Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Taman itu sunyi, hanya suara angin yang menyapu dedaunan dan wangi bunga mawar yang samar di udara. Corvina duduk di bangku batu, gaun ungunya berkilau lembut tertimpa sinar sore. Setelah pertemuannya dengan Meriel, kepalanya penuh, dadanya sesak seolah setiap kata dari perempuan itu masih menggema di telinganya.
“Yang Mulia, apa perlu saya bawakan camilan?” Cesie berbicara hati-hati, nyaris berbisik.
Corvina menggeleng tanpa menoleh. “Tidak perlu, Cesie. Aku hanya ingin diam sebentar.”
“Baik, Yang Mulia.”
Pelayan itu mundur dengan sopan, lalu berhenti beberapa langkah di belakang, membiarkan Ratu-nya sendirian dengan pikirannya.
Corvina menarik napas panjang. Wajahnya tenang, tapi jemarinya menggenggam erat ujung gaunnya hingga kusut.
Meski aku mengulang hidupku lagi... Meriel tetap saja tak mudah dijatuhkan, batinnya. Perempuan itu selalu punya cara, selalu penuh siasat, seolah seluruh dunia berputar di bawah rencananya.
Ia menunduk, memandangi bunga mawar yang baru mekar di depannya. Kelopaknya tampak indah, tapi durinya tajam. Persis seperti hidup di istana ini penuh warna, tapi bisa melukai kapan saja.
Mengulang kehidupan ini memang memberiku kesempatan memperbaiki banyak hal... tapi sampai kapan aku harus terus waspada? Sampai kapan harus pura-pura tidak tahu siapa musuhku sebenarnya?
Angin sore berembus pelan, mengibaskan helaian rambutnya. Di kejauhan, langkah seseorang terdengar mendekat. Corvina tidak menoleh, tapi tahu betul siapa yang datang.
"Hormat kepada Yang Mulia Kaisar," ujar Cesie cepat, menunduk dalam saat rombongan Kaisar mendekat.
Apa lagi sekarang? batin Corvina, menahan helaan napas. Kalau dia datang sendiri, pasti karena Meriel mengadu lagi. Tidak mungkin Cassian repot-repot menemuiku tanpa alasan.
Corvina bangkit dari duduknya dan memberi hormat dengan anggun. “Hormat saya pada Yang Mulia Kaisar,” ucapnya datar. “Ada apa, Yang Mulia, sampai mencariku ke taman?”
Tatapannya tajam, tapi senyum tipis terukir di bibirnya. “Meriel mengadu lagi, ya? Tentang apa kali ini? Jangan bilang soal anggaran istananya yang aku pangkas.” Ia berkata santai, tapi nada suaranya mengandung sindiran halus yang jelas terdengar.
Cassian berhenti di depan Corvina, wajahnya seperti biasa, dingin dan tak terbaca. Di belakangnya, beberapa pengawal menjaga jarak, sementara suasana taman mendadak terasa lebih menekan.
“Corvina,” katanya pelan tapi tegas. “Apa benar kau memangkas seluruh anggaran istana selir tanpa persetujuanku?”
Corvina tersenyum tipis, matanya menatap lurus tanpa gentar. “Kalau aku menunggu persetujuanmu, mungkin kekaisaran ini sudah bangkrut duluan. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang masih memiliki akal sehat, Yang Mulia.”
Cassian menatapnya tajam. “Kau tahu Meriel sedang mengandung. Kau sadar betapa pentingnya itu bagi penerus kekaisaran?”
Corvina menatap lurus ke arahnya. “Kau datang hanya untuk itu? Bukan untuk menanyakan kabar ratumu?”
Cassian mendecak pelan. “Aku datang karena kau membuat masalah.”
“Aku membuat masalah?” Corvina tersenyum tipis. “Aku pikir yang membuat masalah itu saat seorang kaisar tak bisa menahan diri dari rengekan selirnya.”
Cassian menghela napas panjang, nadanya mulai melembut, tapi tetap mengandung tekanan. “Aku tidak ingin bertengkar, Corvina. Aku hanya meminta kau lebih bijak. Meriel bukan musuhmu.”
“Bukan musuhku?” Corvina menatapnya lama, senyumnya hilang. “Dia mungkin bukan musuh bagimu, tapi bagiku dia adalah belati yang kau biarkan menancap di punggungku.”
"Makin kesini kau makin pandai berkata-kata,"
Corvina menatapnya tanpa gentar. “Aku belajar dari yang terbaik,” ujarnya dingin. “Dari seseorang yang pandai menutupi kebohongan dengan nada lembut dan wajah penuh kasih.”
Cassian mendengus pelan. “Kau selalu menganggapku musuh, padahal aku hanya ingin menjaga ketertiban di istana.”
Corvina tertawa kecil namun getir. “Lucu sekali. Kau membiarkan seorang selir menjelekkan Ratumu di depan para pelayan, dan kau menyebut itu ketertiban?”
Cassian terdiam sejenak. Tatapannya menusuk, tapi Corvina tetap tegak, seolah tak peduli.
“Aku lelah dengan perang dingin seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kau terus menaruh dendam pada Meriel, kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri.”
“Tidak, Cassian,” jawab Corvina pelan namun tajam. “Aku hanya tidak ingin menjadi wanita bodoh yang terus tersenyum sambil ditikam perlahan.”
Cassian menatapnya lama, bibirnya terbuka tapi tak ada kata keluar. Angin sore berembus pelan di antara mereka, membawa keheningan yang lebih menyakitkan daripada pertengkaran mana pun.
“Kalau kau sudah selesai menasihatiku,” ucap Corvina kemudian, suaranya nyaris berbisik, “aku ingin sendiri.”
Cassian menatapnya tajam. “Kali ini kau mengusirku?”
“Aku hanya butuh ketenangan,” jawab Corvina tanpa menatap. “Kau tidak bisa memberiku itu, bukan?”
Cassian hendak membalas, tapi langkah lain terdengar dari arah belakang taman. Suara sepatu menjejak pelan di atas jalan batu, mantap, tidak tergesa.
Cassian menoleh. “Theon?” suaranya datar, tapi nadanya mengandung dingin yang jelas terdengar.
bertele2