Daniel Ferondika Abraham adalah cucu pertama pemilik sekolah menengah atas, Garuda High School.
Wajahnya yang tampan membuatnya menjadi idaman siswi sekolahnya bahkan di luar Garuda juga. Namun tidak ada satupun yang berani mengungkapkan rasa sukanya karena sikap tempramen yang di miliki laki-laki itu.
Hal itu tak menyurutkan niat Dara Aprilia, gadis yang berada di bawah satu tingkat Daniel itu sudah terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya, namun selalu di tolak.
Mampukah Dara meluluhkan hati Daniel? dan apa sebenarnya penyebab Daniel menjadi laki-laki seperti itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
(Indonesia)
Sementara itu, di ruang keluarga, suasana berkabung dan kesedihan masih sangat terasa. Rena tampak duduk di sofa, bahunya terasa pegal setelah 2 hari penuh menerima pelayat, matanya terlihat sendu dan sembab.
Nicko duduk di karpet depan ibunya, lalu memegang tangan Rena erat-erat. Meskipun masih 16 tahun, bocah itu cukup dewasa untuk mengerti ibunya butuh sandaran. Sedangkan Rebecca yang duduk di seberang terlihat sedang menggambar sesuatu dengan krayon.
"Mama.... Ini." ucap Rebecca menyerahkan kertas bergambar mereka yang tersenyum di taman. Rena tersenyum, "Ini... Lucu sekali Becca."
"Mama, kita masih bisa senyum. Kakek bakal sedih kalau lihat mama sedih terus." Rebecca memegang pipi Rena. Nicko ikut berbicara, suaranya tenang. "Kalau mama capek, kita bisa gantian. Nanti kalau ada yang datang, biar aku yang buka pintu."
Rena mengusap rambut kedua anaknya. meskipun duka masih menyelimuti, namun dia bahagia mempunyai anak-anak yang menyayanginya. Mereka menjadi sumber kekuatan Rena bahwa hidup harus terus berjalan.
Arvin datang ke rumah Dharma setelah mengobrol dengan pelayat terakhir di sore itu. Mereka berbicara santai namun sinis. Kematian Abraham seolah menjadi kartu bebas untuk mereka berdua. Berbagai rencana sudah mereka siapkan, termasuk menyingkirkan beberapa orang yang tidak loyal pada mereka.
Dia membuka percakapan setelah mengisap cerutu mahalnya dan duduk dengan pongah. "Akhirnya.... penghalang besar tersingkir juga. rasanya seperti selesai membersihkan papan catur dan kita mulai mengatur ulang bidaknya." Dharma masih mengontrol emosinya aku mah berusaha untuk tetap tenang. "Dulu dia adalah lawan yang sulit, sekarang setelah semuanya berakhir, orang-orang yang masih loyal padanya harus kita singkirkan." Arvin minum sedikit anggur merahnya sambil memutar pelan gelasnya.
"Aku bahkan sudah mulai menyusun daftar. Kepala sekolah, bendahara, dan bagian lainnya yang masih terikat dengan papa harus kita ganti." Dharma tersenyum kemenangan namun wajahnya datar.
Langkah Catherine terdengar dari dapur, wajahnya terlihat cemas. Ia menatap kedua pria di depannya dengan ragu sambil memeluk cardigan yang ia kenakan seolah menahan dingin. "Apa kau lupa peringatan Daniel waktu itu?" pertanyaan Catherine cukup membuat hati Arvin dan Dharma tersentil.
"Dia hanya anak kemarin sore Cath, baru belajar jalan di panggung. Sedangkan kita yang mengatur panggungnya." Dharma tak merespon, ia memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.
Namun tanpa mereka sadari, Daniel dan Hao sudah membuat rencana yang matang untuk membawa mereka tinggal di balik jeruji besi. "Sebelum mereka bertindak lebih jauh, kita yang kontrol semuanya. Sekarang semua mata publik tertuju ke kabar duka, itu telah kita." Arvin berkata dengan percaya diri, Catherine was-was, sementara Dharma tenang.
---
Di hari yang sama, Himawan sudah mengurus semua dokumen legal yang dibutuhkan. Suryo juga sudah membubuhkan tanda tangannya untuk menjadi saksi. Daniel dan Himawan mencocokkan lagi bukti yang disimpan Abraham sebelumnya dengan bukti yang masih disimpan Suryo.
"Besok pagi, kita ajukan laporan resmi, tapi kita tidak bisa memakai jalur biasa. Kita bawa ini ke pihak yang bisa dipercaya dan netral.
Keesokan harinya, kantor pusat Abraham dipenuhi suasana tegang setelah adanya pengumuman resmi dari dewan direksi.
"Untuk menjaga semangat kejujuran dan tanggung jawab yang diwariskan mendiang bapak Abraham, kami memulai audit internal besar-besaran di seluruh lini operasional yayasan dan institusi di bawahnya, termasuk Garuda school dan seluruh divisi pengembangan sosial."
Semua komunikasi dilakukan oleh tim hukum yayasan, termasuk Himawan, yang kini menjadi sorotan karena menjadi orang kepercayaan Abraham. Namun Arvin dan Dharma masih percaya diri, menganggap audit ini hanya formalitas. Dharma bahkan mencoba mengatur narasi agar audit ini bisa dikendalikan dari dalam, namun itu semua sirna tatkala muncul laporan khusus dari tim auditor independen yang ternyata sudah diam-diam dikontrak sejak seminggu sebelum Abraham wafat.
Di dalam laporan itu, tercatat beberapa penyimpangan dana, konflik kepentingan dalam proyek kemitraan serta manipulasi data beasiswa. Dari dua bagian berbeda dokumen itu, muncul dua nama yang disebut dengan jelas :
Arvin Yudhistira : kepala divisi ekspansi program luar negeri.
Dharma Mahendra : kepala divisi kemitraan yayasan.
tak butuh waktu lama, nama mereka berdua tersebar dan bocor ke media sosial.
---
Sementara itu setelah pelaksanaan audit, suasana tegang kembali tercipta di rumah Dharma.
"Bagaimana ini Arvin? semua terlalu cepat! Mengapa... mengapa bisa bocor?!" Catherine mondar-mandir, nadanya gemetar.
Dharma menenangkan istrinya dan berusaha untuk tidak goyah. "Tenanglah sayang, mereka tidak punya bukti yang kuat."
Arvin yang sebelumnya besar kepala mendadak bernyanyi ciut saat mengingat satu nama. "Suryo! sial bagaimana bisa aku melupakannya?!"
"Kalian seharusnya sadar kalau Abraham bukan orang sembarangan. Dia pasti nyiapin sesuatu sebelum mati.!"
Berita tentang audit Garuda dan penyelidikan dua pejabat yayasan menjadi headline di berbagai media nasional :
"Kematian Abraham di susul audit yayasan : Arvin Yudhistira dan Dharma Mahendra diduga terlibat skandal korupsi dan penyalahgunaan wewenang."
Di tempat yang berbeda setelah pelaksanaan audit itu, Ebie mengunjungi yayasan titik jika biasanya para pegawai yang bertemu dengannya menyapanya, sekarang mereka hanya menunduk canggung saat ia lewat. Di tangan kirinya, ia memegang ponsel yang terus berdering. Puluhan pesan memenuhi kotak masuknya, mulai dari wartawan, teman sekolahnya dulu dan kerabat.
Semua menanyakan satu hal yang sama : "Apakah benar Alvin dan Dharma terlibat?"
Ia membuka pintu ruang rapat itu dengan yakin. Terlihat Daniel, Hao, dan Himawan berbincang dengan tim audit. Wajah Daniel tenang, bahkan terkesan dingin. Himawan sibuk dengan berkas di tangannya dan Hao masih membicarakan tentang hasil audit.
"Jadi begini cara kalian menjatuhkan keluargaku?" suara Ebie menggema di ambang pintu. Semua menoleh namun Daniel tak berdiri, ia menatap Ebie tajam. "Bukan menjatuhkan Bi, ini soal tanggung jawab." Ebie tersenyum miring, lalu melangkah pelan masuk ke ruangan itu.
"Lucu Kamu bicara soal tanggung jawab. Kamu pikir semua bisa kembali lewat audit dan pengadilan? papa aku yang bangun yayasan ini dari nol!" tangan Ebie mengepal, nadanya meninggi. "Bukan dari nol, tapi dari kakekku! dan papamu korup setelah kita tunangan!" Daniel membalas dengan tenang.
Namun Ebie nyaris menyerangnya, "Kamu pikir orang-orang bakal percaya kamu? mentang-mentang kamu cucu Abraham gitu?! kamu nggak lebih dari anak kemarin sore yang cari panggung lewat kematian kakekmu!" Himawan menatapnya tajam, "Sayangnya yang kami punya bukan hanya opini nona. Bukti transfer, laporan ganda, pemalsuan dokumen dan intervensi yang tidak valid ke beberapa mitra sekolah."
Ebie terdiam mendengarnya, namun matanya memburu. "Aku akan pastikan orang-orang tahu Daniel itu sebenarnya siapa!" ia lalu menunjuk Himawan, "Dan anda, Pak Himawan? harusnya berdiri di sisi keluarga kami!" Himawan menjawab dengan tenang. "Maaf nona Ebie! Saya berdiri di sisi yang benar." Ebie masih teguh dengan pendiriannya. "Jangan bawa-bawa Papa seolah dia adalah kriminal! kamu nggak tahu apa-apa soal yayasan!"
Daniel berusaha menahan emosinya, "Aku tahu lebih dari yang kamu kira. Dan Aku punya bukti." Ebie tersenyum, "Bukti nggak akan pernah bisa gantiin rasa hormat," ia mendekat, mengintimidasi suaranya lebih rendah dan menusuk. "dan kamu tahu apa yang lebih lucu? kamu bisa cari kebenaran, Daniel. tapi kamu nggak akan pernah bisa nemuin cinta yang udah kamu buang itu, termasuk dariku." Daniel memejamkan matanya, napasnya cepat, tangannya yang berada di bawah meja mengepal.
Hao yang sejak tadi diam, berdiri dan maju ke depan. "Tolong keluar Ebie! Kami sedang bekerja."
***
Panas panas panas.. aduh gimana ya lanjutannya? Masih ada yang setia sama Daniel??