Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Malam semakin larut. Lampu-lampu di sepanjang gang mulai dimatikan satu per satu, menyisakan cahaya bulan yang redup di antara celah genteng. Amel dan Ara pulang dengan langkah cepat, sesekali menoleh ke belakang seolah takut ada yang mengikuti.
Begitu tiba di kontrakan, Amel langsung menutup pintu rapat dan mengunci tiga kali. Suara gembok yang beradu terdengar nyaring di antara keheningan malam.
Ara duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar saat membuka tas kecil berisi amplop kosong yang tak jadi diserahkan pada Nur.
“Mel…” suaranya lirih, “kalau Nur sampai ketahuan, kita bisa ikut diseret, kan?”
Amel menatap sahabatnya itu dengan mata letih. “Makanya kita jangan banyak bicara dulu. Aku tahu ini berat, tapi kita udah mulai, Ra. Dan sekarang nggak bisa mundur.” Ia menyalakan kompor kecil, merebus air untuk dua cangkir teh hangat, mencoba menenangkan suasana.
Ara menatap cairan mendidih itu, matanya sayu. “Aku cuma takut semua ini berbalik ke Naira. Dia nggak salah apa-apa. Tapi kalau Ika benar-benar manipulasi akta, berarti dari awal hidup anak itu udah penuh kebohongan.”
“Justru karena itu kita harus tahu semuanya,” jawab Amel pelan. “Biar kamu bisa menentukan langkah mau terus sembunyi di balik kebingungan, atau buka semuanya biar kamu, Naira, dan bahkan Om Dirga tahu siapa yang sebenarnya mereka tipu.”
Ara diam. Hening menggantung beberapa detik, hanya suara air mendidih yang terdengar. Ia menatap jendela yang sedikit terbuka, lalu berkata lirih, “Kamu tahu, Mel… setiap kali aku lihat Naira, aku selalu ngerasa aneh. Kayak... dia bagian dari aku, tapi di waktu yang sama dia juga pengingat kenapa papa dan mama berpisah.”
Amel berhenti menuang teh. “Kamu sayang Naira?” tanyanya hati-hati.
Ara terdiam lama, lalu mengangguk pelan. “Iya. Gimana pun juga, dia nggak salah. Tapi setiap kali aku ingat kalau gara-gara dia semua berantakan... rasanya kayak aku terjebak di antara benci dan kasih sayang.”
Amel menatapnya lekat, senyumnya tipis tapi hangat. “Mungkin itu artinya kamu manusia, Ra. Yang masih bisa ngerasain dua hal sekaligus marah dan cinta. Dan justru karena itu, kamu yang paling berhak nyari kebenaran ini.”
Ara menarik napas dalam, mencoba menelan emosinya. “Dua hari lagi, ya. Dua hari lagi kita bakal tahu semuanya.”
“Dan setelah itu?” tanya Amel perlahan.
“Setelah itu,” jawab Ara sambil menatap keluar jendela, “aku akan ke rumah sakit. Aku mau jenguk Naira... dan lihat sendiri, apakah aku sanggup memaafkan semuanya.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Dua hari berlalu dalam diam yang mencekam.
Ara hampir tidak tidur semalaman. Setiap kali ponselnya bergetar, ia refleks menatap layar, berharap pesan itu datang dari Nur. Tapi sampai pagi menjelang, tak ada kabar.
Baru menjelang sore, ketika langit mulai berwarna jingga pucat, notifikasi itu akhirnya muncul:
Pesan dari. Nur yang muncul di layar handphone membuat jantung Ara semakin deg-degan tak menentu.
“Cek email ini. Jangan dibuka pakai jaringan rumah. Hapus setelah lihat.”
Jantung Ara berdegup kencang. Ia segera menunjukkan pesan itu ke Amel, yang langsung sigap menyalakan laptopnya dan menyambungkan ke jaringan hotspot dari ponsel lain bukan milik mereka berdua, tapi ponsel lama yang sengaja dipinjam Amel dari temannya agar tidak terlacak.
“Siap?” tanya Amel dengan nada serius.
Ara mengangguk. “Buka aja.”
Amel membuka email itu perlahan. Di dalamnya hanya ada satu file, diberi nama Data-Entry_NRA_2015.pdf. Tidak ada pesan lain, kecuali satu baris kecil di bawahnya:
“Kalau kalian baca ini, berarti aku berhasil. Hati-hati, file ini bisa menghancurkan orang yang salah.”
Klik. File itu terbuka. Dan di sana, di layar laptop Amel yang bergetar halus karena tangan Ara yang gemetar, terlihat dua kolom data dengan nomor registrasi sama persis tapi nama orang tua dan tanggal inputnya berbeda.
Entri pertama:
Tanggal input: 12 Juni 2015
Nama Anak: Naira Putri Ridwan
Ibu: Sita Handayani
Ayah: Ridwan Alamsyah
Petugas: Rina Mulyasari
Entri kedua:
Tanggal input: 25 Juni 2015
Nama Anak: Naira Putri Dirgantara
Ibu: Ika Ramadhani
Ayah: Dirgantara Saputra
Petugas: Rina Mulyasari (pensiun 2014)
Ara menatap layar itu lama, matanya berkaca-kaca. “Petugasnya sama... tapi dia udah pensiun setahun sebelumnya. Mustahil dia input data tahun 2015. Jadi yang masukin data kedua ini pasti orang dalam yang pakai akunnya,” gumamnya hampir tanpa suara.
"Berarti ada akun lain yang menggunakan nama Ibu Rina itu," sahut Amel.
Ara mengangguk, kemudian Amel mengetik cepat, memperbesar bagian bawah layar, dan menemukan catatan sistem kecil di pojok bawah.
“Modified by: Nurhayati Admin System (override user credential).”
Amel menahan napas. “Lihat ini, Ra. Nur pakai override akses untuk bisa buka datanya. Ini berarti dia benar-benar ngerisik banget. Dia ngambil risiko besar.”
Ara menatap sahabatnya itu, lalu kembali pada layar. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Mel... jadi benar. Ika beneran tukar bayi itu. Dia palsuin semua ini cuma karena pengen punya anak laki-laki buat Papa. Tapi yang lebih jahat, dia buat seolah-olah Naira bukan siapa-siapa.”
Amel menghapus air matanya dengan cepat. “Ra, tenang dulu. Ini baru bukti digital. Kita masih butuh bukti fisik salinan asli akta pertama, atau catatan kelahiran dari rumah sakit.”
Ara menggigit bibirnya kuat-kuat. “Aku tahu... tapi ini udah cukup buat langkah pertama. Sekarang aku paham kenapa Nur bilang, kebenaran itu mahal. Karena rasanya sakit banget.”
Ia memandangi foto Naira yang tersimpan di ponselnya anak kecil dengan senyum lembut dan mata bulat penuh cahaya.
“Anak itu nggak tahu apa-apa. Tapi dia hidup dengan nama yang bukan miliknya,” ucapnya dengan suara bergetar.
Amel mendekat, menggenggam tangan Ara. “Dan justru karena itu, kita yang harus lindungi dia. Kita simpan data ini baik-baik. Besok, kita ke rumah sakit. Minta tolong Om Rafli untuk bantu akses rekam kelahiran. Itu satu-satunya cara buat menguatkan bukti ini.”
Ara mengangguk pelan. “Iya. Besok aku akan hadapi semuanya. Kalau perlu, aku temui Ika sendiri.”
Amel menatapnya cemas. “Kau yakin?”
“Yakin,” jawab Ara tegas, suaranya mulai mantap. “Aku tidak akan diam lagi. Karena kali ini, aku berjuang bukan buat dendam... tapi buat Naira.”
Kemudian Amel menatap sahabatnya itu dan berkata dengan penuh hati-hati. "Bukan hanya Naira saja, tapi Arkan ...," ucap Amel pelan.
Ara menatap sinis sahabatnya itu. "Sampai kapanpun aku tidak akan ijinkan dia menyentuh Arkan," sahut Ara dengan nada yang penuh dengan luka.
Bersambung ....
Semoga suka ya Kakak ....