Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.
Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.
Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.
Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Salah paham
“Vin... tolong aku...” pinta Nayara dengan suara tersendat, terus berusaha melepaskan diri dari pelukan pria yang semakin mengeras. Namun, Satya justru makin beringas, berusaha mencium Nayara dengan paksa.
Kekuatan Nayara dan Vina jelas tak sebanding melawan pria berotot itu. Meski keduanya sudah berusaha keras, mereka tetap kalah tenaga. Sementara itu, Selvi dan yang lainnya tampak asyik menari mengikuti alunan musik DJ yang semakin keras. Suara tawa dan musik yang riuh seolah menutupi umpatan Vina dan isak tangis Nayara, hingga akhirnya...
Bruakk...
Pintu ruangan itu terbuka lebar dengan paksa. Dua pria segera masuk dan tanpa basa-basi langsung menarik tubuh Satya hingga pria itu terjungkal ke lantai dengan keras. Nayara yang melihat kejadian itu langsung bangkit, tubuhnya gemetar, lalu memeluk Vina yang juga tak kuasa menahan air mata.
Pria-pria itu adalah Zevian dan Aditya. Zevian tampak luar biasa marah—ia terus memukul Satya tanpa ampun, hingga pria itu babak belur dan akhirnya terkulai lemas, tak berdaya. Aditya yang sedari tadi diam hanya menonton, akhirnya menarik lengan Zevian dengan tegas.
“Cukup, Ze! Bawa Nayara dari sini,” perintah Aditya dengan suara tegas, memegang pundak Zevian yang masih menegang penuh emosi. Ia berdiri tegak dan menendang tubuh Satya sekali lagi, memastikan pria itu tak bisa bangkit.
Zevian menatap tajam Nayara yang masih terisak dalam pelukan Vina. Tanpa ragu, ia menarik tangan Nayara dengan kasar, tidak peduli betapa Nayara masih menangis tersedu-sedu.
“Apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini, hah?” bentak Zevian, suaranya penuh amarah. “Katamu ada jadwal kuliah, tapi malah main ke tempat seperti ini. Mau jadi apa kamu, sebenarnya?” lanjut nya dan tanpa sadar, Zevian mencengkram dagu Nayara dengan kuat, membuatnya meringis menahan sakit dan ketakutan.
"Sa...kit ... Zevian," lirih Nayara, dengan air mata yang sudah tak bisa dia tahan lagi.
“Zevian... bawa Nayara pergi! Aku yang akan urus sisanya,” ujar Aditya cepat, mencoba menenangkan suasana. Tanpa banyak kata, Zevian menarik Nayara keluar dari ruangan itu, meninggalkan Aditya dan Vina yang masih terpaku di sana.
Dia menyeret tangan Nayara dengan kasar, setengah memaksanya berjalan. Sampai di mobilnya, ia memerintahkan Nayara masuk ke dalam. Dengan cepat, mobil itu melaju meninggalkan tempat tersebut dengan kecepatan tinggi.
Emosi Zevian meluap tanpa kendali, hatinya remuk saat tahu Nayara belum kembali ke rumah meskipun malam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Segera ia menghubungi Aditya dan Giant, memintanya untuk melacak nomor Nayara. Dari hasil pelacakan, Nayara berada di sebuah tempat yang terasa asing bagi Zevian. Tanpa menunggu lama, ia langsung bergegas ke lokasi itu bersama Aditya.
Namun, kemarahan Zevian kian membara saat matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya sesak: calon istri yang dicintainya itu, Nayara, tengah dicumbui oleh pria lain.
Mobil itu terus melaju dengan kecepatan stabil hingga akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan megah yang sangat dikenali Nayara. Sebuah klub malam yang mewah dan berkelas. Jantung Nayara berdebar kencang. Ia bingung dan semakin gelisah, bertanya-tanya dalam hati mengapa Zevian justru membawanya ke tempat seperti ini.
Ketakutan yang masih menghantui akibat perlakuan pria bernama Satya tadi belum sepenuhnya hilang. Namun kini, rasa takut itu bercampur dengan kekhawatiran melihat amarah Zevian yang begitu membara. Belum sempat Nayara mengajukan pertanyaan, Zevian sudah menarik tangannya dengan kasar dan menariknya masuk ke dalam klub malam itu—tempat yang selama ini belum pernah Nayara jejaki.
Meskipun lahir dari keluarga kaya raya, Nayara memang tidak pernah terlibat dalam lingkaran pergaulan seperti ini. Dunia gemerlap dengan lampu warna-warni, musik keras, dan aroma alkohol yang pekat terasa asing dan menakutkan baginya.
Zevian terus menarik tangan Nayara hingga sampai di sebuah pojok ruangan. Ia mendorong tubuh Nayara dengan keras hingga wanita itu terjatuh duduk di sebuah kursi empuk yang agak tersembunyi. Nayara menahan sakit, bibirnya mengerucut, rintihan kecil terdengar keluar.
“Maaf...” suara Nayara terdengar gemetar, ketakutan yang dalam terpancar dari matanya. Selama mengenal Zevian, ia tak pernah melihat pria itu marah sebesar ini. Namun, Zevian sama sekali tidak menggubris permintaan maaf itu. Ia berbalik dan meninggalkan Nayara yang terdiam, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa.
Tak lama kemudian, Zevian kembali dengan membawa beberapa botol alkohol. Dengan kasar, ia meletakkan botol-botol itu di depan Nayara.
“Minum!” perintah Zevian dengan suara tajam, tatapannya menusuk seperti seorang ayah yang hendak menghukum putrinya yang nakal.
“Aku tidak minum,” jawab Nayara pelan sambil menggelengkan kepala. Suaranya sudah bergetar, menahan ketakutan yang merayapi seluruh tubuhnya. Namun Zevian tidak mendengar perkataannya. Dengan mudah ia membuka salah satu botol alkohol itu dan menyodorkannya ke arah Nayara.
“Minum!” ulang Zevian dengan nada lebih keras.
Ketakutan Nayara semakin menjadi-jadi. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Dalam kepanikan itu, ia dengan cepat meraih tangan Zevian dan memegangnya erat, seolah memohon pria itu untuk berhenti dan tak memaksanya melakukan sesuatu yang sangat ia takuti.
Zevian menatap Nayara dengan mata yang membara penuh amarah. Tangannya masih menggenggam botol alkohol yang disodorkannya dengan kasar. Suaranya tiba-tiba meninggi, membentak tajam.
"Cepat minum!" bentak Zevian, nadanya tegas dan tanpa kompromi.
"Tidak, aku tidak mau." Nayara menunduk, suaranya bergetar saat menolak. Zevian melangkah maju, sorot matanya semakin tajam.
"Tidak mau? Kamu datang ke tempat seperti ini untuk apa, huh? Sekarang minum! Aku akan menemanimu. Bukan kah itu yang kamu mau? Ayo sekarang tujukan padaku, sekuat apa kamu bisa minum!" Ujar nya yang membuat ketakutan Nayara makin menjadi. Dia menggeleng dengan keras, air mata mulai menggenang di sudut matanya.
"Tidak... aku tidak minum," ujarnya dengan suara hampir putus asa Zevian mendekat, suaranya berubah menjadi lebih dingin dan menuntut.
"Cepat! Kamu memang ingin melakukan ini, kan? Itu sebabnya kamu pergi ke tempat seperti itu." Balas nya yang membuat Nayara menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang sudah hampir pecah.
"Tidak! Aku tidak berniat pergi ke sana," jawabnya, tapi Zevian sudah tak peduli. Amarahnya sudah memuncak. Satu hal yang dia inginkan sekarang adalah memberi pelajaran pada kekasihnya itu.
Tangannya mengepal erat, dadanya naik turun, dan ia hampir tak mampu menahan emosi yang bergolak. Nayara mulai terisak, suara tangisnya pecah pelan di antara kata-katanya yang tersendat. Matanya membelalak, menatap tajam ke arah Zevian yang semakin mendekat dengan sikap mengintimidasi.
"Tolong... Zevian, jangan paksa aku... Aku... Takut..." suara Nayara bergetar hebat, air matanya mulai mengalir deras membasahi pipi. Dia menggenggam lengan Zevian dengan sekuat tenaga, mencoba menahan botol yang masih disodorkan itu. Jantungnya berdegup kencang, seluruh tubuhnya bergetar takut.
"Aku... aku tidak pernah minum alkohol... tolong mengerti..." Nayara memohon sambil menunduk, berharap Zevian bisa mendengar dan memahami ketakutannya.
Namun Zevian hanya menatap dingin, tanpa mengendurkan genggaman dan tekanan emosinya. Nayara semakin merasa terpojok, hampir menyerah dalam kepanikan dan air mata yang terus mengalir.
"Maaf... Aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku... aku... diajak ke sana oleh Vina. Kami tidak tahu kalau acaranya akan seperti ini. Maaf... aku takut..." ujar Nayara dengan suara gemetar, matanya menatap penuh ketakutan.
Zevian yang sudah dalam puncak amarah menghempaskan botol yang dipegangnya ke lantai. Botol itu pecah berkeping-keping, berserakan di atas keramik. Beberapa orang di sekitar sempat melirik ke arah mereka, namun setelah itu mereka kembali acuh dan melanjutkan aktivitas masing-masing.
"Tadi pagi kamu bilang apa? Pergi ke kampus... Mengurus jadwal... Ini jadwal yang kamu maksud?!" tanya Zevian dengan tatapan tajam, berusaha mengambil kendali penuh atas situasi.
"Maaf... sungguh aku tidak tahu. Aku tidak minum, tidak pernah... Aku juga tidak tahu akan ada pria di pesta itu... maaf..." Nayara mulai merosot ke bawah, tubuhnya bergetar saat dia memeluk kaki calon suaminya. Tangisannya terdengar lirih, seperti ratapan hati yang tersakiti.
"Memang semua wanita tidak bisa dipercaya..." ucap Zevian dingin sembari menarik paksa Nayara berdiri. Dia menyeret Nayara keluar dari klub itu. Sebelum pergi, Zevian melemparkan kartu namanya ke arah kasir tanpa peduli ada yang melihat atau tidak, lalu melangkah keluar dengan langkah tegap, tanpa ada yang berani menghalangi.
Mobil Zevian melaju meninggalkan klub tersebut dengan kecepatan sedang. Setelah beberapa lama, mobil itu berhenti di depan apartemennya. Zevian kembali menyeret Nayara agar mengikutinya. Nayara tampak seperti boneka yang sudah pasrah, dibawa kemana saja tanpa suara protes. Trauma akibat kejadian di rumah Selvi masih menghantuinya, sementara kini dia harus menghadapi kemarahan Zevian yang tak kunjung reda.
Tingk...
Lift terbuka dan Zevian langsung menarik tangan Nayara masuk ke dalamnya tanpa memberi ruang untuk menolak.
"Aku... harus pulang," suara Nayara nyaris tak terdengar, penuh putus asa. Namun Zevian tak menghiraukannya, ia terus menarik Nayara mengikuti langkahnya yang besar dan tegap.
Mereka sampai di unit penthouse Zevian. Tanpa menunggu, Zevian menyeret Nayara masuk ke kamar utama, lalu tanpa aba-aba, ia melangkah menuju kamar mandi sambil menarik tubuh Nayara yang kini benar-benar tak berdaya.
"Kau tahu... aku tidak suka apapun yang milikku disentuh oleh orang lain. Dan pria itu... dia yang tadi menciumimu," bentak Zevian, suaranya menggema keras di kamar mandi yang luas dan dingin itu.
"Aku tidak tahu acaranya akan seperti itu. Aku hanya menemani Vina... dia... dia juga tidak tahu jika temannya akan mengadakan acara seperti ini," jawab Nayara dengan suara yang sudah parau, akibat terlalu banyak menangis. Matanya merah, bibirnya bergetar menahan sedih dan takut.
"Kamu tahu aku panik saat teleponku tidak kamu jawab? Kamu tahu... aku benar-benar panik karena kamu tak memberi kabar. Aku tahu, aku tahu... kamu tidak mencintaiku. Aku paham! Tapi kita sudah berjanji, Nayara. Berjanji akan baik-baik saja, aku bahkan belum mengenalmu lebih dalam. Tapi sekarang? Apa ini? Kau membohongiku?!" Zevian meluapkan amarahnya dengan suara tinggi, ada campuran kecewa, marah, dan sedih yang mendalam. Sejenak, bayangan masa lalu menghantamnya—bagaimana dulu ia pernah dibutakan oleh cinta pada wanita yang salah.
Nayara menangis tersedu-sedu di hadapan pria itu. Hatinya remuk, sedih melihat dirinya sendiri dan juga melihat Zevian yang penuh emosi. Dia bingung harus berkata apa agar Zevian percaya padanya.
"Akhhhhggghhh!" teriak Zevian tiba-tiba, sambil meninju keras dinding kaca tebal di kamar mandi itu. Kaca tersebut pecah berkeping-keping, berserakan di lantai dengan suara gemuruh.
Darah segar mengucur dari tangan Zevian, tapi pria itu sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi sakit. Nayara yang berdiri tepat di depannya juga terluka—pecahan kaca menusuk kakinya, membuatnya terdiam kesakitan.
"Aku mohon... berhenti... aku minta maaf. Percayalah padaku, aku tidak seperti yang kamu pikirkan," Nayara berbisik dengan suara gemetar, tak peduli darah yang terus mengalir dari kakinya.
Zevian menyalakan shower yang mengguyur tubuh mereka dengan air deras. Air di lantai bercampur darah, berubah menjadi merah pekat, terutama dari luka di tangan Zevian dan kaki Nayara. Namun yang paling parah adalah luka di tangan Zevian, darah mengucur deras tapi tak menghentikan amarahnya.
"Aku benci ini..." gerutu Zevian sambil menyudutkan Nayara ke tembok kamar mandi. Tanpa aba-aba, dia mencumbui Nayara di area yang sebelumnya pernah dicium oleh Satya, seolah berharap dengan itu dia bisa menghapus jejak pria lain pada calon istrinya itu.
Nayara jelas berontak, melawan dengan segenap tenaga yang tersisa. Tapi tenaga dan kemarahan Zevian jauh melampaui dirinya. Perlahan, tubuh Zevian mulai ambruk di tengah guyuran air shower yang masih mengalir deras, membasahi luka dan air mata yang mengalir bersama derasnya air.
“Heyy... kamu kenapa? Bangun...” suara Nayara gemetar penuh kekhawatiran, namun Zevian tetap tergeletak di lantai kamar mandi. Kaca berserakan di sekelilingnya, dan tangan yang terluka masih berdarah deras. Air shower terus mengalir dari atas, membasahi tubuh mereka dan membuat air di lantai semakin bercampur darah, menggenang dengan warna merah pekat.
“Ya Tuhan... apa ini...” Nayara berujar panik sambil berusaha mencari sesuatu di sekitar kamar mandi dengan langkah tertatih-tatih. Tanpa sengaja, kakinya menginjak serpihan kaca yang tajam, membuatnya terhenti sejenak, namun dia tidak peduli akan rasa sakit itu. Hatinya terlalu gelisah untuk memperhatikan luka kecil itu.
Dia berusaha keluar dari kamar mandi, mencari bantuan. Namun, ruang apartemen yang sunyi dan sepi itu kosong—tak ada seorang pun di sana. Kepanikan mulai merayap di dalam dada Nayara.
Dengan napas tersengal-sengal, dia kembali memasuki kamar mandi dan memandangi kekacauan di sekelilingnya—kepingan kaca berserakan, darah bercampur air yang terus mengalir, dan tubuh Zevian yang tak bergerak.
“Yaampun... bagaimana ini...” Nayara menggumam dengan suara hampir pecah, matanya berkaca-kaca karena ketakutan dan kebingungan.
Tiba-tiba, dering ponsel dari saku Zevian memecah keheningan. Suara itu membuat Nayara terkejut dan langsung meraih ponsel yang bergetar itu. Terlihat jelas nama “Aditya” terpampang di layar.
Dengan tangan yang gemetar dan jantung berdegup kencang, Nayara mengangkat panggilan itu.
“Tolong... tolong dia... dia terluka...” suaranya hampir patah, penuh desakan dan ketakutan.