“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Populer
Suasana kelas seketika berubah tegang begitu guru yang dikenal keras itu melangkah masuk. Suara derap sepatunya menggema, membuat beberapa murid otomatis duduk lebih tegak, menyembunyikan rasa malas mereka.
Riri menegang, wajahnya seketika pucat.
BRAK!
Buku di tangan Bu Manda menghantam meja, membuat seluruh kelas terlonjak kaget. Hening mendadak menggantung, hanya terdengar napas murid-murid yang tercekat.
Bu Manda menatap Riri tajam, sorot matanya menusuk bagai belati.
“Menghina orang bukan apa-apa? Apa kau tidur saat pelajaran kewarganegaraan dan agama? Dengarkan baik-baik, Riri. Sepintar apa pun seseorang, jika tak disiplin dan tak berakhlak, otaknya hanya akan jadi bahaya, bagi orang lain, bahkan dirinya sendiri.”
Riri menunduk, bibirnya gemetar. “Bukan apa-apa, Bu…”
“Cukup. Saat istirahat nanti, ke ruangan Ibu.” Suaranya dingin, tak memberi ruang bantahan.
“Baik, Bu,” jawab Riri, tapi di balik wajah tertunduknya, jemarinya mengepal erat. Dendam berdenyut di matanya.
Bu Manda kembali menegakkan tubuh, menatap seisi kelas yang masih terdiam. “Baik, kita mulai pelajaran matematika.”
Kelas pun tenggelam dalam keheningan kaku, seolah terikat oleh gema dentuman buku barusan dan tekanan pelajaran yang memeras otak.
Bagi banyak murid, matematika tak ubahnya bayangan gelap yang selalu menghantui. Angka-angka bagai labirin yang membingungkan, membuat kepala berdenyut.
Namun tidak bagi Kevia. Baginya, setiap angka punya logika. Ia menatap papan tulis tanpa gentar, mencatat dengan teliti setiap penjelasan, seolah kata-kata gurunya menyatu dalam pikirannya.
Setelah penjelasan selesai, Bu Manda menuliskan lima soal uji di papan tulis. Spidol berderit, meninggalkan jejak hitam yang bagi sebagian besar murid terasa seperti garis hukuman. Sebab siapa pun yang maju ke depan dan tak bisa menjawab dengan benar, sudah pasti akan mendapat tugas tambahan.
Empat soal pertama sudah lewat. Murid-murid maju bergantian. Ada yang ragu-ragu, ada yang salah besar lalu kembali ke bangku dengan wajah ruwet seperti benang kusut karena tugas tambahan sudah menanti, ada yang benar dan mendapat sedikit tepuk tangan. Suasana makin tegang, bayang-bayang soal terakhir membuat dada mereka sesak.
Lalu tibalah giliran soal kelima.
Soal yang sejak tadi hanya dilirik saja sudah membuat sebagian besar murid saling pandang dengan wajah cemas. Rumusnya lebih rumit, angka-angkanya panjang, butuh otak jernih untuk menaklukkannya.
Bu Manda meletakkan spidol di meja, lalu menatap ke seluruh kelas dengan mata tajam.
“Soal terakhir… akan dikerjakan oleh—”
Hening.
Beberapa murid buru-buru menunduk, pura-pura menulis. Yang lain sibuk membolak-balik buku, meski jelas tak membaca apa pun. Ruang kelas kini kian mencekam, seolah udara ikut menahan napas. Kursi berderit, ada yang menggigit ujung pensil, ada pula yang diam-diam merapal doa agar bukan namanya yang dipanggil.
Lalu suara itu terdengar, datar tapi menghentak seperti palu godam.
“Riri. Kamu ke depan.”
Deg.
Seisi kelas sontak menoleh.
Wajah Riri memucat. "Sial! Kenapa harus aku?"
Kepalanya terangkat pelan, menatap sekitar. Tatapan sinis dan penuh ekspektasi menghujani dirinya. Ada yang menunggu ia jatuh, ada yang diam-diam ingin melihatnya dipermalukan.
Napasnya tercekat. Jantung berdebar tak karuan, seakan seluruh tubuh menolak untuk berdiri. Tapi panggilan guru bukan sesuatu yang bisa ditawar.
Dengan kaki yang terasa seperti dipasung, ia bangkit. Kursinya bergeser, mencipta suara berderit nyaring yang merobek keheningan kelas. Setiap langkahnya menuju papan tulis terasa panjang, seperti seribu pasang mata tengah menelanjangi rasa takutnya.
Riri mencoba menulis. Spidol di tangannya gemetar. Rumus dan angka di papan hanya membuat kepalanya panas, seperti ada asap mengepul dari otaknya.
"Kenapa harus soal ini?! Kenapa guru ini gak sakit aja, biar gak masuk kelas? Apa ini balasan karena kejadian tadi? Menyebalkan!"
Bu Manda memerhatikannya cukup lama. Riri lebih banyak berdiri kaku ketimbang menulis. Napas guru itu terdengar kasar, seolah menahan kesabaran.
“Cukup. Kembali ke bangkumu. Ambil tugas tambahan ini.” Suaranya tegas, tak memberi ruang pembelaan.
Dengan wajah tegang, Riri menerima selembar kertas yang disodorkan. Ia melangkah kembali ke bangku, genggaman tangannya bergetar menahan geram.
Sementara itu, Bu Manda kembali menyapu pandangannya ke seluruh kelas.
“Kamu, yang duduk di belakang Riri. Ke depan.”
Deg.
Seisi kelas sontak menoleh.
Kepala Kevia terangkat perlahan. Tatapan-tatapan menusuk datang bertubi. Ada yang iba, ada yang sinis, ada pula yang menunggu ia tersungkur.
Di depannya, Riri menahan tawa kecil, Ani menyandarkan dagu sambil mengulum senyum mengejek.
Jantung Kevia berdetak kencang, tapi wajahnya tetap teduh. Dengan gerakan mantap, ia berdiri. Kursinya berderit, namun ia tak gentar.
Langkahnya menuju papan tulis tidak tergesa, tidak pula gentar, seolah beban tatapan seluruh kelas hanya angin lalu.
Spidol di tangannya bergerak cepat. Coretan demi coretan lahir dengan rapi, jelas, terstruktur. Rumus mengalir dari pikirannya tanpa tersendat, setiap angka menempel di papan seperti potongan puzzle yang menemukan tempatnya.
Tak butuh waktu lama. Angka terakhir ditulis, garis jawaban ditarik tegas.
Senyap.
Hanya terdengar suara spidol yang ia letakkan kembali di tatakan.
Guru yang sejak tadi memerhatikan dengan cermat, melipat tangannya di dada. Matanya meneliti setiap langkah Kevia. Dan akhirnya, sebuah senyum tipis, senyum yang jarang sekali mereka lihat, merekah di wajah sang guru.
“Kamu Kevia? Murid pindahan dari SMP Kusuma Bangsa?” tanyanya lembut, penuh pengakuan.
Kevia menoleh, sedikit gugup tapi menatap dengan tulus. “Iya, Bu.”
“Ternyata benar kata rekan Ibu yang mengajar di sana.” Suara gurunya merendah, hampir hangat. “Katanya, kamu anak yang cerdas. Dalam mata pelajaran apa pun, kamu selalu bisa. Ia bahkan menitipkan namamu pada Ibu.”
Guru itu mendekat, menepuk pundak Kevia ringan. “Terus semangat belajar, ya. Pertahankan ini.”
Mata Kevia berkilat. Ia menunduk sedikit, tersenyum. “Iya, Bu. Terima kasih.”
Bisik-bisik langsung merambat di antara bangku-bangku.
Guru matematika mereka, sosok yang terkenal galak, jarang sekali tersenyum apalagi memuji, baru saja tersenyum. Bukan hanya tersenyum, tapi menepuk pundak Kevia dengan sorot bangga yang hangat.
Kelas mendadak hening beberapa detik, sebelum riak bisik-bisik merambat seperti gelombang.
“Eh, serius tuh Bu Manda senyum?” bisik seorang murid, setengah tak percaya.
“Ya ampun… baru kali ini lihat wajah Bu Manda kayak manusia normal!” sahut yang lain, membuat beberapa anak terkekeh tertahan.
“Emang cuma murid pinter yang bisa bikin guru killer jadi selembut itu.”
“Gila, ternyata Kevia murid berprestasi…”
“Kalau gitu kita harus deket sama dia. Untung gede kalau temenan sama anak pintar.”
“Bener, bener banget.”
Suasana kelas yang biasanya tegang berubah cair. Aura kagum pada Kevia menyebar, meski dibungkus dengan canda dan bisik-bisik.
Namun di bangku depan, suasana jauh berbeda. Riri menggenggam pena erat, matanya menyipit tajam ke arah Kevia, seperti ingin menembus hingga punggungnya.
"Sial! Belum seminggu pindah, dia udah bikin murid lain kagum. Kenapa harus dia? Atas dasar apa dia lebih populer dariku?"
Ani di sebelahnya melipat tangan di dada, dengusan kesalnya terdengar jelas.
“Si kere itu jadi kayak gula yang dikerubutin semut cuma gara-gara otaknya. Menyebalkan. Aku kalah pamor.”
Senyum sinis yang tadi mereka bawa kini menghilang, tergantikan oleh wajah kaku penuh ketidaksukaan.
Kevia kembali duduk, masih merasakan sisa hangat dari tepukan gurunya di bahu. Namun, dari sudut matanya, ia menangkap jelas tatapan penuh iri yang menusuknya. Senyum hangat itu goyah, tergantikan oleh kesadaran pahit: tidak semua orang senang dengan keberhasilannya.
Tangannya mengepal di atas meja. “Apa pun kata mereka, aku tak boleh goyah. Aku harus terus maju. Demi Ibu. Demi Ayah.”
Di bangku sebelah, Riri masih mendidih karena pujian guru dan sorot kagum teman-teman yang tadi terarah pada Kevia. Tapi sesaat kemudian, sudut bibirnya terangkat sinis.
“Kenapa aku harus marah? Harusnya aku senang dia pinter. Dengan begitu, aku bisa manfaatin dia. Bisa nyontek tugas-tugas sekolah. Setidaknya si miskin itu ada gunanya. Bukan cuma numpang makan dan tidur di rumahku.”
***
Makan malam tersaji. Sendok dan garpu bergerak, tapi tak ada satu pun percakapan. Suasana dingin menyesakkan, hanya terdengar dentingan halus peralatan makan dan helaan napas yang ditahan.
Begitu semua usai, tiba-tiba Rima meletakkan sendoknya dengan suara ting yang memecah keheningan. Matanya beralih tajam ke arah Kemala.
“Malam ini,” suaranya datar namun penuh kuasa, “adalah malam terakhir kau dan anakmu makan di meja ini bersama kami.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Anak sama Bapak mencintai satu Perempuan yang sama,jika benar seperti itu Kevin pasti akan patah hati...kasihan Kevin
gak mungkin kan mereka jadi rival
😆😆😆
kariya barunya
Judul: DIBELI TAKDIR
Kevin juga baik ia rela berjuang sendiri untuk mengeluarka keluarga Kevia dari Rumah si Rima dengan usahanya sendiri..rela bekerja sambil kuliah...
entahlah jodohnya Kevia yang mana...Kevin ato si Om..
hanya kak Nana yang tahu
tapi di judul baru ini Kevia di renggut kesuciannya kah sama Om Tampan ato di renggut sama Kevin....aduuh nasibnya Kevia rela di jual tp yang membelinya juga merenggut mahkotanya, piye iki ..
saya berharap Kevia dengan Kevin berjodoh
pa Ardi ko ga bertindak sampai Kevia harus memjual diri....
semakin seru semakin penasaran semakin mengemaskan....
udah bertahun2 aja...5 tahun....berarti apakah saat ini Kevia sudah kelaa 3 SMA ya....
bagaimana dengan Kemala apakah sudah ada perkembangannya adi lebih sehat...
dan semoga om yg sll menolong Kevia selamat dan di pertemuan kembali dgn Kevia..