NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: tamat
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong / Tamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Diam Yang Menghantam (Bagian 2)

Aku sampai di perempatan dekat coffee shop Mas Johan. Aku menatap sebentar ke kedai yang tampak sibuk itu.

‘Apa gue masuk ya? Tapi bagaimana kalau situasinya jadi canggung? Padahal gue butuh manusia absurd lain buat menghibur hati mungil gue yang bersedih ini, si Rahma malah sibuk sama nikahannya dan Mas Johan putus kontak sementara gara-gara temannya.’

Aku memantapkan hati untuk melangkah masuk. Bukan karena aku sudah siap menghadapi kenyataan bahwa aku—Meisya, wanita absurd tiga puluh dengan catatan panjang cinta gagal—baru saja dijadikan topik gossip oleh dua atlet nasional.

Tapi karena ada alasan yang lebih kuat.

Aku ngidam minuman seasonal yang katanya cuma keluar seminggu sekali: Brown Sugar Pandan Cold Brew.

Rasa yang pas untuk mengubah moodku yang jelek setelah bertemu Felix.

Dengan gaya sok tenang, aku masuk ke dalam. Mas Johan sedang membersihkan meja, dan ketika matanya bertemu mataku, ada yang beda. Biasanya dia cuma senyum tipis ala cowok chill yang kalau di drama korea pasti main peran “tetangga dingin dengan trauma masa lalu.” Tapi sekarang…dia tampak tegang.

“Meisya,” katanya dengan nada rendah.

“Ada waktu sebentar?”

Aku langsung ngerasa seperti murid yang di panggil guru BP gara-gara bawa bekal kebanyakan kerupuk.

“Kenapa? Kalau ini tentang temen lo yang doyan buka aib, gue udah ikhlaskan harga diri, Mas,” jawabku setengah serius setengah ingin kabur ke luar negeri.

Mas Johan senyum. Lalu nunjuk ke meja pojok, meja favoritku tiap ngumpet dari kenyataan dan deadline kerjaan kantor. Dia duduk duluan. Aku menyusul dengan langkah pelan dan mental setengah retak.

“Gue minta maaf soal temen gue. Mereka emang suka asal ngomong.”

Aku mengganguk. “Ya…mereka cocok sih jadi tim gossip bulanan. Kalau mereka kerja di kantor gue, mungkin bakal punya banyak bestie cewek.”

Mas Johan tertawa kecil. Tapi kemudian dia tarik napas dalam.

“Gue serius, Mei. Gue minta maaf. Tapi...gue juga mau jujur.”

Kepalaku mulai penuh dengan kemungkinan plot twist.

“Memang benar kalau dulu…gue naksir lo.”

Aku ngedip. “Maksud lo… naksir waktu kita SMA?”

“Lebih awal,” katanya. “Hampir semua yang mereka bilang bener. Waktu gue kelas tiga SMP dan lo anak pindahan baru kelas satu.”

Aku langsung bengong. Aku sudah denger ini dari temannya tapi tetap aja ini cerita yang mengejutkan bagiku. Maksudnya, masak iya dia naksir aku? Anak pindahan yang waktu itu rambutnya masih berponi awut-awutan dan selalu bawa bekal roti sobek isi abon? Yang sering manjat pagar karena sering telat?

“Iya lo,” kata Mas Johan, kayak bica pikiranku.

“Lo itu…aneh. Tapi lucu. Dan somehow…banyak banget yang naksir lo.”

“SORRY??”

“Tapi gak ada yang berani ngedeketin,” lanjutnya. “Aura lo tuh…alpha banget. Kayak…pemimpin geng cewek. Padahal lo cuma diem duduk di depan koperasi, makan permen kaki lima.”

Aku cengengesan gak jelas. Mas Johan melanjutkan dengan suara yang makin pelan tapi penuh nostalgia.

“Kita satu ekskul voli. Waktu hari pertama lo gabung, gue terlalu semangat latihan… dan… smash gue kena kepala lo.”

Mataku melebar. Seketika moment memalukan itu terputar di kepalaku.

“ITU LO YANG NYEMESH KEPALA GUE, MAS?!”

Mas Johan langsung senyum malu. “Y-ya…itu gue. Gue panik waktu lo jatuh. Gue udah minta maaf sih, tapi… semenjak itu gue gak berani ngomong ke lo.”

Aku merasa seperti lagi nonton ulang hidupku dalam bentuk tayangan ulang drama dengan kualitas visual tempo dulu.

“Tapi surat itu…lo beneran ngirim surat cinta itu?”

Mas Johan ngangguk.

“Gue gak punya nyali kasih langsung. Tapi pas temen gue ngeliat lo…buang surat itu ke tong sampah, temen gue… malah ngeluarin isi surat itu ke publik. Sejak itu gue jadi bahan bercandaan. Gue malu banget. Gue pikir, ya udah. Takdir cukup sampai di situ. Tapi pas gue fokus ke karir voli saat SMA, lo datang dan kita pernah photo bareng saat tim gue mewakili provinsi. Mungkin lo gak ingat, karena gue masih ada photonya. Gue pengen kembali menyapa lo kala itu, tapi kayaknya lo gak kenal gue, makanya gue kembali fokus menjadi perwakilan U-19 sampai akhirnya cidera parah dan kena yips.”

Mataku melembut. “Terus… lo buka coffee shop ini?”

“Yup. Gue mulai dari nol. Karena dulu gue pernah berpikir buat punya coffee shop kalau seandainya gue gak jadi atlet. Pas pertama buka, gue sering lihat lo lewat depan. Awalnya cuma mikir… ini orang kok familiar banget. Tapi begitu gue mengenal lo…gue langsung nge-freeze.”

Aku gak bisa ngomong. Karena semuanya seperti terlalu banyak sekaligus. Felix yang tiba-tiba balik dan Mas Johan yang cerita tentang masa yang bahkan sudah hampir terhapus dalam memori otakku.

“Gue cuma pengen kenalan lagi. Tapi dengan cara yang beda. Jadi gue mulai sok kenal, sok nyapa… nyari topik buat ngobrol.”

“Dan lo kaget karena gue gak seperti bayangan lo waktu SMP?”

Dia tertawa kecil. “Banget. Gue kira lo bakal tetap diem, kaku, susah di deketin. Tapi lo malah…absurd, random, penuh joke aneh, dan…nyambung di semua hal.”

Aku menyipit. “Nyambung di semua hal?”

“Ya. Dari rasi bintang sampe debat soal warna kopi susu yang paling estetik.”

Aku nyengir. “Mas, jangan baper ya, tapi hidup gue ini semacam fan fiction gagal. Namun yang lo bilang barusan… jujur bikin gue terharu.”

Kami saling diam. Tapi bukan diam yang canggung. Ini lebih ke diam yang penuh makna. Diam yang biasanya muncul di akhir film slice of life waktu matahari mulai turun dan lampu-lampu kafe nyala satu per satu.

Akhirnya aku bersandar di kursi, nyeruput kopi cold brew yang manis dan pahit di saat yang bersamaan. Kayak hidupku saat ini.

“Jadi,” kataku, “Kalau misalnya sekarang gue smash balik pake bola pingpong, itu kayaknya baru fair ya?”

Mas Johan ketawa. “Gue siap. Tapi jangan pake tenaga penuh. Gue udah pensiun.”

“Tenang Mas, smash gue lebih nyakitin secara emosional.”

Dan kami tertawa bersama. Hari sudah beranjak malam, untungnya tidak ada topik tentang Felix yang nyelip dan rahasia yang selama ini tersembunyi…akhirnya punya tempat untuk keluar, perlahan tapi pasti.

Mas Johan mengantarku sampai ke pagar rumahku. Lalu dia bilang “Lo nggak usah terbebani oleh cerita gue, gue akan tetap seperti biasa kok. Gak bakal ada canggung-canggungan,” sambil ketawa kecil saat berbalik pergi.

“Hari ini benar-benar kayak drama. Baik si Felix ataupun Mas Johan” ucapku sambil rebahan.

Memandang langit-langit kamar.

Pikiranku kembali ke saat tadi sore. Setiap kalimat Felix masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Memang benar sempat terdistract oleh Mas Johan.

Tapi—

‘Kayaknya hati gue benar-benar sudah dicuri oleh manusia kutub itu, bahkan sampai sekarang gue masih pengen dia menghubungi gue, bahkan gue terniat untuk menurunkan ego dan duluan menghubungi dia.’

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Ternyata memang benar saat orang bilang kalau manusia itu akan tolol kalau sudah jatuh cinta.”

**

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!