Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Rahasia Keluarga
Mansion Joevanca – Ruang Keluarga
Carol duduk tegak, tongkat kayu menempel di sisi kursinya. Pandangannya tajam seperti biasa saat Gwen kembali dari pertemuan dengan Ivy. Philip membaca koran di kursi lain, sementara Larissa tampak rapi dengan catatan kecil di pangkuannya.
“Jadi kau bertemu Ivy tadi?” suara Carol menggelegar, tapi tidak marah.
Gwen tersenyum sopan. “Ya, Grandma. Kami hanya minum teh sebentar. Ivy sehat.”
Carol mendengus pendek. “Kalau sehat, kenapa dia tidak mampir sekalian ke rumah ini? Sudah lama dia jarang muncul.”
“Dia selalu kesal dengan kita. Itu membuatnya sulit pulang.” Larissa menanggapi dengan nada ringan.
Carol menoleh cepat, menatap Larissa. “Itu bukan alasan! Tapi yang lebih penting — aku minta kau berhenti menyeretnya ke dokter tiap bulan itu.”
Larissa terdiam, sedikit kaget. “Ibu, itu hanya berjaga-jaga. Kita harus memastikan—”
“Berhenti,” potong Carol tegas. “Kau pikir aku tidak tahu? Kau sebut itu pemeriksaan padahal yang kau tunggu adalah hasil negatif atau positif. Seakan-akan anak itu sedang diuji kesuburannya.” Tatapannya tajam, suaranya terdengar seperti cambuk.
Philip menurunkan korannya, menatap istrinya. “Ibu benar. Kita terlalu sering menekan Ivy. Itu juga yang membuatnya malas pulang ke rumah.”
Carol mengangguk singkat, lalu bersandar, nada suaranya tetap keras tapi perlahan melembut dalam makna. “Kalau suatu hari keluarga Calix memutuskan tidak mau lagi menerimanya, kita masih bisa mengambil kembali Ivy. Kita rawat dia seperti dulu, seperti sebelum menikah. Dia tetap darah kita, dan aku tidak akan membiarkannya terbuang hanya karena masalah anak. Mau bagaimana pun dia tetap cucuku.” Carol bergumam di kalimat akhir.
Hening menyelimuti ruangan sejenak. Gwen menunduk, menatap tangannya sendiri, lalu menoleh pelan ke arah nenek mertuanya. Sorot mata Carol tetap tegas, nyaris dingin, tapi Gwen bisa menangkap jelas. Di balik tuntutan dan tekanannya, sebenarnya tersimpan kekhawatiran terhadap Ivy.
Argumen yang berbanding terbalik dengan apa yang sering di dengar Ivy, bukan?
Gwen menghela napas dalam, senyum kecil mengembang samar di bibirnya.
Itulah kenapa aku memintamu jangan terlalu keras pada grandma, Ivy, batin Gwen.
“Kau sudah cukup lama duduk di sini. Pergilah istirahat ke kamarmu. Waktumu melahirkan hampir dekat. Jaga kesehatanmu dengan benar.” Carol melirik perut Gwen yang kian membesar.
Gwen tersenyum lembut, berdiri dengan hati-hati sambil menahan perutnya. “Baik, Grandma.” Ia menunduk sopan pada Carol, lalu pada Philip dan Larissa. Setelah itu, ia perlahan melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan suasana yang kembali hening.
Begitu langkah Gwen menghilang di balik pintu, Carol bersandar, menghela napas panjang. Matanya tetap tajam, tapi nada suaranya sedikit lebih tenang. “Wanita itu terlalu sabar, tapi itu baik. Perempuan hamil memang harus banyak menenangkan diri.”
Philip hanya mengangguk pelan. Ia kembali menatap ke korannya, seakan tak ingin masuk lebih jauh ke topik.
Larissa, yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara dengan nada lirih namun jelas.
“Ibu … aku ingin berterima kasih.”
Carol menoleh, mengernyit. “Berterima kasih untuk apa?”
Larissa menggenggam erat buku catatannya, lalu menatap ibunya dengan sorot mata serius.
“Untuk … mau tetap menganggap Ivy sebagai cucu Ibu. Padahal —” Suaranya tercekat sejenak, tapi ia segera menurunkannya, berhati-hati agar tidak terdengar keluar. “Padahal darahnya — bukan dari keluarga ini.”
Carol mendengus pendek, tapi tatapannya menusuk. “Itu tidak penting, Larissa. Dia tumbuh di rumah ini, dia besar di bawah nama Joevanca. Itu sudah cukup. Kalau orang luar tahu, ya, masalah. Tapi di mataku, Ivy tetap cucuku.”
Philip menurunkan korannya perlahan. Suaranya tenang, tapi sarat keyakinan. “Larissa, aku sudah bilang sejak awal. Aku tahu siapa kau, aku tahu masa lalumu. Dan aku tetap memilihmu.” Ia menoleh penuh, menatap istrinya dengan sorot yang lembut namun mantap. “Ivy anakmu, maka dia juga anakku. Aku tidak peduli darah siapa yang mengalir di dirinya. Selama dia ada di sini, dia tetap bagian dari keluarga ini.”
Larissa menunduk, bibirnya menekan rapat, wajahnya tak terbaca. Ada rasa lega sekaligus beban yang kembali menempel di dadanya. Rahasia yang hanya mereka bertiga simpan — ia, Carol, dan Philip.
Carol kembali menegakkan punggungnya, menatap lurus ke depan dengan nada yang tak bisa dibantah. “Jangan pernah sekalipun kau goyah dengan hal itu. Selama Ivy ada di bawah atap kita, dia anak kita. Mengerti?”
Larissa mengangguk pelan, menelan ludah. “Mengerti, Ibu.”
Philip mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan istrinya sejenak. “Dan kau jangan lagi merasa bersalah, Larissa. Aku ada di sisimu. Selalu.”
Sementara itu, Gwen yang berjalan di lorong telah menghentikan langkahnya sejak telinganya tanpa sengaja menangkap kenyataan yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Gwen membeku di tempat. Matanya melebar, jemarinya otomatis menekan perutnya yang berguncang pelan karena gerakan bayi. Ada keterkejutan yang berusaha ia sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri.
Gwen buru-buru melangkah lagi, pura-pura tidak mendengar. Tapi kepalanya riuh, kalimat-kalimat itu berputar-putar. Bukan darah keluarga ini?
Saat ia akhirnya masuk ke kamarnya dan menutup pintu, senyum samar yang tadi masih ia bawa lenyap sama sekali. Hanya ada wajah pucat, mata kosong, dan rahasia baru yang kini menggantung di hatinya.
Apa Alec tahu soal ini? Bagaimana dengan Ivy?
...***...
Masih di ruang keluarga – Mansion Joevanca
Hening sempat menguasai ruangan setelah pernyataan Carol. Larissa menunduk, menatap jemari tangannya sendiri. Ada banyak kata yang ingin ia keluarkan, tapi tertahan di kerongkongan.
Akhirnya ia bicara, suaranya lirih tapi sarat perasaan.
“Ibu … aku tahu, aku bukan wanita yang selalu menuruti semua nasihat Ibu. Tapi tentang Ivy … aku memohon padamu waktu itu. Aku yang meminta Ibu menjodohkannya dengan seseorang yang layak. Bukan karena ambisi, tapi karena aku tidak ingin dia hidup susah.”
Carol mengernyit. “Susah?”
Larissa mengangguk cepat, matanya bergetar. “Aku tidak mau Ivy merasakan kekurangan. Sejak kecil aku sudah berusaha memberinya segalanya.
Sekolah terbaik, pakaian terbaik, apa pun yang dia minta. Aku hanya … tidak sanggup membayangkan dia harus hidup dengan seorang laki-laki yang — bahkan untuk membeli sesuatu saja harus berpikir keras karena kekurangan uang.”
Philip menatap istrinya lekat-lekat, senyumnya tipis tapi penuh dukungan. “Kau melakukan semua itu karena sayang padanya, Larissa.”
Larissa menggigit bibir bawahnya. “Mungkin caraku salah. Tapi aku hanya ingin memastikan dia merasa aman dan dihargai, bukan jadi istri yang menahan lapar atau menekan keinginannya.”
Carol mendengus, tapi kali ini nada suaranya tidak setajam biasanya. “Kau keras kepala. Tapi aku tahu maksudmu. Kau ingin menjaganya dengan cara yang kau bisa. Dan mungkin … Calix memang pilihan terbaik untuknya.”
Larissa menghela napas panjang, sedikit lega. “Aku hanya ingin dia tidak merasa kurang, Ibu. Itu saja. Dia tidak minta dilahirkan dengan garis keturunan yang rumit, maka tugasku memastikan dia tetap bisa berjalan tegak.”
Philip mengulurkan tangan, kembali menepuk lembut tangan Larissa. “Dan itu kau lakukan dengan baik. Terlalu baik, sampai kadang kau sendiri lupa kalau Ivy hanya butuh ibunya, bukan sekadar hartanya.”
Larissa terdiam, menunduk. Ada semburat rasa bersalah di wajahnya.
Carol menghela napas berat, lalu bersandar. Tatapannya masih keras, tapi kali ini lebih teduh. “Apa pun alasannya, jangan biarkan rahasia ini bocor. Selama Ivy percaya dia anak keluarga Joevanca, dia akan merasa cukup kuat berdiri di tengah mereka.”
Larissa menutup mata sebentar, hatinya berkecamuk. Semua demi Ivy, pikirnya. Selalu demi Ivy.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Udh ga kepo, kan?...
syemangat ka ros /Kiss/
apa itu ibunya ivy?! "/Blush/apa mungkin alec ma ivy lain ibu ataukah ataukah ataukah?!! /Smirk/
jd inget eve kannn yg bocah kembar kayak emy ma lily
lanjut ka... /Kiss//Kiss/
semangat ka ros/Kiss/