Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Aurora tidak meminta bantuan siapapun untuk memasak makanan. Dia ingin Skala benar-benar memakan masakannya, bukan masakannya dan pelayan. Selain itu, Aurora juga membuatnya dalam versi sehat. Semuanya serba sayur dan ayam. Dia juga membuat puding dan jus buah untuk suaminya.
"Wow ... adik kita sedang memasak?" Charlie datang bersama Archie. Charlie langsung menghampiri Aurora, sedangkan Archie mengambil minuman dalam kulkas.
"Apa ini, Baby?" Charlie berdiri di belakang Aurora yang sedang menggoreng bakwan. Dia menunjuk bakwan yang sudah matang.
"Bakwan. Rasanya enak, coba Kakak makan."
Tanpa disuruh dua kali, Charlie pun mengambil salah satunya dan mencoba mencicipi. Karena penasaran, Archie juga ikut-ikutan mencoba.
"Enak, kan?" tanya Aurora, dia tersenyum ketika kedua kakaknya memakan bakwan tersebut dengan lahap.
Si kembar mengangguk. "Kamu pintar memasak, sama seperti mommy," ujar Archie lalu meminum kopi kaleng nya.
Aurora terkekeh kecil. Sambil menunggu bakwannya matang, dia mengambil bakwan yang sudah matang dan meletakkan beberapa ke piring.
"Ini, berikan pada daddy dan Kak Thomas juga." Aurora meletakkan piring itu ke atas nampan, dia juga membuatkan kopi untuk Benjamin dan Thomas.
"Daddy dan Thomas tidak akan suka dengan makanan seperti ini." Charlie mengambil bakwan nya lagi.
"Benarkah? Ini lumayan sehat karena aku menggoreng nya tidak menggunakan minyak sawit," jelas Aurora.
"Nanti biar ku bawakan," celetuk Archie. Dia yakin, jika Benjamin dan Thomas tau kalau Aurora yang membuatnya, mereka pasti dengan senang hati memakan olahan tersebut.
"Kenapa kamu memasak sebanyak ini? Bukankah Skala sudah sadar?" tanya Charlie.
"Aku masak untuk Skala," jawab Aurora seraya tersenyum. Dia mematikan kompor setelah semuanya matang.
Charlie mendengus. "Pasti dia sangat senang," ujarnya sedikit kesal. Apapun yang berhubungan dengan Skala, dia pasti sensitif.
"Kakak mau dimasakkan istri juga? Kalau begitu cepat menikah agar bisa mencicipi masakan istri," kata Aurora dengan santainya.
"Untuk apa mencicipi masakan istri? Aku sudah memiliki mommy dan kamu. Kalian bisa memasak apapun untukku," balas Charlie.
Aurora mencebik. Tidak salah sih, tapi tidak benar juga.
"Di mana daddy? Biar aku antarkan ini sekalian aku mau ke kamar." Aurora mengambil nampan yang sudah di siapkan tadi.
"Di kamar yang dia pakai, di sana ada Thomas juga," jawab Archie. Dia sibuk mencicipi makanan yang dibuat oleh Aurora. Untung saja Aurora memasak cukup banyak.
"Baiklah." Gadis itu segera menuju kamar tamu dengan langkah pelan nya.
Ketika hendak membuka pintu, ternyata Thomas lebih dulu membukanya dari dalam.
"Kakak?"
Thomas tersenyum pada Aurora. "Ada apa?" tanyanya.
"Ini, aku baru saja memasak. Apa daddy ada di dalam?"
Thomas menatap nampan yang dibawa adiknya sebelum menjawab. "Ya, dia ada di dalam. Biar aku saja yang membawanya." Ia langsung mengambil alih nampan yang dibawa Aurora.
Aurora mengangguk saja. Lagi pula dia harus cepat kembali ke rumah sakit. "Baiklah kalau begitu. Jangan lupa dihabiskan," ujarnya sebelum benar-benar pergi dari sana.
Thomas menatap punggung mungil sang adik dengan tatapan yang sulit diartikan.
****
"Ceroboh! Berapa kali Ayah bilang, jangan bertindak semaumu!"
"Maaf, Ayah..."
"Mereka pasti sudah tau semuanya! Kamu harus segera pergi dari sini sebelum mereka menemukan kamu!"
"A–apa? Aku harus pergi ke mana?"
Steven, pria paruh baya itu menatap anaknya dengan senyum penuh arti.
"Nanti kamu akan tau," ujarnya. "Cepat kemasi barang-barang mu. Kita berangkat ke bandara sekarang. Jangan membawa ponsel, laptop ataupun benda yang bisa dilacak! Turuti perintah Ayah jika kamu ingin selamat."
Dia mengangguk cepat dan segera keluar dari ruangan ayahnya untuk mengemasi barang-barang.
Steven menghela nafas kasar. Anaknya itu memang suka melakukan sesuatu tanpa memikirkan resikonya. Dan inilah akibatnya, dia harus turun tangan untuk menyelamatkan anaknya.
Di sisi lain, Aurora dan Skala sedang bersantai. Ini jam empat sore, tidak ada orang selain mereka berdua di sana. Itu sebabnya Aurora dengan berani naik ke ranjang Skala untuk memeluk suaminya.
Mereka saling berpelukan, namun sudah hampir lima menit, keduanya tidak bicara apapun.
"Skala."
"Hm?"
Aurora terdiam. Dia ragu ingin bertanya.
"Ada apa?"
"Itu ..." Aurora menggantung ucapannya. "Umm ... tidak jadi."
Skala mengerut tak suka. "Katakan saja, jangan ragu," ujarnya.
Perlahan Aurora mendongak untuk menatap Skala. Dia berkedip pelan lalu berkata, "Susu stroberi ku habis ... jadi..." Aurora tidak melanjutkan ucapannya karena Skala tiba-tiba terkekeh kecil. Seketika ia cemberut.
"Apa yang lucu?!" kesalnya lalu menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang suami.
Skala menangkup kedua pipi Aurora hingga bibirnya mengerucut. Dengan gemas pria itu menciumi wajah istrinya berkali-kali.
Aurora sendiri hanya diam dan sesekali merintih saat Skala menggigit hidung serta pipinya.
"Kurang berisi," komentar Skala setelah puas menciumi wajah istrinya. "Apa jam makan mu tidak teratur akhir-akhir ini?"
Tak berbohong, Aurora mengangguk pelan.
Skala menghela nafas. "Setelah ini kamu harus banyak makan. Aku akan menyuruh pelayan untuk membeli susu stroberi lebih banyak."
Aurora mengangguk antusias. "Terimakasih!" Dia mencium rahang tegas Skala lalu kembali menyembunyikan wajahnya di dada bidang tersebut.
Skala membalasnya dengan mengecup puncak kepala Aurora.
"Aku pikir, kamu akan lupa ingatan. Tapi, Tuhan telah berbaik hati karena tidak mengambil ingatanmu," ujar Aurora. Suaranya sedikit terendam.
Skala tersenyum tipis. "Berkat doa-doamu juga," bisiknya.
Aurora mengangguk. "Terimakasih, Tuhan..."
Skala melebarkan senyumnya kala mendengar gumaman Aurora.
"Aku juga berdoa untuk orang jahat yang berani membuatmu seperti ini." Aurora menatap Skala dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Benarkah?" Skala tersenyum sambil mengelus kepala sang istri.
"Iya. Aku berdoa agar dia segera mendapatkan rasa sakit nya, seribu kali lipat dari apa yang kamu rasakan."
****
Benjamin menatap datar seseorang di depannya.
"Kami sudah mencari keberadaan mereka beberapa tahun lalu, tapi kami tidak dapat menemukannya. Jadi, semua bukti yang Anda berikan, tidak dapat kami proses."
Benjamin mendengus mendengar penjelasan yang disampaikan kepala polisi tersebut. Apakah seperti ini polisi di negara tempat tinggal putrinya? Apa mereka pikir, dia akan percaya begitu saja?
"Berapa banyak mereka memberi Anda uang?" tembaknya langsung.
Polisi dengan name tag Rama itu terdiam. Tak sedikitpun ia takut pada Benjamin.
"Uang apa? Bukankah saya sudah menjelaskan di awal? Kami telah mencari keberadaan orang yang Anda maksud selama beberapa tahun lalu. Tapi kami tidak menemukan titik keberadaan mereka. Lalu, untuk apa mencarinya lagi jika hasilnya tetap sama?"
Benjamin tetap tenang. Dia menghela nafas lalu menatap ruangan itu. "Saya tidak pernah bermain-main dalam hal apapun." Dia tersenyum tipis sebelum beranjak berdiri.
Benjamin mengambil map yang dia bawa tadi. "Saya tunggu kabar baik selanjutnya," ujar pria itu lalu keluar dari sana. Meninggalkan Rama yang termenung, mencerna ucapan sang tamu.
Seorang Benjamin Alessandro rela masuk ke kantor polisi demi melaporkan seseorang. Tapi, yang dia dapat malah alasan tak masuk akal. Jelas sekali ada kejanggalan di sini.
Jika mereka tidak mau bekerja, biar dia yang melakukannya.
bersambung...
lanjuuuut