Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Lima
Vania masuk ke rumah setelah dipersilahkan bibi. Dia langsung menuju dapur, karena bibi mengatakan jika Tante Lily masih menyantap sarapannya.
Tante Lily yang sedang menyantap hidangan terkejut melihat kedatangan Vania sepagi ini. Memang gadis itu sering main ke rumah, tapi beberapa bulan ini tak datang, membuat mamanya Dipta merasa suatu keanehan melihat kehadiran Vania sepagi ini.
"Selamat Pagi, Tante," sapa Vania. Dia lalu menarik kursi dan duduk dihadapan wanita itu tanpa diminta.
"Selamat Pagi, Vania. Tumben pagi-pagi sudah ada di sini," ujar Tante Lily.
"Aku ingin bicara dengan Tante," ucap Vania pelan.
"Bicara apa?" tanya Tante Lily dengan raut wajah yang penasaran.
Vania menarik napas dalam. Dia sepertinya mencoba merangkai kata yang tepat untuk Tante Lily. Tak mau nanti ada kesalahpahaman.
"Tante, apa kemarin siang Tante ke rumahku?" tanya Vania dengan suara pelan.
"Ya ... Kenapa? Apa yang Khanza adukan?" Tante Lily bertanya dengan nada sedikit kesal. Dia memang belum tahu tentang kepergian Khanza.
Dipta kemarin malam pulang sudah jam satu dini hari karena mencari keberadaan Khanza. Pagi tadi dia langsung pergi tanpa sarapan atau pun pamit. Sehingga belum mengatakan tentang kepergian Khanza.
"Khanza tidak ada mengadu apa-apa, Tante. Dia telah pergi," jawab Vania.
Jawaban gadis itu membuat Tante Lily cukup terkejut. Tak menyangka jika Khanza akan pergi secepat ini, setelah dia bicara.
Tante Lily tampak terkejut dan tidak percaya bahwa Khanza sudah pergi. "Apa? Khanza pergi? Kapan?" tanya Tante Lily dengan nada yang sedikit terkejut.
Vania menjawab dengan tenang, "Ya, Tante. Dia pergi kemarin sore, setelah berbicara dengan Tante."
Tante Lily terdiam sejenak, mencoba memproses informasi yang baru saja diterimanya. Dia tidak menyangka bahwa Khanza akan bereaksi seperti itu setelah percakapan mereka kemarin siang. "Apa ya yang Tante katakan kemarin?" pikir Tante Lily, mencoba mengingat kembali percakapan mereka.
Vania memperhatikan reaksi Tante Lily, mencoba membaca ekspresi wajahnya yang terlihat tidak tenang. "Tante, katakan saja semua yang Tante ucapkan kepada Khanza kemarin. Aku tak akan marah," ucap Vania lagi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
Tante Lily terdiam lagi, sebelum akhirnya menjawab dengan nada yang agak tergesa-gesa, "Tante hanya memberikan nasihat, tidak ada yang serius."
Tapi Vania bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dia tahu bahwa Tante Lily tidak sepenuhnya jujur. "Tante, di rumahku ada CCTV. Tak mungkin hasilnya bisa beda dari kejadian. Aku harap Tante bisa jujur!" ucap Vania dengan penuh penekanan, mencoba untuk membuat Tante Lily merasa tidak nyaman dengan kebohongannya.
Tante Lily terlihat terkejut dengan pernyataan Vania, dan dia mulai merasa tidak nyaman. "Apa ... apa yang kamu maksud?" tanya Tante Lily, mencoba untuk mengalihkan perhatian.
Tapi Vania tidak akan membiarkannya begitu saja. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, Tante. Aku tidak percaya Tante hanya memberinya nasihat biasa." Vania menatap Tante Lily dengan mata yang tajam, menantang Tante Lily untuk mengatakan kebenarannya.
"Apa kamu yakin kalau Tante yang menyebabkan kepergian Khanza?" Tante Lily justru bertanya balik. Dia ingin membuat Vania tak menyudutkan dirinya lagi.
"Semua yang melihat video itu pasti sepakat dengan pendapatku. Khanza pergi karena ada ucapan Tante yang menyakitinya."
"Jadi kamu ingin menyalahkan Tante atas kepergian Khanza? Bisa saja karena dia sudah tak ingin tinggal denganmu!" Lagi-lagi Tante Lily mengajukan pertanyaan untuk menutupi kesalahannya dan juga menutupi rasa gugupnya.
Vania menatap Tante Lily dengan mata yang tajam, tidak percaya bahwa Tante Lily masih mencoba untuk mengelak. "Aku tidak sedang menyalahkan Tante, aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan tak mungkin karena dia tak betah. Aku melihat selama ini dia nyaman," ucap Vania dengan nada yang tegas. "Aku hanya tahu bahwa Khanza pergi setelah bertemu dengan Tante, dan aku ingin tahu apa yang Tante katakan kepadanya."
Tante Lily terlihat semakin gugup, dan dia mulai memainkan tangannya dengan gelisah. "Aku ... aku tidak tahu apa yang kamu maksud," ucap Tante Lily, mencoba untuk mempertahankan posisinya. Tapi Vania tidak akan membiarkannya begitu saja.
"Aku sudah melihat video itu, Tante," ucap Vania dengan nada yang dingin. "Aku tahu apa yang Tante katakan kepada Khanza. Dan aku yakin bahwa itu yang menyebabkan Khanza pergi." Vania menatap Tante Lily dengan mata yang tidak percaya, menunggu Tante Lily untuk mengakui kesalahannya. Walaupun sebenarnya dia juga tak mendengar jelas apa yang Tante Lily katakan dengan Khanza.
"Baiklah, Tante akan jujur. Kemarin Tante hanya meminta dia menjauh dari Dipta, bukan mengusirnya. Jika akhirnya dia memutuskan pergi, itu mungkin lebih baik. Berarti dia sadar diri!" seru Tante Lily dengan raut wajah tanpa ada rasa penyesalan.
Vania terkejut mendengar pengakuan Tante Lily. Sekarang dia sudah semakin yakin kepergian Khanza karena ucapan wanita itu. Jika dia berada di posisi gadis itu, dia juga akan melakukan hal yang sama.
"Tante, apakah Tante sadar dengan apa yang telah Tante lakukan ini, membuat Dipta jadi membenciku. Dia pikir Khanza pergi karena ku," ucap Vania pelan.
"Apa ...? Dipta menyalahkan kamu?" tanya Tante Lily memastikan pendengarannya.
"Iya, Tante. Dan saat ini kami sudah tak saling tegur sapa. Seperti orang asing," ucap Vania dengan pandangan kosong. Keduanya lalu terdiam. Larut dengan pikiran masing-masing.
Tante Lily tak menyangka jika anaknya melakukan hal bo'doh ini. Menuduh Vania yang merupakan sahabatnya dari dulu.
"Tante, aku ingin Tante mengatakan pada Dipta jika sebelum kepergian Khanza, Tante datang menemuinya," ucap Vania pelan setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Vania lalu berdiri dan pamit pulang. Hati dan tubuhnya terlalu lelah menghadapi semua ini. Di dalam mobil tangis Vania pecah. Kenapa Dipta tak mau mendengar penjelasan darinya. Bukankah kalau dia mau menemui ibunya berdua dengannya, semua akan jelas mengenai alasan kepergian Khanza.
"Hari ini masih sama. Aku gagal memberikan ketenangan pada diriku sendiri. Kepalaku sedang berpesta ria oleh pikiran, yang datang tanpa di undang. Satu persatu kesedihan dan kekecewaan memenuhi isi kepalaku. Entah bagaimana menyembuhkannya. Satu hal yang pasti sakitnya itu nyata."
"Ada keresahan yang tak mungkin diceritakan. Ada kesedihan yang tak sanggup diungkapkan. Dan ada tangisan di balik sebuah senyuman. Luka yang dalam sering kali tidak terlihat oleh kasat mata. Di balik ketenangan seseorang ada seribu kisah yang tersembunyi. Kalau kamu pernah merasakan hujan di saat langit tidak mendung, berarti kamu tau rasanya air mata turun saat bibir tersenyum."