NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HIDUP LEBIH RINGAN TANPANYA

Nayara melangkah pelan menyusuri jalanan sempit, melewati rumah-rumah reyot yang berdiri rapuh di atas tanah penuh genangan. Aroma lembab, asap, dan sisa makanan memenuhi udara semua membawanya kembali pada masa lalu yang selalu ia coba lupakan.

Setiap langkah membawanya makin dalam ke jantung permukiman kumuh di pinggir kota. Tempat di mana suara tawa anak-anak bercampur isak tangis malam. Tempat yang dulu disebutnya rumah. Tempat di mana seorang wanita membesarkannya seseorang yang kini bahkan tak ia tahu apakah masih hidup.

Langkahnya terhenti di depan satu pintu kayu tua yang mulai lapuk, catnya mengelupas, dan engselnya berkarat. Di balik pintu itu, kenangan pahit menunggu.

Nayara menarik napas dalam-dalam. Ia tak tahu apa yang akan ia temukan… atau siapa.

Nayara membuka pintu rumah itu perlahan. Bau apek yang khas langsung menyergap hidungnya perpaduan antara asap rokok basi dan parfum murahan yang familiar, menyayat ingatannya.

Langkah kakinya menuntunnya ke arah lorong sempit menuju kamar di ujung. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, terdengar suara-suara samar. Desahan. Tawa pelan. Suara tempat tidur yang berderit pelan.

Dada Nayara terasa sesak. Tak ada yang berubah, pikirnya. Rumah ini, wanita itu, semua tetap sama seakan waktu berhenti di titik luka yang sama.

Ia memalingkan wajah, menahan napas, lalu mundur beberapa langkah. Kepalanya menunduk. Sekuat apa pun ia mencoba melepaskan diri dari masa lalu, tempat ini selalu punya cara untuk menyakitinya lagi.

Seorang pria keluar dari kamar dengan langkah santai, menarik ritsleting celananya sambil menyeringai puas. Di belakangnya, seorang wanita paruh baya dengan gaun tidur tipis mengikutinya sambil terkekeh kecil.

"Aku balik dulu, sayang. Terima kasih atas… layanan hangatmu malam ini," ucap pria itu sembarangan, lalu meraih dagu si wanita dan mencium bibirnya dalam, tanpa rasa malu.

Mereka bahkan tak menyadari keberadaan Nayara yang berdiri membeku di ambang pintu ruang tamu. Atau mungkin menyadari, tapi memilih untuk tak peduli.

Nayara menatap lurus ke depan, wajahnya datar, matanya mati. Seolah sudah terlalu sering melihat pemandangan yang serupa.

Pria itu melirik Nayara sejenak, mengangkat alis tanpa rasa bersalah, lalu pergi begitu saja.

Wanita itu menoleh mata mereka bertemu.

"Oh… kau akhirnya pulang juga," ucapnya pelan, dengan suara serak dan senyum yang sudah tak punya makna bagi Nayara.

"Kenapa ibu masih melayani pria-pria seperti itu? Bukankah setiap bulan aku mengirim uang?" tanya Nayara dengan suara gemetar menahan amarah.

Fredricka Raveil tidak langsung menjawab. Wanita paruh baya itu hanya mendesah, lalu duduk di sofa tua yang tampak semakin reyot dari terakhir kali Nayara melihatnya. Dengan tenang, ia menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, dan menghembuskan asap ke langit-langit ruangan seolah pertanyaan putrinya tak layak dijawab.

“Kau kira cukup, uang segitu?” gumam Fredricka akhirnya, matanya menatap kosong. “Kalau kau ingin aku berhenti, kirim lebih banyak lagi. Hidup ini tidak semurah yang kau kira.”

Nayara menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Kurang, kata Ibu? Aku mengirim lima juta setiap bulan! Dan Ibu tinggal di sini sendirian. Itu lebih dari cukup untuk hidup layak.”

Fredricka hanya tertawa pendek, getir. “Hidup layak? Dengan lima juta? Kau naif, Nayara. Kau pikir hidup bisa dibeli dengan uang kirimanmu? Itu cuma menutup sebagian kecil dari yang sudah rusak sejak lama.”

“Jadi Ibu memilih tetap menjual diri?” suara Nayara meninggi, emosinya memuncak. “Karena menurut Ibu itu lebih realistis daripada berubah?”

Fredricka membuang pandangannya, kembali mengisap rokok. “Setidaknya aku tidak munafik seperti orang-orang yang berpura-pura suci.”

"Pergilah dari sini. Aku tidak butuh digurui oleh anak ingusan sepertimu," ucap Fredricka tajam, meludah ke arah lantai, lalu menyender malas di sofa reyotnya.

Nayara mengepalkan tangannya. Napasnya terengah oleh emosi yang ditahan sejak tadi. Ia menatap ibunya dengan tatapan penuh luka dan kemarahan yang tak bisa lagi disembunyikan.

"Aku ke sini… hanya ingin memberi tahu satu hal," ucap Nayara dingin. "Kakek… telah tiada."

Fredricka berhenti mengisap rokoknya. Sejenak, ada bayangan kejutan melintas di wajahnya. Tapi detik berikutnya, ia menekan puntung rokok di asbak dan kembali pada sikap acuhnya.

"Persetan dengan tua bangka itu," ucap Fredricka sambil bangkit berdiri. "Sudah mati? Bagus. Dunia jadi sedikit lebih ringan tanpanya."

Nayara terdiam. Kata-kata ibunya seperti pisau yang menusuk jauh ke dalam. Hatinya mencelos, tapi ia tidak mau menunjukkan betapa hancurnya perasaannya.

"Astaga…" bisiknya pelan. "Ibu bahkan tidak punya sedikit pun rasa hormat pada orang tua sendiri."

Fredricka menatapnya tajam, bibirnya menyeringai. “Oh, jadi sekarang kau datang sebagai pengkhotbah ya? Jangan berpura-pura tahu segalanya, Nayara. Kau tak pernah tahu separuh dari apa yang kulalui.”

"Aku tahu cukup," balas Nayara getir. "Cukup untuk tahu… bahwa aku tak ingin jadi seperti Ibu."

Lalu Nayara berbalik, melangkah keluar dari rumah itu tanpa menoleh ke belakang.

Nayara berjalan cepat menyusuri trotoar yang lengang. Lampu jalan temaram menyinari wajahnya yang basah oleh air mata. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin malam, tapi karena amarah, kecewa, dan luka yang bertumpuk.

Ia menunggu kereta tanpa suara. Wajahnya menunduk, tangan gemetar saat memegang tiket yang setengah basah karena air mata. Tidak ada lagi kata-kata yang tersisa untuk dikeluarkan semuanya telah hancur dalam percakapan terakhir itu.

Sesampainya di apartemen, Nayara buru-buru membuka pintu dan menguncinya kembali rapat-rapat. Ia menjatuhkan tasnya begitu saja di lantai, melepas sepatunya tanpa peduli, lalu jatuh terduduk di samping sofa.

Tangisnya pecah bukan tangis manja, bukan tangis lemah. Tapi tangis perempuan muda yang menahan segalanya terlalu lama. Tangis yang menyesakkan dada karena dunia terlalu kejam dan orang-orang yang seharusnya melindungi justru menyakiti.

"Apa salahku..." isaknya lirih. "Kenapa tak ada satu pun yang benar-benar mencintaiku… tanpa syarat?"

Nayara memeluk lututnya sendiri, mencoba menyatukan kembali pecahan dirinya yang berserakan. Hanya suara isaknya yang memenuhi ruangan apartemen malam itu.

Dan di tengah kesunyian yang menusuk, Nayara berjanji dalam hati ia akan bangkit. Meski perlahan, meski tertatih. Karena jika ia terus diam, maka ia akan hancur... dan ia tidak ingin dikalahkan oleh luka yang bukan ia ciptakan.

Tepat tengah malam, Kaelith datang. Pria itu membuka pintu apartemen dengan pelan, lalu masuk ke kamar dan mendapati Nayara tertidur pulas di sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat damai, meski bekas tangis masih samar membekas di pipinya.

Tanpa membangunkannya, Kaelith mengangkat tubuh Nayara dan membawanya ke tempat tidur. Ia menyelimutinya dengan hati-hati, lalu membungkuk menatap wajah itu lama.

"Manis, bahkan setelah menangis," gumamnya sambil tersenyum kecil, terkekeh pelan sebelum pergi ke kamar mandi.

Keesokan paginya, saat Kaelith membuka pintu kamar dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih mengantuk, aroma sarapan menyambutnya. Ia melihat Nayara berdiri di dekat meja makan kecil, menyiapkan piring untuk dua orang.

Steak daging, salad sayur, dan segelas smoothie buah naga menu favoritnya.

Kaelith mendekat dari belakang dan menepuk ringan bokong Nayara, membuat gadis itu sedikit terlonjak kaget.

"Bukan cara yang sopan untuk menyapa," ucap Nayara, menoleh separuh kesal.

Kaelith hanya terkekeh, lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir Nayara.

"Good morning," ucapnya santai, seperti tak terjadi apa-apa barusan.

Mereka duduk berhadapan di meja makan kecil itu, menyantap sarapan dalam diam. Hanya suara denting garpu menyentuh piring yang sesekali terdengar, memecah keheningan yang menggantung.

Kaelith sibuk dengan salad sayur dan smoothie buah naga kesukaannya, tampak tenang seperti biasanya. Sementara Nayara perlahan mengunyah stik daging miliknya, matanya lebih banyak tertuju pada meja dibandingkan pria di depannya.

Tak ada kata, tak ada tegur sapa lagi. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, seolah pagi itu hanyalah rutinitas tanpa makna lebih.

Selesai makan, Nayara bangkit dari kursinya dan membawa piring kotor ke dapur. Ia baru saja meletakkan piring ke dalam wastafel ketika lengan kuat Kaelith melingkar di pinggangnya dari belakang.

"Belum selesai, sayang," gumam Kaelith, suaranya rendah dan berat.

Sebelum Nayara sempat bereaksi, pria itu menariknya pelan namun pasti, membuat tubuhnya terduduk di pangkuan Kaelith yang sudah lebih dulu duduk di kursi bar dekat dapur.

Nayara terdiam, jantungnya berdetak tidak karuan, namun tubuhnya terlalu letih untuk melawan.

"Ada yang ingin kubicarakan," ucap Kaelith akhirnya, menatap wajah Nayara yang menghindari tatapannya.

"Apa yang membuatmu menangis tadi malam?" tanya Kaelith, memeluk tubuh Nayara dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu.

Nayara terdiam sejenak. Kehangatan tubuh pria itu membingungkan pikirannya membuatnya ingin mengeluh, namun juga enggan membuka luka lama.

"Tidak ada, Kaelith," ucap Nayara pelan, berbohong. Suaranya nyaris terdengar seperti bisikan.

Kaelith tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, seolah mencoba membaca kebohongan Nayara melalui detak jantung di tubuhnya yang sedang ia dekap.

"Jangan bohong padaku, Nayara. Aku tidak suka dibohongi," bisiknya, namun nadanya tidak mengandung amarah. Hanya dingin dan mengintimidasi.

"Aku hanya lelah. Itu saja." Nayara berusaha tetap tenang, walau suara di dalam dirinya ingin berteriak. Tentang rumah itu. Tentang ibunya. Tentang luka yang belum sembuh.

Kaelith mengecup bahu Nayara perlahan. “Kalau begitu, istirahatlah hari ini. Jangan kemana-mana. Aku akan tinggal sampai malam nanti.”

Nayara hanya mengangguk kecil, tak ingin memancing perdebatan.

Dalam pelukannya, Nayara hanya bisa menatap kosong ke depan berharap, entah pada apa.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!