“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 ~ Apa aku sanggup?
Perut Meutia terasa nyeri, kram dan keras, dia mengusap punggung dan kantong rahimnya. Hal biasa dilakukan kala merasa tak nyaman, kali ini tidak lagi berefek, malah berdampak semakin terasa mulas.
Hsssst!
Bibir penuh itu mendesis, kepalanya terasa berdenyut, dan rasa sakit tak lagi bisa disembunyikan seperti hari-hari telah berlalu. “Nyak, tolong!” Tangannya tidak sengaja menyenggol gelas dan terjatuh ke bagian lebih rendah.
Pyaar!
Suara gelas pecah membentur lantai mengejutkan semua orang.
"Meutia!” Nyak Zainab tergopoh-gopoh, baru saja kembali dari toilet bersama Wahyuni. Mereka duduk satu meja dengan si bungsu.
“Dek!” Sang kakak ipar memundurkan kursi hingga bangkunya terjatuh, berlari sampai pinggangnya terantuk meja makan. Nur Amala duduk tepat di belakang Meutia yang memilih lesehan.
“Sakit, Kak. Rasanya sakit sangat!” Tangan kakak iparnya diremat kuat.
Agam Siddiq datang dengan langkah lebarnya, dan langsung membopong tubuh sang adik. Hatinya ikutan sakit saat merasakan bobot Meutia lebih ringan dari pada saat masih ada Ikram, padahal dia tengah mengandung.
Intan tanpa mengenakan sepatunya, berlari mengikuti paman yang menggendong ibunya. Dia diam, tidak ingin menambah khawatir lainnya.
Sabiya digendong oleh Hasan, gadis kecil itu belum sempat makan nasi masih mencicipi jus Mangga.
Dalam sekejap saja suasana hangat sirna tergantikan oleh kecemasan dan ketegangan. Nirma, Dhien, serta suami mereka mengurus para anak kecil, menenangkan disaat Zeeshan dan lainnya menangis memanggil Meutia.
Di dalam mobil Meutia terus merintih disela-sela beristighfar. Keringat dingin sudah memenuhi pelipis sampai sisi hijabnya basah.
"Tahan sekejap ya, Tia. Dikit lagi kita sampai!” Agam berusaha menyalurkan rasa tenang kendatipun perasaannya sendiri tidak karuan.
Mobil pun telah sampai di depan teras rumah sakit. Wahyuni berlari memanggil perawat.
Si sulung membuka pintu samping, dengan dibantu istrinya – dia membopong adiknya.
Mobil lain pun tiba. Intan turun dan langsung berlari sembari mengusap air matanya.
“Bunda, Mamak kenapa?” tanyanya lirih, nada suaranya terdengar bergetar. Dia ketakutan, rasanya baru sebentar menikmati momen indah bersama ibunya, kini sudah menghadapi kondisi tidak pasti
“Bunda kurang paham, Nak. Kita tunggu saja di sini, ya?” Tangan Intan ditarik lembut, lalu mereka duduk di bangku ruang tunggu.
Nyak Zainab dan Wahyuni berdiri, berjalan ke kanan dan kiri demi mengalihkan rasa cemas.
Bugh!
“Sabiya!”
“Adik!”
Gadis kecil yang masih mengenakan baju adat, meringis sakit saat lututnya menghantam lantai. Dia kesulitan melangkah dikarenakan mengenakan rok span, kakinya menginjak ujung kain dan dirinya kehilangan keseimbangan.
Sabiya cepat-cepat berdiri, menepuk kedua tangannya, menyuguhkan senyum seolah mengatakan tidak apa-apa, tidak selaras dengan langkahnya yang tertatih.
“Biya baik-baik saja, Kak. Tak usah khawatir, Sabiya kan anak yang kuat,” ucapnya disertai ringisan.
Nur Amala berjongkok, meminta Sabiya duduk di kursi, dinaikkannya ujung rok. Kedua lutut keponakannya memerah. “Sakit, Nak?”
“Tak seberapa bila dibandingkan melihat Mamak kesakitan dengan wajah berlinang air mata,” jawabnya dengan tatapan mata kosong.
Intan langsung merangkul bahu sang adik, memeluk dari samping. “Kita berdoa ya, semoga Mamak dan adik bayi baik-baik saja.”
Tangan Sabiya langsung menengadah. “Ya Allah Maha Pengasih lagi Maha penyayang, boleh ya Sabiya memohon sedikit bantuan – tolong angkat rasa sakit yang dirasakan Mamak. Biya ingin sekali melihat Mamak seperti dulu … tertawa, tersenyum, berteriak bila Sabiya dan kak Intan buat ulah bikin naik darah. Bukan seperti sekarang, cuma diam tidak berniat menegur. Padahal Biya sudah menambah kadar nakalnya supaya Mamak perhatian lagi.”
Sang tante tak kuasa menahan laju air mata, dia berlutut – memeluk sayang tubuh ringkih gadis yang memang aslinya pendiam, ditambah dipaksa dewasa sebelum waktunya. Sabiya benar-benar kehilangan binar semangat. Bersikap layaknya orang dewasa.
Pintu ruangan UGD di buka, Agam Siddiq yang diperbolehkan menemani sang adik keluar. Bahu tegaknya sedikit membungkuk, wajahnya lesu dengan tatapan seperti seseorang kalah sebelum berperang.
“Bang, apa kata dokter?” tanyanya dengan suara terdengar tidak berdaya.
Wahyuni bertanya seraya menggenggam tangan ibunya.
Helaan napas itu terdengar panjang nan berat. Sebelum menjawab, ia pandangi terlebih dahulu kedua keponakannya yang saling menggenggam tangan di atas paha. Duduk sedikit jauh dari ruangan UGD.
“Dia mengalami tanda-tanda awal kelahiran prematur. Rasa sakit tadi akibat kontraksi dini – dokter menyarankan Meutia untuk bedrest di rumah sakit sambil memantau kondisinya dan anaknya.”
“Ya Allah.” Wahyuni menggigit bibir agar tidak histeris.
Hasan memejamkan mata ikut merana akan nasib adik iparnya.
Nyak Zainab sudah tidak mampu lagi berkata-kata, cuma cucuran air mata menjadi saksi betapa hancurnya hatinya melihat Meutia terus diuji.
Nur Amala yang sayup-sayup mendengar penjelasan suaminya, berusaha tegar agar Intan dan Sabiya tidak bertambah khawatir.
Beberapa menit kemudian, Meutia di bawah ke ruang perawatan nomor satu.
Dokter Ismi datang menjalankan perannya sebagai seorang psikiater. Masuk ke dalam kamar inap Meutia.
Sementara anggota keluarga Meutia menunggu di luar.
.
.
“Lelah ya berusaha baik-baik saja padahal hati sekarat. Ingin bercerita takut dianggap mengeluh dan enggan menambah beban. Disimpan dalam hati malah jadi duri dalam daging, benar tidak, Meutia?” wanita anggun mengenakan kemeja casual tersenyum bersahabat.
Bibir Meutia tertarik sedikit saja, menyuguhkan senyum seperti terpaksa.
“Meutia, tak apa menangis bila hal itu sedikit membuatmu merasa lebih baik, bebanmu berkurang. Pun tak ada salahnya mencurahkan isi hati, agar perasaan yang menggelayuti tidak terasa begitu berat.”
Meutia masih diam, tapi buliran air matanya berguguran. Jari-jarinya memainkan cincin kawin yang selepas dipasangkan sang suami sewaktu setelah akad, tidak pernah dilepaskan. Pun, saat dia hamil … cincin polos itu tetap muat di jari manisnya.
“Bu … dia lebih sering lagi datang ke dalam mimpiku. Hadirnya tidak lagi cuma menatap sendu, kali ini disertai senyum teduh. Aku merasakan hal aneh, tapi sukar mengungkapkannya. Suamiku itu ….”
“Seolah memberi pertanda kalau dia memang masih ada didunia yang sama denganmu, benar?”
Meutia mengangguk pelan. Keningnya mengernyit kala mengingat kembali mimpi terasa nyata. Suaminya datang, memakai pakaian yang terakhir kali dikenakannya.
“Jarak kami tak lagi sejauh sewaktu pertama kali dia hadir dalam mimpi. Pun, langkahnya pasti tertuju padaku yang cuma mampu berdiri terpaku seraya menangis dalam diam. Apa itu bisa dibilang sebagai pertanda, atau hasil dari keinginan menggebu-gebu berharap dirinya masih hidup, terbawa sampai mimpi?”
“Meutia, terkadang banyak hal yang terjadi diluar logika dan ilmu medis, hal tersebut dinamakan keajaiban. Mustahil menjadi nyata, harapan sebatas angan terwujud tanpa di duga-duga. Namun … sebagai manusia memiliki pondasi agama dan berakal sehat, ada baiknya belajar apa itu namanya ikhlas …." sebelum melanjutkan, ia mendekati pasiennya.
"Boleh berharap tapi tahu batasan. Lakukanlah apa yang kau bisa, mengusahakan semampunya, bila hasilnya tidak sesuai keinginan, jauh dari harapan – biarkan Tuhan yang mengurus sisanya. Bisa jadi doa mu bukan tidak dikabulkan, tapi ditunda sampai waktu tepat itu tiba." Ditepuk-tepuknya lembut lengan atas Meutia.
"Terkadang bila kita sudah ditahap menerima, ikhlas, sepenuhnya berserah diri kepada Allah, hal-hal yang tadinya teras berat menjadi ringan, beban terangkat, semangat kembali berkobar."
"Apa aku sanggup melepaskannya? Rasanya sangat berat, Bu."
"Tak ada yang memintamu melepaskan, tapi ...."
.
.
Bersambung.