Pernikahan yang terjadi karena hamil duluan saat masih SMA, membuat usia pernikahan Ara dan Semeru tidak berjalan lama. Usia yang belum matang dan ego yang masih sama-sama tinggi di tambah kesalah pahaman, membuat Semeru menjatuhkan talak.
Setelah 7 tahun berpisah, Ara kembali bertemu dengan Semeru dan anaknya. Namun karena kesalah fahaman di masa lalu yang membuat ia diceraikan, Semeru tak mengizinkan Ara mengaku di depan Lala jika ia adalah ibu kandungnya. Namun hal itu tak membuat Ara putus asa, ia terus berusaha untuk dekat dengan Lala, bahkan secara terang-terangan, mengajak Semeru rujuk, meski hal itu terkesan memalukan dan mudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARUS BISA BERDIRI DI KAKI SENDIRI
Sekitar jam 11 malam, akhirnya Meru tiba di rumah. Ara yang masih menggendong Cilla, menahan diri untuk tidak meledakkan emosinya. Ia tak mau Cilla terganggu jika sampai terjadi pertengkaran antara ia dan Meru.
"Uhhhh.. anak Papa udah bobok ya," Meru hendak menyentuh pipi Cilla, namun tangannya ditepis Ara.
"Cuci tangan dulu, takutnya kamu bawa kuman."
"Ah iya," Meru tersenyum. "Habisnya kangen banget sama Cilla. Anak papa yang cantik ini emang ngangenin. Mamanya juga," mengedipkan sebelah mata, menjawil dagu Ara.
Sementara Meru masih di kamar mandi, Ara pelan-pelan meletakkan Cilla ke dalam box. Bayi itu menggeliat dan mengeluarkan rengekan, namun untungnya kembali terlelap setelah pantatnya ditepuk-tepuk oleh Ara.
Meru kelihatan lebih segar setelah mencuci muka dan berganti pakaian. Mengambil ponsel di dalam tas, mengecek. "Tadi kamu neleponin aku, Ra? Maaf, aku gak denger, HP nya ada di dalam tas."
"Musiknya keras banget, gimana mau denger," Ara tersenyum miring, mendekati Meru.
"Musik?" Meru bingung. "Ah iya, tadi sepulang futsal, aku dan anak-anak nongkrong dulu di kafe, ngopi. Ada live musik."
"Ada DJ nya juga?" Ara tersenyum penuh arti, melipat kedua lengan di depan dada.
Tenggorokan Meru seperti tercekat, terdiam seketika. Panik saat Ara menyebut DJ. Jangan-jangan Ara tahu sesuatu.
"Kenapa Ru, kamu kelihatan gugup?"
"Eng, enggak. Gak papa," Meru meletakkan ponsel, mengusap tengkuk sambil tersenyum. "Cilla nyenyak kayaknya," melangkah, hendak mendekati box Cilla, namun lengannya ditahan Ara. Yah, gagal deh buat kabur. Ia makin gelisah, apalagi ekspresi wajah Ara yang tak seperti biasanya. Sepertinya tidak salah lagi, Ara tahu darimana dia tadi.
"Kenapa bohong?" Mata Ara berkaca-kaca, dadanya terasa sesak.
"A-aku..."
Ara melepas lengan Meru, mengalihkan pandangan ke arah lain, menyeka air matanya. Enggak, Meru gak boleh tahu ia sedang menangis saat ini.
"Maafin aku, Ra," Meru menggenggam tangan Ara. "Aku tadi sebenarnya gak futsal. Aku... "
"Ke ulang tahun Margareth," sambung Ara, tersenyum getir. Ia kembali menatap Meru. "Kamu tahu gak Ru, aku di rumah sibuk jagain Cilla, tapi kamu malah asyik-asyikan di ulang tahun cewek itu." Malas sekali Ara menyebut namanya. Margareth, adik kelasnya itu pernah mendatanginya, mengaku terang-terangan menyukai Meru. Tak tahu diri, sebuah kata yang cocok untuk gadis itu.
"Aku diundang Ra, gak enak kalau gak datang."
"Gak enak sama dia, tapi enak ninggalin aku yang sibuk jaga anak. Ingat Ru, kamu udah nikah, udah punya anak. Prioritas kamu harusnya aku dan Cilla, bukan dia," Ara berteriak tertahan, dadanya bergemuruh hebat.
"Apaan sih Ra, bawa-bawa prioritas?" Meru kesal karena Ara sudah mulai bicara dengan nada lebih tinggi darinya. "Kamu terlalu besar-besarin masalah. Sampai kapan pun, prioritas aku ya kamu sama Cilla," menunjuk ke arah Ara dan Cilla. "Aku cuma datang ke pesta ulang tahun, cuma have fun sama teman-teman, gak lebih."
"Ya tapi masalahnya, ini ultah Margaret, Ru," Ara sampai menekan kalimatnya, berharap tanpa dijelaskan detail, Meru memahami perasaannya saat ini.
"Ayolah Ra," Meru berdecak kesal. "Gak usah besar-besarin masalah. Mumpung Cilla nyenyak, mending kita tidur," pergi begitu saja, naik ke atas ranjang. Jujurly, ia capek dan ngantuk banget sekarang.
"Tapi masalahnya, kamu udah bohongin aku, Meru," gumam Ara lirih, kedua tangannya meremat daster. Hatinya makin sakit melihat Meru menarik selimut, tidur dengan santainya tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kamu tahu Ru, malam ini aku pengen bilang ke kamu kalau aku gak jadi kuliah ke Jogja, tapi kenapa kamu malah kayak gini. Bagaimana aku bisa menggantungkan hidupku sama kamu jika kamu saja, gak bisa menghargai perasaanku. Kamu tahu sendiri, aku gak suka sama Margareth, dan kamu tahu sendiri, aku cemburu pada gadis yang terang-terangan pengen merebut kamu itu. Tapi kenapa, kamu malah datang ke pesta ulang tahunnya?"
Ara berjalan ke arah box Cilla. Menyeka air mata, lalu menyentuh jari-jari mungil Baby Cilla. Air matanya kembali menetes, teringat pesan almarhum ibunya dulu.
Jangan pernah menggantungkan hidup kamu pada seseorang. Perasaan orang bisa berubah. Orang yang sekarang cinta, belum tentu satu atau sepuluh tahun lagi, masih tetap mencintai kita. Nanti kalau sudah menikah, usahakan bisa nyari uang sendiri, bisa berdiri di kaki kamu sendiri. Makanya ibu sama ayah ingin kamu berpendidikan tinggi, jadi orang sukses, biar gak diremehkan sama orang, termasuk suami kamu nantinya. Dalam hidup ini, kesetaraan itu penting. Jika kamu pengen punya suami orang kaya, usahakan dirimu juga kurang lebih setara dengannya, biar kamu gak dianggap sebelah mata.
Ara mengambil Cilla dari dalam box, membawanya ke sofa single tempat ia biasa menyu sui. Diusapnya lembut kepala bayi yang sedang tertidur lelap itu, dikecupnya berkali-kali pipi dan keningnya.
"Maafin Mama ya, Nak," Ara berucap lirih sembari menyeka air matanya. "Sepertinya, Mama memang harus pergi ke Jogja. Mama gak ninggalin Cilla kok, enggak," ia menggeleng pelan. "Mama cuma pergi sebentar untuk menuntut ilmu. Mama janji bakalan sering pulang untuk ketemu Cilla. Nanti, kita sama-sama lagi, menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mama akan menebus waktu kita yang hilang, Mama janji. Mama sayang sama Cilla, sayang banget." Kembali ia ciumi wajah Cilla sampai bayi itu terbangun, namun langsung ia nenenin agar tak sampai menangis.
Ara menatap ke arah Meru yang sepertinya sudah terlelap. Iyalah, pulang dari party, pasti capekkan, Ara tersenyum getir. Sebenarnya, alasan tadi ia ingin batal ke Jogja, selain berat meninggalkan Cilla, juga berat meninggalkan Meru. Suaminya itu kaya dan ganteng, banyak yang naksir. Ada kekhawatiran Meru diambil perempuan lain saat mereka LDM. Tapi sekarang, ia tak lagi memikirkan soal itu. Sekarang gak LDM aja, Meru sudah bohong padanya. Mau LDM atau tidak, sepertinya tak ada bedanya. Perasaan orang bisa berubah kapan saja, dan ia tak bisa menahan itu. Suatu saat, jika sampai Meru tak lagi mencintainya, ia harus bisa berdiri di kakinya sendiri.