Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunga dan Harapan
Untuk beberapa saat, memang perlu waktu. Untuk berpikir, menjauh, dan membiarkan ruang menjadi tempat bagi rindu mencari bentuknya sendiri.
Tak ada pertemuan, tak ada kabar. Hanya diam… dan jarak. Karena cinta yang terlalu dalam, kadang justru butuh jeda agar tak tenggelam.
Alisya menata kembali dirinya. Menjahit luka perlahan-lahan sambil menggenggam tangan Rasya yang tak pernah bertanya banyak,kecuali satu hal yang selalu membuat hati sang ibu nyaris retak:
“Kenapa Ayah nggak jemput kita, Bunda?”Alisya tersenyum.Lirih dan lemah, tapi penuh kasih.
Ia kecup kening anak itu, seolah mencetak doa ke dalam kulitnya yang masih hangat oleh harapan.Cintanya sudah tak utuh. Separuh hilang, terbawa peristiwa yang tak pernah ia minta. Tapi ia tahu, menjadi ibu berarti tetap berdiri, meski cintanya tersisa setengah nyawa.
Di tempat lain, Rendi hidup dalam diam yang lain. Hari-hari kantornya seperti biasa: rapat, dokumen, laporan, telepon. Namun di balik semua rutinitas itu, jiwanya rapuh Tidurnya hilang entah ke mana sudah tiga malam mata tak mau lelap.
Bukan karena kesibukan, tapi karena hatinya kehilangan rumah.“Aku akan selesaikan tanggung jawabku... setidaknya yang satu ini,” gumamnya saat memandangi layar laptop yang tak ia pahami isinya.
Dan Bunga
Gadis cantik yang dulu mengenal cinta sebagai pelukan hangat, kini belajar mengenal realitas sebagai luka yang harus diterima dengan kepala tegak. Terjebak dalam pernikahan yang tak sepenuhnya ia pilih, tapi juga tak sepenuhnya bisa ia tinggalkan.
Ia menelan semua kisah dalam diam.
“Bagaimanapun nanti.. aku tak apa,aku mampu menerima,”bisiknya malam itu, di balik jendela kamar ayahnya.
Perutnya belum besar, tapi dadanya sudah sesak.Ia tahu, waktu tak bisa diundur. Dan dunia luar tak bisa selamanya dihindari.
Hari Baru pun tiba. Langit Jakarta masih sama: murung tapi sibuk.Dan Bunga kembali melangkah ke dunia yang dulu ia kenal, kini terasa asing.
Ia tiba lebih pagi, agar tak perlu banyak berpapasan.
Rambutnya diikat rapi, pakaiannya sederhana, wajahnya dilapisi sedikit bedak dan lipstik pucat cukup untuk terlihat profesional, cukup untuk menyembunyikan retakan yang tak kasatmata.
Satpam menyapanya ramah, "Selamat datang kembali, Mbak Bunga" Ia membalas dengan senyum tipis dan anggukan, lalu masuk ke lift tanpa berkata sepatah pun.
Langkah kakinya menggema di lorong lantai lima. Ia membuka pintu ruangannya perlahan, lalu duduk di balik meja yang sempat ia tinggalkan selama hampir dua minggu.
Segalanya masih seperti dulu.Namun dirinya sudah tidak lagi sama.Dan dari ruangan seberang,Rendi tahu bahwa Bunga telah kembali.Terdengar suara pintu ruangannya ditutup pelan. Namun tak ada sapaan. Tak ada langkah yang mendekat.
Karena hari ini mereka bukan lagi dua orang yang saling mengecup tangan dalam diam. Mereka kini dua titik yang berjauhan dalam garis yang sama.
Dipisah oleh dinding kantor, oleh waktu, oleh luka, dan mungkin... oleh rasa bersalah.
Tiba-tiba, interkom Bunga menyala Suara Rendi terdengar datar, nyaris tak berperasaan.
"Tolong ke ruang saya, ada yang perlu didiskusikan.”
Bunga menarik napas panjang,mengenakan jaket tipisnya seolah butuh perlindungan lebih dari sekadar udara dingin.
Ia mengetuk pintu. Dan masuk.
Rendi menatapnya sejenak, lalu memalingkan wajah Bunga berdiri, menanti perintah.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya, pelan.
Bunga mengangguk, tersenyum kecil. “Baik, Mas. Terima kasih.”
Suaranya tenang, tapi hatinya gemetar. ia lalu duduk, dan membuka catatan kerja.
Tanpa banyak basa-basi, mereka mulai membicarakan proyek yang tertunda. Seperti dua rekan kerja biasa.
Padahal hati mereka saling dengar meski tak lagi saling bicara.
Setelah pembicaraan proyek rampung, dan tak ada lagi angka yang perlu dianalisa, tak ada rencana yang tak tersisa untuk dipetakan, Bunga masih tetap di ruangan itu. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi diamnya berbicara—tentang resah, tentang sesal, tentang luka yang belum sempat diberi nama.
Rendi membereskan dokumen di depannya, tapi tidak dengan pikirannya yang masih berantakan. Bunga mengangkat wajah, memberanikan diri untuk bicara, meski bibirnya terasa kelu.
“Pak…” ucapnya pelan, hampir berbisik, “Bagaimana dengan Ibu Alisya…?”
Rendi tak langsung menjawab. Ia hanya memejam sejenak, seolah memanggil bayangan perempuan yang dulu selalu ia jaga.
“Alisya…” gumamnya, suaranya rendah, berat oleh kenangan.
“Dia belum pulang. Tak ada kabar hingga kini. Semoga… dia baik-baik saja.”
Tidak ada nada amarah. Tidak ada kerinduan yang bergetar di sana. Hanya kehampaan. Seperti lelaki yang sedang tenggelam, tapi terlalu lelah untuk berenang kembali ke permukaan.
Bunga menunduk. Suaranya tercekat di tenggorokan. Tapi ia tahu ia tak bisa terus memelihara diam.
“Maaf…” ucapnya, serak.
“Kalau saja aku tidak datang ke rumah itu… kalau saja aku bisa menahan diri… mungkin semuanya tidak akan seperti ini.”
Rendi mengangguk pelan, seperti mengiyakan sesuatu yang sudah tak bisa diubah. Matanya menatap jauh ke luar jendela, ke langit yang mendung tanpa hujan. Barangkali, sama seperti hatinya—penuh awan, tapi tak tahu bagaimana menangis.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Lalu suara lirih Bunga kembali terdengar, patah tapi pasti.
“Dalam kisah ini… aku yang salah.”
Ia menatapnya sekali lagi. Pandangan yang mengandung seribu luka yang tak sempat tertuliskan. Lalu ia melangkah pergi. Tanpa pamit. Tanpa sepatah kata penutup. Ia tahu, tak semua kisah butuh salam perpisahan.
Di kursinya, Bunga terduduk diam. Waktu seperti berhenti. Tapi jantungnya berdenyut keras. Ada sesuatu dalam dadanya yang mendesak keluar, tapi tak punya tempat pulang. Ia mengusap perutnya lagi—satu gerakan yang entah untuk menenangkan, atau justru mencari kekuatan.
“Haruskah aku mengakhiri ini, Nak…?” bisiknya dengan suara yang nyaris tenggelam oleh denting jam di dinding.
“Biar semua selesai… biar semuanya kembali seperti sebelum aku datang.”
Ia menunduk. Tangannya gemetar saat menyentuh perutnya sendiri.
“Tapi jika aku lakukan itu… bukankah aku sama saja seperti Ibu dulu…?”
Ia memejam, air matanya tak mampu lagi ditahan.
“Aku benci bagaimana Ibu meninggalkan aku dan Ayah. Aku tumbuh dengan tanda tanya yang tak pernah dijawab… dengan malam-malam yang sunyi, dan hari-hari tanpa pelukan.”
“Aku tumbuh dalam ketegaran yang terpaksa, dan kekuatan yang dibuat-buat.”
Ia menatap langit-langit kantor.
“Dan sekarang… aku malah berdiri di titik yang sama. Di batas antara pergi… atau bertahan. Menghapus… atau menjaga. Melukai… atau mencoba menebus semua luka.”
Wajahnya basah. Tapi bukan hanya karena air mata. Melainkan karena ketakutan—ketakutan menjadi bayangan dari wanita yang pernah melahirkannya, namun tak pernah kembali.
“Aku juga perempuan, Bu… Tapi aku bukan Ibu. Aku tidak ingin jadi Ibu yang sama. Aku tidak ingin pergi, meninggalkan anakku dengan luka yang sama seperti luka yang kau tinggalkan padaku…”
Ia kembali menatap perutnya. Kali ini dengan pandangan yang lebih lirih, lebih sendu, tapi ada kelembutan di dalamnya.
“Aku takut… Tapi aku juga ingin mencoba. Mungkin aku tidak punya cinta dari pria yang kupilih. Tapi mungkin… aku bisa belajar mencintai diriku sendiri. Dan anak ini.”
“Aku akan tetap melangkah. Tapi bukan untuk menyelamatkan cinta yang sudah gagal. Aku akan melangkah untuk hidup yang baru. Untuk kisah yang belum tertulis. Dan mungkin… untuk menjadi Ibu yang tidak pergi.”
Ia berdiri perlahan. Melirik ke arah ruang kerja Rendi yang masih tertutup kaca. Laki-laki itu tetap di sana. Tapi Bunga tahu, ada hal-hal yang tak bisa dipaksakan. Termasuk cinta.
Dan kali ini, Bunga tahu… ia harus memilih dirinya sendiri lebih dulu.
km itu bukan korban y bunga.... km itu pelakor yg memang dgn sengaja ingin mnguasai rendi...
km manusia kejam bunga.... memisahkn ank dgn ayahnya... dan itu g adil..
dan lgi" smua untuk keuntunganmu sndiri... dan jga untuk ank yg km kndung..
minta maaf nya gk ikhlas krn takut mnderita itu.
coba kl bhgia gk.akn minta maaf smp berlutut si bunga itu.
Karma hrs ttp buat rendi dan bpknya, bunga dan bpknya juga.
bikin mereka bangkrut. Aku ingin anak bunga gugur gk ikhlas bnget pokok nya rasha punya saudara darah pelakor.
bunga anak adopsi mana tau dia anak pelacur mkne mau mau saja jd pelakor.
Mkne nm ne yg cocok Bunga Bangkai.
jng mimpi. karma mu baru di mulai.
menangislah smp km ingin mati.
HUKUM TABUR TUAI.
SAATNYA BUNGA BANGKAI MEMETIK KARMA.
INGAT KARMA TAK SEMANIS KURMA.
jd nikmati saja sakit nya ya Pelakor. semoga makin viral dan mnderita.
sukur sukur bunuh diri.
pokok nya bunga Bangkai harus hancur sehancur hancurnya. dasar wanita pendidikan tp gk punya moral.
semoga anaknya gugur biar rasha gk punya saudara Dr ibu pelakor mcam km.
semoga hbis ini bunga bnyak pikiran kecelakaan trus keguguran. wes ngunu ae. biar kapok para tua bangka bpk rendi dan bpk bunga.
bukankah kalian sama" pelakorrrr...
beda istri beda rejeki.
akhirnya viral semoga makin viral biar tmbh malu tu bunga Bangkai.