Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Langkah Audy di lobi kantor menarik perhatian sebagian orang yang ada di lobby. Sepatu haknya memukul lantai marmer dengan ritme yang teratur, keras, dan penuh wibawa, menenggelamkan segala riak kecil di dalam hatinya yang masih berantakan. Audy tidak mau jika ada yang perlu tahu bahwa dia baru saja menyaksikan rumah tangganya runtuh.
Beberapa karyawan menunduk cepat ketika tatapan Audy menyapu mereka, seolah takut bahwa dirinya bisa membaca isi pikiran mereka hanya dengan sekali pandang. Dia terus melangkah, pandangan lurus ke depan, tak sedikit pun dia tampak peduli dengan dengung gumaman tiap pasang mata yang melihatnya kembali ke kantor, setelah dia begitu dramatis menyatakan diri akan resign.
Pintu lift terbuka, bayangannya terpantul di dinding logam—mata sembab, garis halus di sudut bibir, dan lelah yang tak sepenuhnya bisa dia sembunyikan. Sekilas, dia melihat seorang perempuan yang hampir jatuh. Tapi hanya sedetik. Audy segera menarik napas panjang, merapikan bahu, dan berbisik pada dirinya sendiri: Aku tidak akan jatuh hanya karena masalah rumah tanggaku, aku akan buktikan pada semua orang bahwa aku lebih kuat dari yang bisa mereka bayangkan.
Di ruangan direksi, dunia seakan bergerak lebih cepat. Telepon berdering, sekretaris bergegas dengan tumpukan dokumen, aroma kopi pahit memenuhi udara. Seorang wanita muda berdiri dari meja kerjanya, tersenyum sopan.
“Selamat pagi, Bu Audy. Pak Dion sudah menunggu di dalam.”
Audy membalas dengan senyum tipis—senyum yang hanya sekadar formalitas, tanpa sedikit pun menyentuh matanya. Tangannya mengetuk pelan, lalu mendorong pintu ruangan itu.
Dion berdiri di balik meja kayu besar, meja yang dulunya menjadi singgasana bagi Teddy.
Tubuhnya condong sedikit ke depan, dikelilingi layar laptop dan berkas-berkas yang tampak seperti sisa pertempuran semalam. Sorot matanya tajam, penuh fokus, tapi begitu menangkap kehadiran Audy, ada kilatan lembut yang nyaris tak kentara.
“Silakan duduk, Bu Audy,” ucapnya. Suaranya dalam, tegas, tapi tidak mengandung dingin yang menakutkan.
Audy melangkah masuk. Map cokelat di tangannya terasa lebih berat dari seharusnya, seolah membawa bukan hanya rancangan proyek, tapi juga rahasia yang menghantam jantungnya beberapa jam lalu. Dia meletakkannya di meja dengan hati-hati, menahan getar halus di jemarinya.
“Ini semua rancangan finalnya,” katanya, suara yang keluar stabil, berdisiplin. “Saya tambahkan revisi terakhir sebagai penutup.”
Dion tidak langsung menyentuh map itu. Matanya menatap Audy, tajam tapi penuh tanya, seakan ingin menerobos lapisan tenang yang menjadi benteng ditengah lautan. Audy membalas tatapan itu tanpa berkedip, meski di balik ketegasannya, bayangan Chandra dan Jenny masih terputar jelas, menusuk seperti duri beracun yang menggerogoti hatinya.
Di dalam kepalanya, badai masih mengamuk. Tapi di ruangan itu—di bawah tatapan Dion, di tengah reputasi perusahaan yang dipertaruhkan—Audy memilih untuk hanya memperlihatkan satu wajah: wajah seorang perempuan yang mampu berdiri tegak disela badai yang mungkin menghantam dirinya.
...***...
Dion membuka map itu perlahan, Jemarinya menyapu lembaran kertas, matanya bergerak cepat membaca detail rancangan. Namun sesekali, dia mengangkat pandangan, menatap Audy lekat-lekat. Tatapan yang sulit untuk diartikan, mungkin karena rasa penasaran Dion terhadap sosok yang bahkan tidak pernah terdengar menonjol di perusahaan, tapi berhasil membuat dewan komisaris turun tangan untuk membawanya kembali ke perusahaan.
“Rapi sekali,” ujarnya datar, seolah berbicara pada berkas. Tapi nada suaranya menyiratkan lebih banyak. “Rancangan ini jauh lebih bagus dari yang saya perkirakan, kamu sepertinya tahu persis apa yang harus dilakukan”
Audy hanya mengangguk tipis. “Itu bagian dari pekerjaan saya.”
Dion tersenyum samar, meski senyum itu cukup samar. Dia menutup map, lalu menyilangkan tangan di depan dada. Tatapannya kali ini seolah ingin mencari tahu apa yang ada di pikiran wanita yang berdiri dihadapannya itu
“Bagaimana perasaan anda?” tanyanya perlahan, nada suaranya nyaris menyerupai gumaman. “Setelah kejadian besar di perusahaan ini, kamu bersikap seolah tidak pernah ada yang terjadi. Apalagi, bisa dibilang kamu ikut berperan dalam masalah ini"
Jantung Audy berdetak lebih keras, tapi wajahnya tetap tak bergeming. Dia hanya membalas dengan senyum tipis yang terasa hambar di bibirnya. “Maafkan saya pak, tapi bagi saya sekarang yang terpenting adalah tetap berusaha bersikap profesional dengan pekerjaan saya. Mungkin masalah ini saya juga ikut jadi penyebabnya, tapi sebagai manusia, saya hanya ingin keadilan bagi diri saya sendiri. Jika hal yang dilakukan pak Teddy terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan ada orang lain yang bernasib sama dengan saya. Bukankah hal itu akan membuat perusahaan terlihat tidak bisa melindungi karyawannya sendiri?”
Dion menatapnya lebih lama, lalu mengangguk pelan, seolah menghormati jawaban yang sebenarnya sudah bisa dia duga sebelumnya. Hening menggantung di antara mereka.
Akhirnya Dion berkata, suaranya kembali tegas, seakan membungkus kembali semua kepekaan tadi dengan lapisan profesionalisme.
“Baiklah. Seminggu lagi kita akan berangkat ke Singapura dan kita akan presentasi ulang dihadapan para investor. Saya butuh kamu di sana. Pastikan semuanya siap dan tidak ada kesalahan dalam presentasi. Saya juga akan meminta Yunita untuk ikut, bukankah dia asistenmu sekarang?"
Audy mengangguk, berdiri, lalu merapikan map yang kini kosong di tangannya. Dia melangkah keluar, meninggalkan ruangan itu dengan langkah yakin.
Namun di belakangnya, Dion masih duduk tegak, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ada kerutan samar di dahinya, "Biasanya aku bisa menebak jalan pikiran orang lain, saat aku berbicara dengan mereka. Tapi dengan dia, aku merasa kesulitan. Selain itu, sepertinya dia cukup tangguh. Menarik sekali"
...***...
Audy menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membiarkan kelelahan menenggelamkan sendi-sendi yang kaku. Ruang tamu yang biasanya memberi rasa aman kini terasa hampa, dingin, seakan ikut menertawakan luka yang sedang dia pendam. Lampu gantung berpendar redup, bayangannya memanjang di dinding, menyisakan kesunyian yang menyesakkan.
Suaminya tidak ada dirumah. Audy tidak perlu menunggu, tidak perlu bertanya. Dia tahu persis di mana Chandra berada sekarang, atau lebih tepatnya—dengan siapa.
Ponselnya masih tergeletak di samping, menampilkan pesan terakhir yang masuk satu jam lalu. “Aku harus mengurus pekerjaan. Mungkin tidak pulang beberapa hari.”
Kalimat yang kaku, dingin, dan begitu mudah dipatahkan kebenarannya oleh mata Audy sendiri tadi pagi.
Dengan gerakan kesal, Audy melempar ponsel itu. Bunyi thud lembut ketika perangkat itu menghantam bantal sofa, seakan tidak cukup mewakili amarah yang bergejolak di dadanya.
“Tch…” dia mendesis, menekan giginya rapat. “Bekerja. Dulu mungkin aku bakalan percaya. Tapi setelah apa yang kulihat… nggak lagi. Aku nggak akan pernah percaya lagi.”
Matanya menyapu ruangan, menelusuri tiap sudut rumah yang selama ini ia rawat dengan penuh cinta. Sofa yang dia pilih sendiri, tirai yang dia beli secara online beberapa tahun lalu, bahkan pigura-pigura di dinding yang ia beli dari gajinya sendiri. Lima tahun mereka menikah, dan semua kenyamanan ini lebih banyak lahir dari keringatnya.
Sejak Chandra nekat membangun bisnisnya sendiri, penghasilan rumah tangga nyaris seluruhnya bertumpu pada Audy. Dia membayar tagihan listrik, air, cicilan kecil-kecilan, bahkan kebutuhan sehari-hari. Dia lakukan dengan ikhlas, dengan keyakinan bahwa pernikahan adalah kerja sama, bahwa kesuksesan Chandra kelak akan jadi milik mereka berdua.
Tapi kini, kenyataan menamparnya. Balasan dari semua pengorbanan itu bukan cinta yang lebih hangat, melainkan pengkhianatan busuk suami dan adik tirinya.
Tiba-tiba, seperti disambar kilat, sebuah pikiran melintas di kepalanya. Audy bangkit, langkahnya tergesa menuju kamar. Tangannya gemetar saat membuka laci lemari, mengeluarkan sebuah map kusam yang sudah lama tidak ia sentuh.
Sertifikat rumah.
Jantungnya berdegup lebih pelan ketika melihat nama yang tertera di sana—nama almarhum ibunya, bukan Chandra, bukan mereka berdua. Sebuah kelegaan aneh merambat ke dadanya. Berulang kali Chandra meminta agar sertifikat itu dibalik nama, berulang kali pula Audy menunda. Sibuk, katanya waktu itu. Tapi kini dia sadar, penundaan itu adalah penyelamatnya.
Rumah ini bukan milik mereka. Rumah ini diatas kertas masih milik almarhum ibunya, yang dibeli setelah kedua orang tua Audy bercerai.
Jika perceraian benar-benar terjadi diantara Audy dan Chandra, tempat ini akan tetap menjadi bentengnya, yang tidak akan bisa disentuh oleh siapa pun, termasuk suaminya sendiri.
Audy menatap sertifikat itu lama, matanya berkilat bukan lagi oleh air mata, melainkan oleh tekad yang semakin mengeras. Bibirnya terkatup rapat, lalu terbuka perlahan, mengucapkan janji yang hanya bisa didengar dinding kamar dan arwah ibunya.
“Chandra…” suaranya nyaris berbisik, namun sarat dengan bara. “Kamu salah kalau mengira kalau aku akan diam saja. Aku akan ambil kembali semua yang berharga dalam hidupmu, seperti kamu mengambil semua yang berharga di hidupku. Pelan-pelan, satu demi satu, sampai kamu benar-benar tak punya apa-apa. Dan saat itu tiba… aku akan buang kamu. Seperti sampah yang tidak pantas lagi menempel di hidupku. Saat itu terjadi, kamu bisa bersenang-senang dengan Jenny, itupun kalau dia masih mau denganmu”
Sertifikat itu dia peluk sebentar, seakan memeluk sisa kekuatan terakhirnya. Malam itu, dia bertekad, tidak akan menjadi perempuan lemah tapi sebagai perempuan yang bersiap mengatur bidak-bidak balas dendamnya dan menemukan kebahagiaannya sendiri.