(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kali Ini, Aku Tak Akan Lari
Aku tidak menyangka pesan yang kukirim langsung bercentang biru. Putriku ternyata belum tidur, entah sedang mengerjakan tugas atau hanya menonton drama. Ikon mengetik muncul di layar saat dia mulai membalas pesanku barusan.
[Kenapa?]
Pertanyaan singkat itu membuat dadaku kembali sesak. Tidak, Meira tidak salah. Hanya saja menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dimana aku harus memberitahukan kelakuan busuk yang suamiku lakukan, jelas bukan hal yang mudah. Karena menjelaskan semua itu tentu akan membuatku teringat kembali dengan apa-apa saja yang mereka lakukan di belakangku.
[Ayah benar-benar selingkuh, Mei.]
Aku menceritakan apa saja yang sebenarnya terjadi di rumah kami. Tentang alasan dibalik chat anonim yang Hana terima, hasil penyelidikan Joko, juga chat yang wanita sundal itu kirimkan padaku barusan.
Meira menyimak ceritaku tanpa menyela. Karena memang sejak aku meminta sarannya saat itu, aku belum memberitahukan apapun lagi padanya. Aku hanya tidak ingin membebani putriku dengan masalah kami, juga ingin menutupi aib rumah tangga yang memalukan ini.
Tapi, malam ini... tiba-tiba aku merasa sendiri. Tidak ada yang bisa mendengar keluh kesahku. Bahkan, suamiku pun mungkin sedang tidur dalam pelukan wanita lain. Jadi, hanya Meira-lah tempatku bersandar dan bercerita.
[Mei enggak melarang Bunda kemari. Mei bahkan akan senang kalau Bunda datang menemui Mei dan liburan beberapa hari disini. Tapi, Bun, kalau alasan Bunda datang kemari adalah untuk kabur dari masalah, Mei rasa itu bukan pilihan yang tepat.]
Dadaku mencelos membaca jawaban darinya. Aku... ternyata kelihatan seperti ingin kabur dari masalah, ya?
Tapi, siapa yang tahan jika terus-terusan berada dalam situasi seperti ini? Tentu pergi terasa lebih baik, kan?
[Tapi, Mei. Bunda rasanya enggak pingin berada di rumah dan mendengar atau melihat hal-hal yang menyakitkan ini terus.]
Aku menunggu jawaban dari Meira sambil meremas-remas ponsel. Jari-jariku sampai memutih. Agak lama, memang. Tapi akhirnya dia membalas.
[Bunda, Aldo dan Gita enggak sama seperti Mei. Kalau Bunda pergi dari rumah, percaya deh mereka pasti enggak akan sekolah. Kalau Bunda pergi lama, makin lama juga mereka enggak sekolah. Karena itu Mei bilang, kalau alasan Bunda datang kemari untuk kabur, itu enggak bisa jadi solusi. Karena toh dengan Bunda kabur, masalah itu enggak akan selesai.]
Aku membaca tiap kata yang putriku katakan. Benar juga. Kalau aku pergi, sekolahnya anak-anak bisa bangkrut. Karena Aldo dan Gita bukan anak yang rajin sekolah. Jika bukan karena aku yang tiap pagi meneriaki mereka untuk bangun dan pergi ke sekolah, mereka mungkin lebih memilih bolos dan tidur-tiduran saja di kamar.
Belum lagi kalau mereka tahu alasan aku pergi. Mungkin mereka akan semakin kehilangan semangat. Karena seperti yang pernah kubilang, Aldo dan Gita sangat dekat dengan Ayah mereka.
Ya Allah, jadi aku harus bagaimana?
Apa aku benar-benar harus menyerah akan masalah ini? Membiarkan Mas Hendra bahagia dengan pilihannya? Menerima untuk dimadu?
Enggak, enggak bisa. Aku enggak mau itu.
Tapi anak-anak? Bagaimana dengan Aldo dan Gita?
Ya Allah, tolong tunjukkan jalan mana yang terbaik bagi hamba.
Aku kembali mengetik layar ponselku. Rasanya miris sekali nasibku ini. Diselingkuhi, dibohongi, dan kini... hampir dipoligami. Kombo yang sangat cukup untuk membuat orang gant*ng diri. Naudzubillah min dzalik..
[Terus Bunda harus bagaimana, Mei?]
Aku bertanya lagi padanya, berharap menemukan solusi atas masalah yang aku hadapi.
[Intinya, sih, Bunda harus menenangkan diri. Dinginkan kepala Bunda supaya bisa berpikiran jernih. Lalu, pelan-pelan putuskan rencana apa yang mau Bunda ambil. Mei enggak bisa serta merta meminta Bunda untuk bercerai, karena bagaimanapun itu rumah tangga Bunda. Percuma saja Meira menyuruh Bunda melakukan ini dan itu kalau sebenarnya di hati dan pikiran Bunda sudah ada keputusan lain. Walau, sebagai anak, jelas Meira kesal sekali pada suami Bunda. Jadi... begitulah. Jangan pernah kabur dari masalah, Bunda.]
Aku tertegun saat membaca pesan putriku. Jangan pernah kabur dari masalah. Dia benar, tapi praktiknya ini yang sulit. Karena disaat seperti ini rasanya aku hanya ingin lari. Sama seperti dulu.
Dulu karena pernikahanku dengan Ayahnya Meira tak direstui, banyak sekali masalah yang menghampiri selama masa pernikahan kami. Awal-awal aku masih berusaha tahan. Tapi setelah berjalannya waktu dan masih saja tetap begitu?
Aku pun memutuskan untuk bercerai. Karena aku ingin kabur dan terbebas dari masalah yang terus menyakitiku itu.
Tapi aku tak ingin melakukan hal yang sama hanya karena terbawa emosi. Karena aku sudah tahu bagaimana rasanya, sudah mendapatkan pelajaran dari kejadian sebelumnya.
Kami mungkin bercerai, itu mungkin saja, terutama jika kelakuan Mas Hendra terus begini. Tapi aku tak ingin kami bercerai hanya karena aku yang terburu-buru membuat keputusan. Seperti dulu. Aku tidak mau.
Jadi, aku memutuskan untuk mengikuti kata-kata Meira. Aku akan menenangkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya mengambil keputusan.
***
Mas Hendra yang sebelumnya pulang hanya untuk pergi, kali ini malah tidak lagi pulang selama berhari-hari. Aku yang sudah tahu dengan apa yang sedang dia lakukan tak lagi mencari, kubiarkan saja dia datang atau menghubungiku sendiri kalau dia memang mau. Tak mungkin dia tiba-tiba lupa alamat rumah atau nomor teleponku hanya karena punya wanita lain, kan?
Hari-hari berlalu. Rumah terasa semakin sepi. Gelas favoritnya masih di dapur, baju-bajunya tertata rapi di dalam lemari. Semua barangnya masih ada di rumah ini, tapi... bayangannya justru sudah tak ada lagi di sini. Mas Hendra tidak menghubungiku sama sekali. Ya, sudahlah. Aku pun tak ingin menghubunginya lebih dahulu karena takut akan sakit hati lagi.
Tapi syukurlah, kali ini aku tidak lagi menangis seperti dulu.
Mungkin ini yang orang bilang tentang fase seorang istri yang diselingkuhi. Awalnya menyangkal, lalu menangis dan menyalahkan diri, dan akhirnya… berdamai dengan kenyataan.
Dan mungkin aku sudah tiba di fase itu.
Wanita sundal itu masih terus-menerus mengirim pesan, meminta restu agar bisa menikah siri dengan suamiku. Foto-foto serta video mesra pun tak lupa dia kirimkan. Aku menghela napas panjang. Tampaknya dia sudah gatal, ingin segera dikenali sebagai Istrinya Mas Hendra. Namun aku membiarkan setiap pesan yang dia kirim, malas meladeni kegilaannya.
[Mei, kalau bunda memutuskan untuk bercerai, menurutmu bagaimana?]
Pesan itu terkirim dengan lancar. Sembari menunggu jawaban dari Meira, aku menghitung hari. Sudah berapa lama, ya, sejak aku mengetahui perselingkuhan suamiku? Dan sudah berapa lama pula suamiku tak pulang?
Ah, ternyata kesabaranku memang hanya sebatas ini.
Pesan dari Meira segera masuk ke ponselku. Aku membuka pesan itu dan membacanya.
[Terserah Bunda saja.]
Aku tersenyum kecil. Benar, semuanya memang tergantung keputusanku. Dan Insyaa Allah, kali ini aku memilih mundur.
***
Kadang orang yang paling kita percaya, justru yang paling tega nyakitin kita.
Kalau kalian jadi Inara, bakal masih bisa maafin Mas Hendra gak?
Atau justru lebih milih pergi diam-diam tanpa penjelasan?
Ceritain di kolom komentar ya, siapa tahu kisah kalian mirip sama Inara 🔥
Semangat berkarya ya Thor