NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:773
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 04

Bunga menatap Arga panik. Ini tidak ada dalam perjanjian! Perjanjian mereka dimulai di apartemen, bukan di sini, di kamar tidurnya yang sempit dengan poster-poster grup musik Korea di dindingnya.

Arga terlihat serba salah. Ia tidak mungkin membantah Ayah Bunga dan Ibunya di depan semua orang.

"Iya, sudah. Sana, masuk kamar. Kalian pasti capek," kata Ibu Bunga, mendorong pelan bahu putrinya dan memberikan senyum penuh arti pada Arga.

Mau tak mau, Bunga harus berjalan menuju kamarnya. Setiap langkah terasa seperti diiringi genderang perang di dalam dadanya. Ia bisa merasakan Arga berjalan di belakangnya. Ini terasa sangat salah. Ia biasa mempersilakan Mas Arga masuk ke kamarnya untuk melihat koleksi buku atau meminjam charger, tapi tidak seperti ini. Tidak dengan status baru mereka yang absurd.

Bunga membuka pintu kamarnya, lalu cepat-cepat masuk dan berdiri di sudut terjauh, seakan mencari perlindungan di dekat meja belajarnya.

Arga masuk dan menutup pintu di belakangnya.

Klik.

Suara grendel pintu yang tertutup itu terdengar seperti kunci sel penjara.

Hening.

Ruangan itu mendadak terasa menyusut hingga setengah ukurannya. Kamar tidurnya yang berukuran tiga kali empat meter, yang selalu terasa lapang, kini sesak bukan main. Oksigen seakan menipis.

Bunga memeluk lengannya sendiri, menolak untuk menatap Arga. Matanya sibuk memandangi tumpukan buku arsitektur di mejanya, seakan itu adalah hal paling menarik di dunia. Di belakangnya, ia bisa mendengar Arga meletakkan tas jinjingnya—yang entah sejak kapan sudah ada di sana—di lantai.

"Bunga."

Suara Arga memecah keheningan yang menyesakkan.

Bunga tidak menjawab. Ia terlalu sibuk mengatur detak jantungnya yang menggila.

"Ini... di luar rencana," kata Arga pelan. Suaranya terdengar sedikit serak.

Bunga akhirnya memberanikan diri menoleh. Arga masih berdiri di dekat pintu, beskap dan blangkonnya sudah dilepas, diletakkan rapi di atas kursi. Kini ia hanya mengenakan kemeja putih lengan panjang yang bagian atasnya sudah dibuka satu kancing. Dia terlihat lebih santai, lebih seperti Mas Arga yang biasa, tapi situasinya sama sekali tidak biasa.

"Rencana?" Bunga mendengus sinis. "Sejak awal memang nggak ada yang sesuai rencana, kan?"

"Mas serius. Mas nggak berpikir mereka akan memaksa kita... sekamar. Malam ini."

"Terus sekarang gimana?" tanya Bunga, nadanya mulai panik. Ia menunjuk ke arah pintu. "Mas Arga tidur di luar. Di sofa. Di mana aja, asal jangan di sini."

Arga menggeleng pelan. "Nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa?"

"Coba bayangkan," kata Arga dengan sabar, seolah sedang menjelaskan soal matematika yang rumit. "Besok jam lima pagi, Ibumu akan mengetuk pintu ini untuk membangunkan kita sholat Subuh. Kalau Mas nggak ada di sini, atau lebih buruk lagi, kalau beliau menemukan Mas tidur meringkuk di sofa ruang tamu... apa yang akan beliau pikirkan?"

Wajah Bunga langsung pucat. Ia bisa membayangkannya. Ibunya akan panik. Ayahnya akan marah. Mereka akan menginterogasi keduanya habis-habisan. Seluruh sandiwara mereka akan terbongkar bahkan sebelum babak pertama dimulai.

"Mereka akan tahu kita bertengkar di malam pertama," lanjut Arga. "Mereka akan menyalahkanmu karena 'tidak patuh', dan menyalahkanku karena 'tidak bisa membimbing'. Ini akan jadi masalah besar."

Bunga merosot ke kursi belajarnya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Habis itu gimana, Mas? Kita nggak mungkin..." Kalimatnya menggantung. Ia tidak sanggup mengucapkannya.

"Mas tidur di lantai," putus Arga. "Mas bisa minta bantal dan selimut."

"Sama aja!" sergah Bunga. "Kalau Ibu masuk dan lihat Mas Arga di lantai, itu lebih aneh lagi! Dikira Bunga melakukan KDRT ke suami sendiri?"

Arga menghela napas, terlihat sama frustrasinya. Ia mengusap wajahnya. "Oke. Kamu benar."

Keduanya terdiam lagi, berpikir keras. Bunga menatap satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Ranjang ukuran queen size miliknya, dengan sprei bergambar galaksi dan tumpukan boneka panda di sudutnya. Ranjang itu adalah wilayah paling pribadi miliknya. Dan kini ia harus membaginya.

"Satu-satunya cara," kata Arga pelan, seakan takut mengatakannya, "adalah kita berdua tidur... di sana." Ia menunjuk ranjang Bunga dengan dagunya.

Mata Bunga membelalak ngeri. "Nggak! Nggak mau!"

"Bunga, ini cuma untuk dua malam. Malam ini dan besok malam. Lusa pagi kita sudah di pesawat. Setelah itu, kamu dapat kamarmu sendiri. Kita hanya perlu bertahan selama, katakanlah, 48 jam," bujuk Arga. Logikanya masuk akal, tapi hati Bunga menolak mentah-mentah.

"Gimana caranya?!"

"Kita buat aturan," kata Arga, otaknya yang praktis mulai bekerja. Ia berjalan ke arah tempat tidur, mengambil guling besar di tengahnya. "Ini," katanya sambil meletakkan guling itu memanjang tepat di tengah-tengah kasur. "Ini adalah perbatasan. Tembok Berlin. Kamu di sisi sana, Mas di sisi sini. Kita nggak akan saling melewati batas. Anggap saja kita sedang tidur di dua ranjang terpisah yang kebetulan dempet."

Bunga menatap 'Tembok Berlin' dari guling itu dengan ragu. Solusi yang kekanak-kanakan, tapi mungkin satu-satunya yang mereka punya.

"Janji?" tanya Bunga dengan suara kecil.

"Janji," jawab Arga mantap. "Mas nggak akan melewati batas. Sedikit pun."

Bunga menghela napas panjang, merasa sedikit lebih tenang, meski tidak sepenuhnya. "Oke."

"Oke," balas Arga. "Sekarang... Mas mau ganti baju dan cuci muka. Kamu mau pakai kamar mandi dulu?"

Bunga langsung berdiri. "Aku dulu!" serunya, lalu dengan sigap menyambar daster tidurnya dari lemari dan handuk. Ia melesat masuk ke kamar mandi di dalam kamarnya dan mengunci pintu.

Di dalam kamar mandi, ia bersandar di pintu, jantungnya masih berdebar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Riasan pengantinnya sudah mulai luntur di beberapa bagian. Ia terlihat kacau.

Ia menghabiskan waktu selama mungkin di dalam. Menggosok gigi dua kali, mencuci muka tiga kali, bahkan menyikat ubin kamar mandi dengan sikat gigi bekas. Apa pun, asal bisa menunda momen canggung berikutnya.

Setelah hampir setengah jam, dengan berat hati ia keluar.

Pemandangan yang menyambutnya membuatnya berhenti melangkah. Arga sudah berganti pakaian. Laki-laki itu mengenakan kaus oblong abu-abu polos dan celana pendek selutut. Rambutnya sedikit basah dan acak-acakan. Ia sedang duduk di tepi ranjang—di sisinya—sambil membaca salah satu buku novel Bunga yang tergeletak di nakas.

Melihat Arga dalam pakaian santai seperti itu di kamarnya, duduk di ranjangnya... rasanya seratus kali lebih intim dan aneh daripada melihatnya dalam balutan beskap tadi.

Arga mendongak saat mendengar pintu terbuka. "Sudah?" tanyanya biasa saja.

Bunga hanya mengangguk kaku, lalu cepat-cepat naik ke sisi ranjangnya, memunggungi Arga. Ia menarik selimutnya sampai ke leher.

"Mas ke kamar mandi dulu," kata Arga.

Saat Arga masuk ke kamar mandi, Bunga dengan cepat menyingkirkan semua boneka pandanya ke lantai. Entah kenapa, rasanya sangat memalukan jika boneka-boneka itu harus "menyaksikan" semua ini.

Beberapa menit kemudian, Arga keluar. Lampu kamar dimatikan, menyisakan lampu tidur kecil di atas nakas yang cahayanya temaram.

Bunga merasakan sisi lain kasur sedikit bergoyang saat Arga naik ke atasnya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, tubuhnya kaku seperti papan.

Hening.

Hening yang paling canggung yang pernah Bunga alami seumur hidupnya.

Ia bisa mendengar suara napas Arga yang teratur di belakangnya. Ia bisa merasakan hawa hangat dari tubuh laki-laki itu, meski mereka dipisahkan oleh 'Benteng Guling'. Ia terlalu sadar akan setiap gerakan kecil, setiap desah napas. Tidur menjadi hal yang mustahil.

Satu jam berlalu. Bunga masih terjaga. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ia membayangkan apa yang akan terjadi besok. Apa yang akan terjadi di apartemen nanti.

"Bunga."

Suara Arga yang berbisik pelan di tengah keheningan membuatnya nyaris melompat kaget.

"I-iya?" jawabnya tergagap.

"Kamu belum tidur?"

"Belum," cicit Bunga. "Nggak bisa tidur."

Hening sejenak. "Sama," balas Arga.

Lalu hening lagi.

"Mas," panggil Bunga pelan, memberanikan diri.

"Ya?"

"Makasih," kata Bunga.

Terdengar suara Arga mengubah posisi, mungkin menghadap ke arahnya. "Untuk?"

"Untuk... semuanya. Untuk 'perjanjian' itu. Bunga tahu Mas Arga juga terpaksa. Maaf kalau Bunga tadi marah-marah."

Ada jeda yang cukup lama sebelum Arga menjawab. Suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Bukan salah kamu. Wajar kalau kamu marah. Mas juga akan marah kalau ada di posisimu."

"Tapi Mas Arga nggak marah."

"Buat apa marah?" kata Arga. "Ini bukan tentang kita. Ini tentang impianmu. Anggap saja Mas sedang menjalankan sebuah proyek jangka panjang. Proyek 'Melati Bunga Yasmin, Sarjana Teknik'. Tujuan utamanya adalah kelulusanmu. Semua ini... hanya bagian dari proses manajemen risikonya."

Bunga tersenyum kecil di dalam gelap. Cara Arga membingkai situasi itu dengan istilah-istilah arsitektur... entah kenapa terasa menenangkan. Seakan ini semua hanyalah sebuah masalah teknis yang butuh solusi, bukan drama kehidupan yang menghancurkan.

"Manajemen risiko, ya?" ulang Bunga.

"Betul. Rintangan pertamanya: bertahan dua malam di kamar ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Bisa?"

"Bisa," jawab Bunga, suaranya kini lebih mantap.

"Bagus," kata Arga. "Sekarang coba tidur. Besok kita punya misi sarapan pagi bersama sebagai 'pengantin baru'. Itu akan lebih sulit."

Bunga terkikik pelan. "Oke, Mas."

"Selamat malam, Bunga."

"Malam juga, Mas Arga."

Percakapan singkat itu entah bagaimana berhasil mencairkan ketegangan. Bunga masih merasa canggung, tapi tidak lagi setakut tadi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba merilekskan otot-ototnya yang kaku.

Hanya dua malam, ia mengingatkan dirinya sendiri. Dua malam demi empat tahun kebebasan.

Perlahan, dengan suara napas Arga yang teratur sebagai latar belakang yang anehnya menenangkan, mata Bunga akhirnya terasa berat. Ia pun terlelap, dengan 'Tembok Berlin' yang kokoh berdiri di antara mereka.

Pagi harinya, Bunga terbangun oleh suara kokok ayam tetangga. Ia mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia merasa tidurnya sangat nyenyak.

Ia berbalik, dan jantungnya serasa berhenti berdetak.

'Benteng Guling' itu sudah roboh. Guling besar itu terguling ke lantai. Dan yang lebih parah... tangannya tergeletak hanya beberapa senti dari lengan Arga yang terbalut kaus.

Arga masih tertidur pulas, wajahnya tenang. Hembusan napasnya yang teratur menerpa pipi Bunga. Dari jarak sedekat ini, Bunga baru sadar, Mas Arga punya bulu mata yang lentik.

Tok... tok... tok...

"Nduk! Arga! Bangun! Sudah Subuh!"

Suara Ibunya dari balik pintu membuat Bunga tersentak kaget. Ia menarik tangannya secepat kilat.

Arga langsung membuka matanya, terlihat sedikit bingung.

"Mas! Bangun!" bisik Bunga panik.

"Iya, Buk! Sudah bangun!" teriak Arga, suaranya serak khas orang baru bangun tidur.

Mereka berdua terduduk di atas ranjang, saling menatap dengan canggung. Rambut Bunga berantakan, wajah Arga terlihat bengkak.

"Misi pagi pertama," bisik Arga sambil menyeringai kecil.

Bunga tidak bisa menahan senyum. "Gagal total. Bentengnya runtuh."

Keduanya menatap guling yang teronggok menyedihkan di lantai.

Ini akan menjadi hari yang sangat, sangat panjang. Dan mereka masih punya satu malam lagi untuk dilewati.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!