Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 29
Cahaya matahari terakhir menyusup lembut melalui celah tirai kamar mereka. Gurat keemasan menari di dinding, membingkai siluet Jasmine yang tengah duduk di ujung ranjang, menunduk penuh konsentrasi. Tangannya sibuk membersihkan luka di lengan Adimas dengan hati-hati.
Adimas hanya terdiam. Matanya tak lepas dari wajah perempuan itu—wajah yang biasanya ia hindari, kini justru membuatnya terpaku.
Kini, perempuan itu masih di sana. Mengoleskan salep dengan jemarinya yang mungil dan lembut. Tak berkata sepatah kata pun, tapi ada ketulusan yang begitu terasa dalam setiap geraknya. Setiap sentuhan pelan itu seolah ingin mengatakan bahwa ia peduli, bahkan saat Adimas bersikap dingin padanya.
Adimas mengalihkan pandangan sejenak ke jendela. Langit sudah berubah warna. Hingga kemudian tatapannya kembali jatuh pada Jasmine.
Masih terekam jelas dalam ingatan Adimas tentang insiden satu jam yang lalu. Saat dirinya sedang membantu Adrian dan Naina membawa beberapa perlengkapan games yang entah kapan ternyata direncanakan oleh tiga orang tersebut, Jasmine salah satunya. Tiba-tiba ia mendengarkan teriakan Jasmine yang berasal dari arah ruang tengah.
Saat itulah Adimas pun menyadari bahwa ranting pohon yang berada di atas Adrian sudah hampir terjatuh. Tanpa berpikir dua kali, Adimas langsung berlari dan mendorong tubuh Adrian agar bisa menghindari dari ranting ukuran sedang tersebut. Sialnya justru Adimas lah yang tersungkur karena tertimpa ranting tersebut.
Namun bukan itu yang membuatnya merasa sakit. Meski sudah bertahun-tahun sering terjadi, namun tetap saja. Perasaan nyeri di hatinya begitu terasa saat mendengar semua orang berteriak memanggil nama Adrian dan segera mengerumuni adiknya itu. Padahal yang terluka adalah dirinya. Hingga sebuah teriakan khawatir milik seorang perempuan yang beberapa bulan ini hidup satu atap dengannya membuat Adimas tertegun.
Di saat semua orang mengkhawatirkan Adrian, Jasmine justru berlari ke arahnya tanpa ragu. Tangan kecilnya bahkan tanpa ragu mengangkat ranting pohon tersebut hingga tangannya pun terasa lebih lega. Hati Adimas tiba-tiba merasakan kehangatan yang belum pernah Adimas rasakan semenjak mamanya pergi.
Namun mengapa harus Jasmine? Perempuan ini seharusnya membencinya. Bukannya memberikan perhatian tulus yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Lukanya sudah aku obati. Tapi kayaknya masih akan terasa sakitnya. Atau Mas mau ke dokter aja?" tanya Jasmine sembari merapikan kain kasa yang menutupi luka Adimas.
Satu detik, dua detik tak ada suara. Adimas masih terpaku menatap Jasmine membuat perempuan itu menyipit heran. Ia lalu melambaikan tangannya di depan wajah Adimas.
"Mas? Halo!"
Adimas tersentak saat Jasmine melambaikan tangan di depan wajahnya. "Iya, kenapa?" tanya Adimas pelan.
Jasmine terkekeh pelan. "Mas melamun, ya?" godanya membuat Adimas segera memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kamu bicara apa?" tanya Adimas berusaha mengontrol rasa gugupnya.
Jasmine yang sedang merapikan beberapa peralatan P3K tersebut kemudian menoleh kepada Adimas. Jasmine lalu meletakkan kotak P3K tersebut di meja sementara ia segera beringsut lebih dekat dengan Adimas. Ia kemudian meraih tangan Adimas lalu membawanya dalam genggaman. Anehnya Adimas tidak menepis perlakuan itu. Ia justru membiarkan Jasmine mengenggam tangannya lalu mengusapnya dengan lembut.
"Kalau ada yang masih sakit bilang, ya. Aku obatin atau cari obatnya. Kalau aku nggak nemu obatnya, aku panggilin dokter."
Adimas menoleh ke samping dan mendapati Jasmine sedang menatapnya dengan lembut, namun raut kekhwatiran sangat tampak di wajahnya.
"Kendalikan dirimu, Adimas. Ayo sadar! Di depanmu itu adalah Jasmine. Perempuan yang sudah menyakiti dan membuat Rindu terpuruk!" batinnya berseru dengan tegas.
Detik kemudian ia melepaskan tangannya dari genggaman Jasmine dengan kasar sehingga membuat Jasmine terperanjat kaget. Adimas segera memalingkan wajahnya ketika ia melihat sudut mata Jasmine mulai berkaca-kaca.
"Jaga sikapmu, Jasmine. Jangan karena saya mulai melunak padamu, sehingga membuat kamu lancang menyentuh saya. Apapun kebaikan kamu kepada saya tidak akan membuat saya lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan pada Rindu. Bagi saya, kamu hanyalah istri di atas kertas bukan di hati saya," ujar Adimas dengan nada rendah namun sarat akan kebencian.
Jasmine menatap Adimas seolah tidak percaya dengan apa yang barusan Adimas katakan. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Wajahnya memerah, bukan karena sedang salah tingkah melainkan karena menahan amarah.
"Seharusnya sikapmu tidak goyah sejak awal kita menikah, Mas. Kalau memang rasa bencimu terhadapku begitu besar, maka teruslah seperti itu. Jangan membuatku bingung dengan perhatian yang akhirnya membuatku jatuh cinta."
Adimas terdiam. Jasmine benar. Akhir-akhir ini ia bahkan mulai menunjukkan perhatiannya pada Jasmine. Tujuannya memang membuat Jasmine jatuh cinta. Namun siapa sangka, karena itu dirinya pun bisa terjebak dalam permainan yang ia buat.
"Kamu tidak seharusnya berlari ke arah saya. Sikapmu membuat saya hampir lupa...bahwa saya membencimu."
Suasana kamar yang tadinya begitu hangat berubah jadi menegangkan. Keduanya kembali saling diam. Jasmine tidak lagi mengeluarkan suara. Namun isakannya yang terdengar pelan itu membuat Adimas sadar bahwa perempuan itu sedang menangis.
Adimas pun beranjak berdiri dan segera melangkah menuju pintu. Hanya saja saat Adimas akan meraih kenop pintu tiba-tiba Adrian masuk dengan wajah cerianya sambil membawa segelas teh. Wangi chamomile samar menyeruak ke dalam ruangan. Tapi senyum Adrian perlahan memudar saat matanya menangkap ekspresi Jasmine.
"Shaf ini minuman untuk- Shaf? Kamu kenapa?"
Perempuan itu buru-buru mengalihkan pandangan, seolah tak ingin Adrian tahu apa yang sedang terjadi. Tangan Jasmine sigap menyeka sudut matanya yang berair. Namun terlambat, Adrian sudah melihatnya.
"Shaf? Kamu...menangis?" tanya Adrian lembut. Lelaki itu bahkan berlutut di dekat Jasmine.
Suasana jadi canggung seketika. Jasmine berdiri dan tersenyum, walau jelas senyum itu dipaksakan. "Nggak kok. Oh iya, tehnya kasih ke Mas Adimas aja, ya. Aku mau ke dapur dulu."
Jasmine kemudian pergi meninggalkan Adimas dan Adrian yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Adimas masih diam di tempatnya, tatapannya kosong, tapi dalam pikirannya, adegan tadi berulang. Melihat wajah hangat Jasmine berubah sendu entah mengapa membuat timbul sesal di hatinya.
Adrian menaruh teh itu di meja kecil, lalu duduk di ujung ranjang sambil melirik Adimas yang masih berdiri di dekat pintu.
"Separah itu kamu menyakiti hatinya, Kak?" tanya Adrian pelan namun nada tidak suka tak suka sangat terdengar jelas di telinga Adimas.
Hening. Karena Adimas enggan menjawab. Mulutnya terkatup rapat padahal hatinya ingin berteriak bahwa ia sendiri tidak menyangka Jasmine akan menangis seperti tadi.
Adrian kemudian berdiri menatap Adimas tajam. "Gue nggak ngerti hati lo emang udah lama pergi atau otak lo yang emang udah keangkut juga sama si cewek pick me lo itu."
Jeda sejenak, hingga Adrian kembali bersuara dengan amarah yang tertahan. "Jangan bodoh, Kak. Kalau memang Jasmine menyakiti dia hingga membuatnya terpuruk atau apalah itu, dia nggak bakalan sengaja menampakkan diri di depan Jasmine. Bukannya sengaja nyamperin lo di rumah yang ia sendiri tahu di sana ada Jasmine."
Adimas balas menatap Adrian dengan tajam. Ia tidak suka Rindu di cap macam-macam oleh orang lain.
"Kamu tidak tahu apa-apa. Lagipula saya bukan kamu yang mudah terjebak oleh kebaikan palsu Jasmine. Jadi, jangan terlalu membelanya."
"Lo yang nggak tahu apa-apa, Kak. Sejak awal lo hanya dengar itu dari Rindu. Pun jika kecelakaan itu memang disebabkan Jasmine, kenapa lo nggak cari tahu alasan di balik itu semua."
Rahang Adimas mengetat. Adiknya itu terlalu naif. Matanya dibutakan oleh sosok Jasmine yang sekarang. Padahal Adimas masih mengingat bagaimana dulunya Rindu sering menangis karena dibully oleh Jasmine dan geng perempuan itu.
"Jasmine itu iri pada Rindu. Itulah yang membuat Jasmine tega membuat Rindu seperti sekarang."
"Lo lihat sendiri memangnya saat Jasmine membully Rindu, hah? Lo lihat sendiri atau hanya dengar dari cewek lo itu?" tanya Adrian dengan wajah menantang.
Adimas diam. Sepanjang ingatannya memang ia tidak pernah melihat langsung Jasmine melakukan itu kepada Rindu. Namun ia pernah melihat Jasmine hanya diam menatap diam tanpa ekspresi teman-temannya membully Rindu.
Lagipula Adimas tahu bahwa dulu Jasmine juga terkenal sering membuat ulah. Perempuan itu pernah diskors karena memukul tangan seorang teman lelaki di kelasnya hingga patah. Jasmine juga sering bolos pelajaran dan nongkrong di kantin luar belakang sekolah.
Karena hal itulah Adimas menyimpulkan bahwa semua yang dikatakan Rindu itu benar adanya. Senyum sinis Adimas muncul.
"Kalau kamu memang mencintai Jasmine, seharusnya kamu tidak menolak menikah dengannya. Jangan lupa Adrian, ketidakbahagiaan Jasmine dengan saya itu juga terdapat campur tanganmu." Adimas lalu segera pergi.
Ia harus menenangkan dirinya. Perkataan Adrian terus terngiang di kepalanya dan Adimas jelas tidak ingin nantinya hatinya akan berbelok mengakui bahwa semua perkataan Rindu itu hanya bualan semata.