.

“Jika Abī benar-benar ingin yang terbaik untukku,” kata Yasmeen, menekan setiap kata saat Zahir melepaskannya, “maka Abī harusnya memberitahu Roobbatun Mehra dan Zain bahwa aku akan tetap tinggal di Nayyirah. Aku akan menjadi Emirah. Dan Zain adalah adikku, tapi ia bukan penerusku. Dia adalah Sayyid.”

Mehra yang mendengar itu, langsung kehilangan ketenangan. Ia melihat masa depan putranya yang dijanjikan Zahir akan terenggut. Rasa putus asa terlihat di matanya yang indah.

Mehra, digerakkan oleh naluri ibu yang takut kehilangan, mencoba mengimbangi situasi. Ia mengabaikan Zahir yang sudah mulai pucat karena kehilangan kendali narasi, dan mencoba meraih pipi Yasmeen, dalam gestur ibu tiri yang penuh kasih.

“Sayyidahku yang cantik. Kau pasti terlalu lelah setelah kematian Jaddīmu,” bisik Mehra, suaranya halus, penuh perhatian palsu yang ia ingat dengan jelas dari kehidupan masa lalunya—perhatian yang ia gunakan untuk memastikan Yasmeen selalu merasa aman sebelum menikamnya dari belakang. “Kami semua di sini untuk merawatmu, untuk memastikan kau tidak merasa terbebani. Istirahatlah, Sayyidah. Kami tidak mau kau jatuh sakit. Mungkin, istirahatlah selama setahun, lalu pergi ke Kota Agung?”

Jemari Mehra hampir menyentuh pipi Yasmeen.

Tiba-tiba, Yasmeen menggeser wajahnya, menghindari sentuhan itu. Ia menoleh ke Mehra, dan memberinya senyum. Itu bukan senyum seorang gadis kecil. Itu adalah senyum predator, lembut namun menakutkan, penuh dengan kesadaran akan masa depan yang mengerikan.

“Roobbatun Mehra tidak perlu khawatir tentang masa depanku.”

Wajah Mehra membeku. Sentuhan yang ditolaknya jauh lebih menyakitkan daripada penghinaan terbuka.

Yasmeen melanjutkan, matanya mengarah lurus ke mata Zahir yang panik, tetapi ia berbicara kepada Mehra. Suaranya rendah dan tajam, menusuk jauh di balik topeng Mehra sebagai ibu tiri yang penyayang.

“Abī yang akan merawatku. Bukankah begitu, Abī?” Yasmeen berhenti sejenak, sengaja membiarkan pertanyaan retoris itu menggantung di udara. “Atau Roobbatun lebih senang melihat aku pergi?”

Wajah Zahir seketika menjadi abu-abu. Ia mengerti implikasinya: Yasmeen menuduh Mehra mencoba menyingkirkannya demi masa depan Zain. Tuduhan itu dilemparkan di depan anak-anak, yang segera merasa tertekan oleh atmosfer yang dingin.

Zahir, menyadari dia telah kehilangan manuver emosionalnya, langsung menarik lengan Mehra dengan kasar, menyeretnya mundur dari ruangan itu.

“Sudah cukup! Sudah cukup. Yasmeen masih berduka. Kita akan kembali, Mehra. Ayo, Zain, Ruqayyah. Biarkan Sayyidah beristirahat!” Zahir menarik mereka keluar, dengan cepat menutup pintu gading itu.

Suara langkah kaki mereka berangsur-angsur menghilang. Keheningan yang tercipta jauh lebih menakutkan daripada kebisingan mereka. Yasmeen, sendirian, menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya gemetar hebat, bukan karena ketakutan, melainkan karena kelegaan bahwa interaksi penuh racun itu sudah berakhir.

Ia berjalan menuju jendela, mengintip melalui celah tirai yang tertutup rapat. Ia melihat Zahir di koridor Sayap Barat, mencengkeram lengan Mehra. Mereka sedang bertengkar. Wajah Mehra marah, ia memukul tangan Zahir. Mehra berbisik, sesuatu yang keras dan penuh tuduhan. Mereka berjalan pergi ke kediaman Zahir.

Yasmeen berdiri tegak, tangannya terkepal di ambang jendela. Di kehidupan lalu, ia selalu menganggap Mehra adalah selir biasa, korban dari janji-janji manis Zahir. Tetapi pertengkaran tadi, dan sorot mata Mehra saat ia berbicara tentang masa depan Zain, memberinya kesadaran dingin.

Mehra bukan sekadar korban yang dimanipulasi.

Mehra tahu rencana Zahir, Mehra terlibat, dan Mehra menuntut balas jasa.

Mehra adalah mitra Zahir dalam ambisi, dan itu berarti Roobbatun Mehra adalah musuh yang sama berbahayanya.

1
Melody Aurelia
aslinya cuma alat anak ini, dipake bapaknya yg maruk
Melody Aurelia
lah itu puterinya satu lagi piye?
Melody Aurelia
serem
Melody Aurelia
klan asalnya Zahir berarti ya?
Melody Aurelia
cape banget pasti jadi Yasmeen
Melody Aurelia
lagian ngga tau diri kau
Melody Aurelia
masih halus, nih mainnya
Melody Aurelia
aku bayanginya ko lucu, bocil ngasih perintah orang2 tua
Melody Aurelia
Zahir itu wali tapi berasa yang punya
Melody Aurelia
mulai tegang, penuh intrik politik sepertinya ini
Melody Aurelia
kasian baru 10 tahun udah ngurus pemerintahan
Melody Aurelia
Thor tanggung jawab... bawangnya kebanyakan disini... ku menangissss👍
Melody Aurelia
lah pede banget lo
Melody Aurelia
keren
Melody Aurelia
bedalah... baru balik dari akhirat nih😍😄
Melody Aurelia
khas banget... ide cowo lebih unggul dari cewek, kesel jadinya
SintabelumketemuRama
ini panglima tapi gampang panik😄
SintabelumketemuRama
mantappp
SintabelumketemuRama
syukurin aja, bader bet jadi bapak
SintabelumketemuRama
ini orang dasarnya emang udah jahat ya, Ama anak kaga mau ngalah pisan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!