cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Bertemu Lagi?
Langit sudah mulai gelap saat mereka berjalan di trotoar yang dipenuhi lampu-lampu jalan. Angin malam berembus pelan, membawa aroma makanan dari warung-warung di sepanjang jalan. Vio memasukkan tangannya ke dalam saku jaket, melangkah tenang di samping Tissa yang masih sesekali melirik ke arah jendela toko.
Namun, langkah Vio tiba-tiba melambat.
Dari arah depan, terlihat dua sosok yang familiar. Seorang laki-laki tinggi dengan ransel menyampir di satu bahu dan gadis dengan rambut dikuncir dua, berjalan santai sambil tertawa.
Vio menunduk sedikit, lalu menoleh ke arah toko terdekat seolah mencari alasan untuk berbelok.
Tissa menoleh ke arahnya, heran. “Eh? Kak, kenapa—”
“Teman sekelas…” gumam Vio cepat sambil sedikit menarik tangan Tissa agar melambat.
Tissa yang awalnya bingung, kemudian ikut menoleh ke depan… dan matanya membulat kecil. “Itu… yang cewek juga temen sekelasku.”
Keduanya saling melirik. Tapi saat ingin berbalik arah, suara langkah dari arah belakang membuat mereka sadar… sudah terlambat untuk menghindar.
“Eh?! Maaf, boleh minta foto bareng?”
Gadis berkuncir dua itu menghampiri, matanya tertuju pada Tissa dengan ekspresi berbinar.
“Bajumu lucu banget, kayak karakter dari negeri dongeng! Eh, kamu model, ya?”
Tissa refleks menegang, tapi Vio dengan tenang berdiri di sampingnya, tetap mempertahankan ekspresi dinginnya. Pandangannya menatap lurus, seolah tidak terganggu, meski jelas ia waspada.
“Oh, dan kamu juga!” Teman laki-laki itu menyela. “Stylenya keren banget, bro. Kayak idol dari film Korea!”
Mereka benar-benar tidak menyadari siapa Vio dan Tissa sebenarnya. Entah karena penampilan mereka terlalu berbeda dari keseharian di sekolah, atau karena pencahayaan malam dan suasana yang tidak formal yang jelas, mereka berdua tidak dikenali.
Tissa tersenyum kaku. “Maaf… kami sedang buru-buru. Tapi… terima kasih.”
“Oh, iya-iya, maaf ganggu. Tapi bajumu lucu banget, serius deh. Aku bakal cari yang mirip!” Gadis itu tertawa kecil.
Mereka akhirnya berlalu, tertawa sambil terus membicarakan “pasangan keren” yang mereka lihat. Setelah mereka cukup jauh, Tissa mendesah lega.
“Aku sempat panik,” bisiknya.
Vio melirik ke samping, menahan senyum. “Kamu bagus banget barusan. Pura-puramu jago juga, ya?”
Tissa tersenyum nakal. “Aku belajar dari kakak, yang bisa kelihatan cuek padahal waspada banget.”
“Hmph.”
Setelah beberapa langkah, Tissa bergumam pelan, “Tapi… kamu keren banget barusan. Kayak orang yang udah biasa di depan kamera…”
Vio tertawa kecil, tapi tidak menjawab.
Langkah mereka berlanjut menyusuri jalanan malam, menyisakan jejak langkah dua saudara yang mulai terbiasa berbagi kehidupan yang lebih tenang dan hangat… bahkan di tengah hiruk pikuk dunia luar yang tak pernah benar-benar mengenali siapa mereka sebenarnya.
Malam mulai menyelimuti kota dengan langit berwarna ungu tua dan lampu-lampu jalan yang berpendar hangat. Vio dan Tissa berjalan menyusuri jalan kecil yang tak jauh dari area apartemen mereka. Suasana sudah lebih sepi, hanya suara kendaraan sesekali melintas dan langkah kaki mereka yang terdengar.
Namun tiba-tiba, Vio berhenti.
Matanya menatap ke arah sebuah sudut bangunan, di mana seorang gadis kecil dengan rambut kuncir dua sedang terduduk sambil menangis keras. Tubuh kecil itu tampak gemetar, tangannya sesekali mengusap matanya, sementara boneka lusuh tergenggam erat dalam dekapannya.
Tissa menatap bingung, namun sebelum ia bisa bertanya, Vio sudah bergerak.
“…Kamu lagi, gadis kecil,” gumam Vio pelan, langkahnya mantap mendekati.
Tissa mempercepat langkah, ikut di belakang Vio. Saat mereka mendekat, gadis kecil itu mendongak perlahan. Matanya yang memerah karena tangisan terlihat terkejut kemudian mengenali wajah Vio, dan air matanya langsung meluncur lebih deras.
“Kakak…” isaknya, suaranya nyaris tenggelam dalam tangis. Ia langsung berdiri dan memeluk Vio erat tanpa berkata apa-apa lagi.
Tanpa berkata banyak, Vio berjongkok dan kembali menggendong gadis itu, seperti dua kejadian sebelumnya. Tubuh mungil itu bersandar pada bahunya, dan tangisnya mulai mereda seiring langkah kaki Vio yang tenang.
Tissa menatap mereka dengan mata membulat. “K-Kak… kamu kenal dia?”
Vio mengangguk, wajahnya tetap datar tapi tatapannya lembut. “Dia tinggal di bawah unit apartemen kita. Aku pernah bantu dia… dua kali, sebelumnya.”
“Oh…” Tissa menatap gadis itu yang kini sudah mulai tertidur dalam gendongan Vio. Ada kehangatan yang aneh terasa di dadanya saat melihat kakaknya yang biasanya cuek dan dingin, bisa bersikap selembut itu.
Sesampainya di depan pintu salah satu unit lantai bawah, Vio menekan bel. Tak lama, pintu terbuka dan seorang wanita muda dengan wajah cemas langsung menyambut.
“M-Maaf! Apa dia merepotkan lagi? Terima kasih… saya sungguh—”
Vio hanya mengangguk singkat. “Dia ada di sini tadi, sendiri.”
Wanita itu mengangguk berkali-kali, lalu membawa putrinya masuk dengan penuh syukur. “Terima kasih banyak… maaf, dia suka kabur kalau sedang marah atau kesal…”
Vio tak menjawab, hanya menatap sejenak sebelum berbalik. Tissa menunduk sopan, lalu mereka kembali menaiki tangga menuju unit mereka di atas.
Di sepanjang perjalanan, Tissa tak berkata apa-apa… hingga akhirnya, saat mereka tiba di depan pintu apartemen, Tissa menoleh dan bertanya pelan:
“…Kak, kamu sering nolongin orang ya?”
Vio membuka pintu, lalu menjawab ringan sambil melangkah masuk, “Enggak. Cuma… kalau ketemu, ya dibantu aja.”
Tissa tersenyum kecil. Ia mengikuti Vio masuk, lalu menutup pintu perlahan.
Di balik ketenangan dan sikap dingin kakaknya, ia mulai melihat sisi lain yang lebih lembut. Sisi yang hanya muncul saat tak ada banyak orang melihat… dan itu membuat hatinya terasa sedikit lebih hangat.
Setelah mereka masuk dan berganti sepatu, Vio menoleh pada Tissa yang sedang meletakkan tas kecilnya di sofa.
“Tissa, mandi dulu sana. Air hangatnya sudah kusiapkan,” ucap Vio santai sambil berjalan menuju balkon dengan gitarnya di tangan.
Tissa mengangguk sambil memutar tubuh. “Iyaaa, Kak…” gumamnya malas, namun tetap melangkah menuju kamar mandi.
Vio membuka pintu kaca balkon, membiarkan angin malam masuk perlahan. Kota terlihat temaram di kejauhan, dan suara-suara samar dari jalanan menyatu dengan alunan senar gitarnya. Ia memainkan melodi pelan, lembut, seperti berbicara dengan angin. Wajahnya terlihat tenang untuk pertama kalinya hari itu.
Sekitar sepuluh menit berlalu, hingga ting-tong! suara bel pintu berbunyi.
Vio menghentikan permainan gitarnya, berdiri dan berjalan cepat ke arah pintu. Saat dibuka, sosok ibu muda dan gadis kecil yang tadi langsung terlihat. Sang ibu membawa sebuah kotak makanan yang terlihat masih hangat, sementara si gadis langsung menatap Vio dengan mata berbinar.
“Maaf mengganggu malam-malam,” kata ibunya, sedikit membungkuk sopan. “Kami hanya ingin mengucapkan terima kasih. Ini… sedikit makanan, saya buat sendiri.”
Vio hanya mengangguk dan melangkah ke samping. “Masuk saja.”
Mereka pun masuk. Vio mengambil kotak itu dan meletakkannya di meja ruang tengah, lalu menyiapkan air minum untuk tamunya. Sementara itu, si gadis kecil duduk rapi di sofa, kakinya menggoyang pelan, tampak nyaman sekali seperti sudah sering ke sana.
Tak lama, saat Vio kembali dengan dua gelas air, gadis itu tiba-tiba berseru lantang dengan nada polos, “Aku sering dengar suara gitar dari balkon ini!”
Vio terdiam sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. “Oh?”
Ibunya tersenyum canggung. “Maaf, dia memang suka memperhatikan suara. Tapi saya juga pernah dengar… suara gitarnya enak didengar, adem.”
Vio menaruh gelas dengan tenang, tersenyum tipis. “Jadi kamu yang sering diam-diam dengar, ya?” katanya pelan sambil menatap gadis itu yang mengangguk penuh semangat.
“Aku suka suara gitarnya! Makanya waktu terakhir kali Kakak nolong aku, aku bilang… ‘aku tahu suara itu’, tapi Kakak kayaknya nggak dengar…”
Vio mengingat kembali ya, waktu itu gadis kecil ini memang mengatakan sesuatu di tengah isak tangis. Tapi Vio terlalu fokus memastikan ia baik-baik saja untuk benar-benar memperhatikan ucapannya.
“Begitu, ya…” gumam Vio sambil menatapnya dengan tatapan yang sedikit lebih lembut.