Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Dalam Cengkeraman Hutan"
Dini hari itu, udara di kaki Bukit Barisan begitu dingin. Tanah masih basah oleh embun malam, dan kabut tipis bergelantungan di antara batang pohon. Hutan belum benar-benar terbangun. Tidak ada suara burung, tidak ada suara serangga. Heningnya terasa aneh.
Lalu, terdengar suara itu.
Bukan suara hewan biasa. Bukan pula angin. Tapi semacam erangan—pelan, panjang, dan berat. Seperti suara orang kesakitan… atau sedang ditahan sesuatu. Johan membuka mata. Badannya kaku. Ada rasa tidak enak di dadanya.
Ia duduk perlahan. Jantungnya mulai berdetak cepat, bukan karena suara itu saja, tapi karena sesuatu yang lebih mengganggu—Kalmi tidak ada di sebelahnya.
Tadi malam mereka tidur berdampingan, di bawah tenda kecil yang mereka pasang tergesa. Tapi sekarang, tempat tidur gulung Kalmi kosong. Hanya ada ranselnya, jaketnya, dan bekas tubuhnya di alas tidur.
Johan langsung panik.
“Kalmi?” panggilnya, lirih tapi cemas.
Ia keluar dari tenda, menyalakan senter. Cahaya menabrak batang pohon, semak, tanah lembap. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada suara.
“Kalmi, jangan ngelawak deh… Ini bukan waktunya,” katanya lagi, lebih keras.
Masih sepi.
Lalu terdengar sesuatu dari balik semak—bunyi langkah kecil. Seperti ranting patah. Johan menyorotkan senter ke arah suara. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya kabut.
Ia mulai jalan pelan, matanya awas, telinganya tajam. Dalam hatinya ia berharap Kalmi hanya bangun untuk buang air atau mencari kayu bakar. Tapi instingnya bilang lain.
Sesuatu sedang tidak beres.
Dan yang paling membuatnya gelisah: Kalmi tidak mungkin pergi sejauh itu tanpa bilang. Bahkan Kalmi yang paling ceroboh pun tahu, di hutan seperti ini, hilang arah bisa terjadi dalam hitungan menit.
Johan berhenti. Ia menarik napas panjang. Pikirannya berputar cepat—haruskah ia menunggu, mencari lebih jauh, atau… turun untuk minta bantuan?
Lalu terdengar lagi. Erangan itu. Kali ini lebih dekat.
Senter di tangannya sedikit gemetar. Ia menelan ludah, pelan, lalu berseru lagi, “Kalmi, kalau lo denger, jawab, bro. Serius. Ini gak lucu.”
Dan untuk ketiga kalinya—sunyi.
Hutan diam. Seolah menolak menjelaskan apa yang terjadi. Tidak ada angin. Tidak ada burung. Tidak ada jawaban.
Lalu, suara itu datang—menerobos gelapnya malam.
“Johan! Tolong! Harimau—dia ngejar gue!”
Suara Kalmi.
Panik. Terpotong-potong. Seperti orang yang lari sambil terengah-engah.
Johan langsung tersentak. Kepalanya reflek menoleh ke segala arah, tubuhnya terasa seperti dilempar ke dalam gelas berisi air es—dingin, menggigil, dan beku.
Ia meraih tasnya. Tangannya menggali isinya dengan gerakan terburu. Pisau lipat—bukan itu. Lalu… pistol kecil yang selama ini cuma jadi alat “jaga-jaga” yang tak pernah dipakai. Hari ini, benda itu punya misi pertama.
Tanpa pikir panjang, Johan keluar dari tenda. Kegelapan langsung memeluk tubuhnya. Hutan tak ramah malam itu. Kabut makin turun, senter di tangannya hanya bisa menembus jarak sepuluh langkah ke depan. Sisanya gelap gulita.
Dari kejauhan, seberkas cahaya senter terlihat berayun-ayun, lari ke arah kanan. Itu pasti Kalmi. Dan... suara itu lagi—erangan berat. Lebih dekat. Lebih jelas.
“Johan! Nya keras
Johan tak sempat berpikir. Ia menggertakkan gigi, berusaha menenangkan tangannya yang mulai gemetar. Lalu membidik ke arah suara harimau. Bukan bidikan yang presisi—hanya nekat.
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Lima kali. Suaranya membelah sunyi, mengagetkan pepohonan dan burung yang langsung beterbangan dari sarangnya. Hutan bergema. Tapi setelah itu, semuanya kembali diam.
Tak ada langkah. Tak ada auman. Tak ada teriakan Kalmi lagi.
Hanya suara napas Johan yang berat. Dan keringat yang mulai mengalir di pelipisnya, meski suhu sekitar hanya belasan derajat.
“Kalmi…?” ucapnya pelan. Tak yakin sedang bicara pada siapa—pada hutan, pada dirinya sendiri, atau pada malam yang terlalu sunyi.
Yang jelas, jawaban tak datang. Yang ada hanya hening yang makin menebal.
Dan rasa takut yang mulai berubah jadi cemas.
Sangat cemas.
Johan berdiri diam. Menatap ke depan.
Kosong.
Enggak ada cahaya. Enggak ada suara. Enggak ada Kalmi.
Yang ada cuma malam. Gelap total, seperti hutan menelan semuanya hidup-hidup. Angin mendadak dingin, menusuk, dan pohon-pohon yang tadinya cuma berdiri, sekarang kayak ikut memperhatikan.
“Kalmi…!” panggilnya, setengah berharap, setengah takut.
Hening.
“Kalmi! Lo di mana?!”
Masih enggak ada jawaban. Hanya daun-daun yang bergesek pelan. Seolah mereka ikut bisik-bisik, tapi bukan buat bantu Johan—lebih kayak mereka tahu sesuatu yang Johan enggak tahu.
Sial.
Ia sadar, ini bukan waktunya untuk berdiri bengong. Setiap detik sekarang bernilai nyawa. Dan kalau ada satu hal yang dia tahu pasti—di tempat seperti ini, yang diem… bisa jadi mayat.
Dengan napas yang belum stabil dan jantung yang kebut kayak motor drag, Johan langsung bergerak. Kakinya melangkah cepat, tangan menyibak semak, tubuhnya nyelonong masuk ke dalam gelap tanpa pikir panjang.
Kalmi hilang. Dan itu bukan pilihan.
Tiba-tiba ia berhenti. Balik badan. Menatap tenda mereka.
Dalam hening yang aneh itu, ia buru-buru membereskan semuanya. Ransel miliknya, masuk. Kompas, kotak P3K, peta, botol minum, senter cadangan—semuanya dibungkus rapi. Lalu tanpa pikir panjang, ia juga angkut ransel Kalmi.
Dua tas.
Berat? Jelas. Tapi lebih berat lagi kalau pulang tanpa sahabat. Lebih nyesek lagi kalau harus kasih kabar ke keluarga Kalmi dan bilang, “Maaf, saya pulang… dia enggak.”
Enggak. Itu bukan skenario yang Johan mau.
Ransel itu bukan sekadar barang. Di dalamnya ada harapan. Ada perjalanan. Ada tawa, lelah, dan janji yang belum sempat ditunaikan.
Dan sekarang, semua itu tergantung di pundak Johan.
Ia menarik napas dalam-dalam. Menatap ke arah hutan. Lalu berkata pelan ke dirinya sendiri, “Tahan ya Mi. Gue dateng.”
Lalu ia melangkah lagi.
Masuk lebih dalam. Menembus Bukit Barisan yang perlahan-lahan menunjukkan taringnya.
Fajar mulai naik pelan-pelan dari timur. Langit berubah warna, dari hitam ke biru, lalu ke jingga yang malu-malu menelusup di sela pepohonan tinggi. Tapi Johan masih terus berjalan.
Entah sudah berapa jauh. Entah sudah berapa lama. Kakinya penuh lumpur, tubuhnya pegal di semua sudut. Tapi langkahnya enggak berhenti. Belum. Belum bisa.
Dia terus menyusuri semak, menyeberangi aliran sungai kecil yang dinginnya menusuk, mengikuti jalur-jalur samar yang lebih mirip jalan binatang daripada jalur manusia. Tapi ia tak peduli. Di kepalanya hanya satu hal: Kalmi. Kalmi. Kalmi.
“Mi… lo denger gue enggak?” Suaranya serak. Lirih. Kayak doa. Atau mantra. Diteriakkan berkali-kali, tapi cuma dijawab sama hening.
Hutan ini… seolah menelannya bulat-bulat.
Bukit Barisan yang dari kejauhan kelihatan megah, sekarang terasa seperti tembok sunyi yang dingin dan angkuh. Enggak ada jejak. Enggak ada suara. Seolah Kalmi lenyap begitu saja. Disedot oleh keheningan yang lebih tua dari manusia.
Sampai akhirnya langit mulai memudar lagi. Jingga berubah ke abu. Lalu ke ungu samar yang menandakan satu hal: malam datang lagi. Dan malam di hutan ini bukan main-main.
Johan berhenti di tepi sungai kecil. Alirannya bening, tenang, mengalir pelan seperti orang yang lagi bisik-bisik menyimpan rahasia. Di situ, ia melihat semacam cerukan batu—mirip gua kecil. Cukup buat berteduh semalam.
Ia mendirikan tenda sekenanya. Tangannya bergerak otomatis, seperti robot. Pikiran sudah terlalu lelah. Tubuh lebih parah lagi.
Begitu api unggun berhasil menyala, kecil dan berkedip-kedip kayak mau padam, Johan duduk. Diam. Menatap api itu lama-lama. Seolah berharap dari sana bakal muncul satu petunjuk, atau keajaiban, atau Kalmi.
Tapi api cuma tetap diam.
Johan menarik napas dalam. Panjang. Rasanya sesak. Matanya merah. Basah.
Pagi itu, embun masih menggantung di ujung daun-daun. Hawa dingin belum benar-benar pergi. Tapi Johan sudah terbangun. Matanya masih sembab. Badannya remuk. Tapi ada satu hal yang belum patah: tekad.
Ia merapikan tenda dengan cepat. Menyimpan semua perlengkapan ke dalam ransel. Hatinya masih cemas, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, ini belum selesai. Belum akan selesai sampai Kalmi ditemukan.
Jalur-jalur yang kemarin belum ia lewati, hari ini dilalui satu per satu. Menyusuri tepian sungai, mendaki sedikit lereng kecil, lalu masuk ke semak-semak yang mulai terasa asing. Jam demi jam berlalu. Keringatnya mengalir. Kakinya nyaris tak terasa. Tapi ia terus berjalan.
Sampai tiba-tiba, dari kejauhan—ia melihat sosok. Samar. Tapi nyata.
Ada seseorang di sana. Di pinggir aliran sungai.
Degup jantung Johan bertambah cepat. “Kalmi?” bisiknya. Nyaris tanpa suara. Ia berlari. Tak pakai pikir panjang. Harapan langsung melonjak tinggi, mendahului logika.
Tapi sesampainya di sana, langkahnya melambat.
Seorang gadis sedang mencuci pakaian. Rambutnya panjang. Terurai. Diterpa angin pagi. Punggungnya membelakangi Johan.
Itu bukan Kalmi.
Perempuan itu menoleh. Wajah asing. Masih muda. Tapi ada sesuatu di sorot matanya yang bikin Johan mundur setengah langkah. Matanya terlalu tenang. Terlalu… dingin.
Bukan pendaki. Bukan tim SAR. Bukan juga orang lokal. Siapa dia? Bagaimana mungkin ada pemukiman dalam hutan bukit barisan ?
“Siapa kamu?” suara Johan serak. “Apa kamu lihat temanku? Seorang pria. Namanya Kalmi. Kami terpisah sejak kemarin.”
Perempuan itu diam sejenak. Pandangannya tak berubah.
Lalu ia menjawab, datar. Suaranya pelan, tapi jelas.
“Pergilah dari sini… kalau kau masih ingin hidup.”
Johan terdiam. “Tapi—temanku…”
Perempuan itu memotong cepat. “Tinggalkan dia. Pulanglah.”
Kalimat itu tajam. Dingin. Bukan ancaman, tapi juga bukan nasihat. Lebih seperti… peringatan.
Dan sebelum Johan sempat berkata apa pun lagi, gadis itu sudah berbalik. Lalu berlari, membelah semak-semak, menghilang di antara pepohonan—seolah dia memang bagian dari hutan ini. Atau mungkin… bukan bagian dari dunia Johan sama sekali.
Johan tidak tinggal diam.
Ia mengejar. Diam-diam. Dengan hati-hati. Ia tidak tahu apa yang sedang ia kejar, manusia ataukah makhluk lain yang bersembunyi dihutan. Tapi nuraninya menggedor kuat—bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketakutan.
Langkah gadis itu ringan tapi cepat. Seolah tahu ke mana harus pergi. Jalur yang ia lewati bukan jalan biasa—berkelok, sempit, nyaris tak terlihat kalau tak diperhatikan betul. Johan menjaga jarak. Setiap ranting yang ia injak seolah terlalu nyaring. Tapi ia tak berhenti.
Lalu gadis itu menghilang di balik semak lebat.
Johan mendekat, pelan. Menyingkap semak dan menahan napas.
Di bawah sana, di balik lereng kecil, terbentang sesuatu yang tak masuk akal.
Kebun ganja. Luas. Teratur. Dijaga oleh pria-pria bersenjata yang tak terlihat seperti petani, apalagi penjaga kebun biasa.
Johan diam. Napasnya pelan. Otaknya mencoba memahami pemandangan yang ada di depan mata. Tapi belum sempat berpikir panjang, ia melihat sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling.
Kalmi.
Duduk di dalam kurungan besi. Diam. Pucat. Tubuhnya tampak lemas, tapi bukan tak bernyawa.
Johan menelan ludah. Hatinya tercekat.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Kalmi bisa ada di sini? Siapa orang-orang itu?
Ia tak punya semua jawabannya. Dengan napas tercekat, ia tahu satu hal yang pasti: ia harus menyelamatkan sahabatnya.
Bukit Barisan mungkin menyimpan seribu rahasia, tapi tidak satu pun akan menghentikannya. Johan menelan ketakutan itu, menyalakan api kecil di dalam dirinya. Bukan untuk membakar dendam, tetapi untuk menyusun siasat. Ia tidak boleh gegabah. Ia satu-satunya harapan bagi Kalmi.