“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Dipertemukan Dengan Mertua
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Maha akhirnya tiba di rumah sederhana milik Keana, satu-satunya sahabat yang tetap setia di sisinya. Tidak seperti yang lain, Keana tidak pernah berpaling. Bahkan, Keana dengan tegas melarang Maha untuk membuka ponselnya, mengetahui bahwa dia dan ayahnya telah menjadi topik panas di media sosial.
Anak-anak sekolah Cendana Maharaja dari kalangan elite sosial terus-menerus membuli Maha tanpa henti, namun Maha belum menanggapi hal tersebut, karena Keana yang melarangnya.
"Ternyata Papa ninggalin utang juga, Kea. Tiga miliar. Gimana caranya gue bisa cari uang sebanyak itu buat bayar utang Papa dari rentenir? Gue masih sekolah dan gak kerja, eh sekarang malah numpang hidup di rumah lo," keluh Maha dengan nada putus asa.
Keana mengelus punggung sahabatnya dengan lembut, berusaha memberikan sedikit kenyamanan di tengah kesulitan yang Maha hadapi. "Gue gak tau harus ngasih saran apa buat masalah lo, Maha. Suruh lo sabar juga gak banyak gunanya. Sini...peluk gue!"
Tanpa ragu, Maha memeluk Keana erat, menumpahkan segala kesedihan dan beban hatinya dalam dekapan sahabat yang masih bersedia memberikan dukungan.
Maha tahu bahwa dirinya lahir dari keluarga berada, tetapi ibunya selalu mendidiknya untuk hidup sederhana. Oleh karena itu, meski hidupnya berubah drastis, Maha tidak pernah merasa terlalu terpuruk karena ajaran ibunya masih melekat dalam dirinya. Namun, kali ini beban yang dia pikul terasa begitu berat, bahkan lebih berat daripada yang pernah dia bayangkan sebelumnya.
Pelukan itu buyar saat terdengar ketukan dari luar pintu. Keana segera berdiri, sedikit waspada. Dia tak menyangka akan ada tamu di saat seperti ini, terlebih lagi dengan kondisi Maha yang masih kacau. Keana mengintip dari celah pintu dan langsung terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.
Dengan cepat, dia membuka pintu lebih lebar, memperlihatkan sosok Sastra yang berdiri dengan wajah tegas namun ada kilatan kekhawatiran di matanya. Keana sempat tertegun, tak menyangka akan bertemu lagi dengan pacar Maha dalam situasi seperti ini.
“Mas Sastrawira ya? Kamu... Bisa tau Maha di sini?” Keana berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tetapi nada suaranya masih terdengar agak canggung.
Sastra mengangguk singkat, tatapannya langsung terfokus pada Maha yang berdiri di belakang Keana. Maha menatapnya dengan tatapan tajam, penuh ketidakpastian dan emosi yang berkecamuk.
"Come home with me, Maha. Kedua orang tua saya, Eyang Kakung dan Eyang Putri ingin bertemu menantunya," ucap Sastra dengan suara tenang namun tegas, seolah tidak memberinya ruang untuk menolak.
Maha terdiam sejenak, menelan pernyataan itu dengan hati yang bergejolak. Tatapannya semakin tajam, tidak percaya dengan situasi yang tiba-tiba ini, bahkan mulut lemes Sastra sudah membongkar hubungan mereka di hadapan Keana. Lalu, bagaimana mungkin dia, dalam kondisi yang berantakan seperti ini harus bertemu dengan keluarga Sastra? Yang terpandang itu.
Keana, yang berada di samping Maha, terkejut mendengar ucapan Sastra barusan. "What? Menantu? Maha, lo…" Keana tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Keheranan dan kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Dia saja bahkan masih menerka apakah Maha dan Sastra memiliki hubungan, tetapi setelah apa yang dia dengar tadi, Keana tak menyangka bahwa Maha telah—menikah.
"So, are you two married?" Tanya Keana dengan Kebingungan dan syok jelas tercekat di wajah Keana.
Maha mendesah dalam-dalam, merasa dadanya sesak oleh tekanan yang datang bertubi-tubi. Maha segera menarik tangan Keana, menjauh dari Sastra.
Keana menggelengkan kepala, masih terkejut. "Lo beneran udah nikah? Kapan, Maha? Kenapa gue gak tahu sama sekali?"
Maha menghela napas lagi, merasa berat untuk menjelaskan. "Iya, pokoknya gitu deh, Kea. Intinya, gue di jodohin dan dinikahi diam-diam sama Papa gue."
"WHAT??"
Keana menatap sahabatnya dengan keterkejutan lagi, dia bisa melihat bahwa Maha sedang terjebak dalam situasi yang sulit.
"Nanti gue ceritain sama lo, tapi tolong rahasia ini ya Kea, gue mohon."
"Iya lo tenang aja," kata Keana akhirnya, meskipun suaranya masih terdengar berat. "Tapi lo janji, lo akan ceritain semuanya ke gue nanti."
Maha mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Gue janji, Kea."
Keana memandang Maha dengan tatapan penuh simpati sebelum akhirnya merangkulnya sebentar. "Hati-hati ya, Maha. Gue selalu di sini buat lo."
Setelah momen singkat itu, Maha kembali menatap Sastra yang sudah menunggu. Maha memiliki rencana untuk itu, ia harus bisa berpikir realistis untuk keadaannya sekarang, dengan cara memanfaatkan Sastra. Kondisinya yang sangat kacau ini juga terjadi karena pria yang berada di hadapannya saat ini.
"Oke, gue ikut sama lo," kata Maha dengan suara pelan, Sastra mengangguk singkat lalu tangannya bergerak meraih tangan Maha, ia genggam tangan kecil istrinya dengan lembut. Maha sebenarnya ingin menghempaskan nya tetapi ia tidak mau banyak bertingkah dulu sekarang.
"Gue pamit ya, Kea. Makasih banget lo udah bantu gue," ucap Maha dengan tulus, meskipun hatinya masih berat karena sebenarnya enggan untuk tinggal bersama Sastra.
Keana hanya bisa mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Jaga diri lo baik-baik, Maha."
Setelah kepergian Maha, Keana terdiam di tempat, pikirannya sibuk mencerna kejadian barusan. Wajah Sastra yang dingin dan penuh karisma terus terngiang-ngiang di benaknya. Rasanya Keana pernah melihat wajah pria itu berseliweran di internet atau media sosial, tapi kapan dan di mana tepatnya?
Rasa penasaran yang tak terbendung membuat Keana segera meraih ponselnya. Dia mengetikkan nama "Sastrawira" di mesin pencari, dan berbagai artikel serta foto langsung muncul di layar. Keana terperangah saat melihat sederet berita dan informasi tentang Sastra. Ternyata Sastra bukan pria biasa—dia adalah pewaris keluarga Hardjosoemarto, pengusaha sukses, dan sosok yang sering dibicarakan di media. Nama dan wajahnya kerap muncul di acara-acara bergengsi, bersanding dengan orang-orang terkenal.
"Maha, lo... dinikahi cowok sekeren ini!" Pekik Maha kesenangan sendiri namun saat mengingat ekspresi wajah Maha tadi, ia rasa Maha benar-benar tidak menyukai Sastrawira.
•••
Maha tertegun melihat rumah utama yang dibicarakan Sastra dalam perjalanan tadi. Rumah megah itu jauh lebih besar dari yang ia bayangkan, lima kali lipat lebih besar dari rumah keluarganya yang dulu—rumah yang kini telah disita oleh bank. Kemewahan dan kemegahan bangunan itu membuat Maha merasa kecil dan terintimidasi. Ia takut di rundung karena ayahnya korupsi.
Saat Sastra memarkirkan mobil di depan pintu utama, Maha menatap bangunan besar tersebut dengan perasaan campur aduk. Dia tak bisa menyembunyikan kegugupannya, tangannya yang berada di pangkuan mulai gemetar halus.
"Kamu sudah siap?" Sastra bertanya lembut, menyadari kegugupan yang terpancar jelas dari wajah Maha. Dia menoleh lagi ke arah istrinya, memberikan senyum yang mencoba menenangkan.
Maha mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih diliputi oleh keraguan. "Siap atau engga, gue harus tetep masuk, kan?!" Ujarnya dengan suara nyaris berbisik.
Sastra meraih tangan Maha, menggenggamnya dengan lembut. "Harus masuk," Maha sebal sekali Sastra sengaja ingin mencari kesempatan dengan menggenggam tangannya, "kaya gini, biar gak dicurigai keluarga saya kalau sebenarnya kamu benci saya."
Maha mendengus kesal, merasa jengah dengan situasi yang memaksa dirinya untuk bermain peran. "Tuh kan, lo emang nyari kesempatan dalam kesempitan, Sas! Tapi dengerin gue baik-baik. Gue gak akan pernah bisa nerima lo sebagai suami gue, titik. Lagian gue gak pernah ngerasa kita beneran nikah."
Sastra menatap Maha dengan pandangan yang sulit ditebak, sebelum menghela napas panjang. "Terserah kamu mau berpikir seperti apa tapi kita harus tetap masuk sekarang. Eyang Putri sudah engga sabar ingin ketemu dengan menantunya."
Maha menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Dengan berat hati, dia mengikuti langkah Sastra menuju rumah besar itu.
Baru saja menginjakkan kaki di teras rumah, Maha sudah merasakan atmosfer yang begitu kuat menyelimuti sekitarnya. Ada sesuatu yang sangat berbeda di sini, sesuatu yang membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Suasana yang dominan dan berwibawa dari rumah ini seolah-olah menekannya dari segala arah.
Pintu rumah yang besar dan megah itu dibuka oleh seorang pelayan yang tampak sangat rapi dan profesional. Tanpa menunggu lebih lama, mereka segera disambut dengan penuh kehangatan oleh pelayan tersebut, namun Maha tidak bisa mengabaikan rasa canggung yang menempel di sudut hatinya.
"Sugeng rawuh, Tuan muda Sastrawira, Nona Maharani," ucap pelayan itu dengan suara ramah, memperlihatkan senyuman sopan yang menambah nuansa formal pada tempat ini.
Maha menoleh sekilas ke arah Sastra, yang tampak tenang dan percaya diri. Perasaan Maha semakin tak karuan—antara gugup, bingung, dan sedikit terintimidasi oleh situasi ini. Dia merasa dirinya jauh dari tempat yang seharusnya, seolah-olah tengah melangkah masuk ke dalam dunia yang benar-benar asing.
"Tuan, Nona. Eyang Ti dan Eyang Kakung serta Ibu dan Bapak sudah menunggu di ruang keluarga. Mari saya antar," lanjut pelayan itu dengan sopan, membungkukkan badannya sedikit sebelum mempersilakan mereka masuk.
Maha mengangguk perlahan, meski hatinya masih diselimuti keraguan. Dia merasa canggung di bawah sorotan perhatian yang begitu formal, tetapi dia tahu bahwa ini adalah bagian dari realita baru yang harus dia hadapi. Dengan langkah yang sedikit berat, dia mengikuti Sastra dan pelayan itu menuju ruang keluarga.
Saat mereka semakin mendekati ruang keluarga, Maha bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Bayangan tentang pertemuan dengan kedua orang tua Sastra, Eyang putri dan Eyang Kakung terus menghantuinya, membuatnya semakin tegang. Meskipun Sastra tampak tenang, Maha tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Sastra melirik Maha sekilas, lalu menggenggam tangannya sedikit lebih erat, seakan memberikan isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.
Kekhawatiran Maha seakan sedikit sirna saat mereka melangkah masuk ke ruang keluarga yang luas dan elegan. Di sana, Maha disambut oleh dua sosok wanita dengan senyuman anggun. Yang pertama adalah seorang wanita yang seumuran dengan almarhumah ibunya, wajahnya lembut dan penuh kehangatan. Sedangkan yang kedua, seorang wanita paruh baya yang sama-sama menatap Maha dengan kelembutan.
Namun, tidak demikian dengan dua laki-laki yang juga berada di ruangan itu. Mereka tampak duduk dengan tenang, menatap Maha dan Sastra dengan ekspresi datar. Laki-laki yang lebih tua, Eyang Kakung, menunjukkan sedikit ketegasan di balik ketenangannya, sementara yang lebih muda, bapaknya Sastra tampak lebih sulit ditebak, dengan pandangan yang seolah menilai setiap gerak-gerik Maha.
Sastra dengan santun menyalami punggung orang tua nya dan dua tetua disana, Maha mengikuti Sastra.
"Selamat datang, cucunya Eyang," sapa wanita yang lebih tua dengan suara lembut. "Saya Eyang Ti, di sebelah Eyang ini ibunya Sastra, Rengganis, dan disana ada Eyang Kakung, juga Bapaknya Sastra, Adiwira. Kami sudah lama menunggu untuk bertemu dengan menantu kami ini loh."
Maha tersenyum tipis, mencoba menunjukkan rasa hormat. "Terima kasih, Eyang Ti," jawabnya pelan. "Maafkan jika aku membuat kalian menunggu."
Eyang Ti tersenyum hangat, lalu menoleh ke arah Sastra. "Sastra, duduklah dulu bersama Maha. Kami ingin mengenal lebih dekat menantu kami ini."
Sastra mengangguk dan memandu Maha ke sofa yang ada di ruangan itu. Maha duduk dengan hati-hati, merasa setiap gerakannya diawasi.
"Sudah lima bulan, dan kamu baru bawa cucu eyang kemari Sastra? Keterlaluan kamu, eyang tau kamu ingin melindungi istrimu, tapi ya tidak disembunyikan juga." Ujar Eyang Putri, wajahnya tersenyum lembut kearah Maha.
Maharani sendiri kebingungan dengan perkataan Eyang putri, kemudian ia menoleh kearah Sastra yang juga melihatnya, Maha benar-benar butuh penjelasan dari Sastra.
"Duh cantiknya kamu cah ayu, mirip dengan ibumu, Ambar," puji Eyang putri dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang. Maha tertegun sejenak mendengar pujian itu. Ia tidak menyangka Eyang Ti akan menyebut nama ibunya. Sepertinya papanya, Wirastama dan ibunya benar-benar menjalin hubungan erat dengan keluarga Hardjo.
"Terima kasih, Eyang," jawab Maha pelan, berusaha menjaga nada suaranya agar tetap sopan.
"Maharani, selamat datang di keluarga kami ya nak," Rengganis membuka suara, ibu Sastra yang sangat ayu rupawan dan anggun pembawaannya.
Maha tersenyum tipis. "Terima kasih, Bu," jawabnya dengan suara lembut, sambil menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. Seumur-umur dia belum pernah begini walaupun berbicara dengan orang yang lebih tua darinya, tetapi mengobrol dengan mereka seperti menghipnotis Maha untuk bersikap begitu santun. Seperti bukan dirinya yang biasa bersikap bar-bar.
Rengganis, ibu Sastra, tersenyum hangat ke arah Maha. "Kamu pasti merasa canggung dan mungkin sedikit tertekan, tetapi anggaplah rumah ini sebagai rumahmu sendiri. Kami keluarga di sini, dan kami ingin kamu merasa nyaman," ujarnya dengan nada penuh kasih sayang.
Maha hanya bisa mengangguk, hatinya masih berdebar kencang. "Terimakasih Ibu atas pengertiannya."
Sastra, yang duduk di samping Maha, merasakan ketegangan istrinya. "Ibu, Eyang, Maha memang butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Dia baru pertama kali ke sini, dan ini semua pasti sangat baru baginya," ujar Sastra, berusaha melindungi Maha dari tekanan yang mungkin dirasakannya.
Rengganis mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sastra. Kami tidak akan memaksa apa pun. Kami hanya ingin mengenal menantu kami lebih dekat."
Eyang putri menambahkan, "tidak apa-apa nak, kedua laki-laki di sebelah ibu memang suka mengintimidasi," ujar Eyang putri, seolah menyindir dua laki-laki yang duduk bersebelahan itu dengan tatapan menghunus.
Eyang Kakung yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Selamat datang di kelurga kami nak Maha,"
Maha menggigit bibirnya, mencoba menetralkan desir jantung nya yang semakin menggila, "sial, perasaan takut seperti apa ini?" Batinnya ruwet. "Terima kasih Eyang, terimakasih sudah menerima Maha di keluarga kalian."
Eyang Kakung hanya mengangguk pelan, sedangkan Bapak Sastra sama sekali tidak membuka suara.
Maha merasakan sorotan tajam dari Bapaknya Sastra yang seolah menembus pikirannya. Tatapan pria tua itu penuh dengan kewibawaan yang membuat Maha semakin merasa kecil di hadapannya.
•••
Hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring di ruang makan yang megah itu. Lampu kristal yang tergantung di langit-langit memberikan cahaya hangat, tapi suasananya terasa dingin. Maha duduk di samping Sastra, berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan kegugupan yang semakin memuncak. Di seberang meja, Eyang Kakung dan Eyang Ti duduk dengan anggun, menikmati hidangan mereka dengan penuh kesopanan.
Bapak Sastra, yang duduk di ujung meja, masih belum berkata apa-apa sejak pertemuan mereka tadi. Dia hanya sesekali menatap Maha, membuat gadis itu semakin merasa tidak nyaman. Aura yang dipancarkannya begitu dingin dan menekan, seolah setiap tatapannya adalah sebuah penilaian. Maha mencoba fokus pada makanannya, tetapi keheningan dan tatapan itu membuat setiap suapan terasa berat.
Ibu Sastra, Rengganis, sesekali membuka suara hanya untuk menanyakan apakah suaminya ingin menambah nasi atau hidangan lain yang tersaji di atas meja. Perhatiannya tampak sepenuhnya tertuju pada kebutuhan suaminya.
Eyang Ti juga melakukan hal yang sama. Keduanya tampak begitu sibuk memastikan bahwa suami mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Di mata Maha, ini semua terasa seperti pemandangan dari sebuah keluarga yang menjalani aturan kolot dan patriarki yang sangat kental, di mana para wanita berada di bawah bayang-bayang suami mereka.
Maha memperhatikan ini semua dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa beruntung tidak dibesarkan dalam lingkungan seperti itu, di mana perempuan seolah-olah hanya berperan sebagai pelayan bagi laki-laki. Namun, di sisi lain, ia merasa terperangkap di dalamnya sekarang, dinikahi karena perjodohan dan dengan Sastra yang berasal dari keluarga ini. Bagaimana ia bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang penuh aturan yang sepertinya akan sangat mengekang nya ini? Maha benar-benar frustasi memikirkannya.
Sastra, yang duduk di sebelahnya, tampak tenang, seakan suasana ini adalah hal biasa baginya. Maha benar-benar merasa terjebak dalam dunia yang sangat berbeda dari dunianya yang penuh kebebasan.