“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Membelimu Satu Malam
Shania dan Iris mendengar kabar bahwa Eve sedang dirawat di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka langsung memutuskan menjenguk.
Saat tiba di depan pintu kamar, langkah mereka terhenti sejenak.
Di dalam ruangan, mereka melihat Alex sedang duduk di sisi ranjang Eve, dengan tenang mengupas apel. Gerakannya pelan dan hati-hati, seolah setiap irisan kulit apel adalah bentuk kepedulian yang tidak ingin ia ucapkan.
Shania membeku di ambang pintu. Matanya tak bisa lepas dari sosok pria itu—begitu tenang, begitu ... berbeda dari yang ia kenal.
“Shania, Iris, masuklah!” suara Eve memecah lamunan Shania.
Iris langsung tersenyum dan menarik tangan Shania agar mendekat. Namun, Shania tetap terlihat kaku dan salah tingkah, seolah pikirannya sedang sibuk dengan sesuatu yang tidak dia bagi pada siapa pun.
Alex, di sisi lain, tetap menunduk. Fokusnya tidak bergeser sedikit pun dari apel di tangannya. Bahkan setelah mereka masuk, ia tetap seperti tidak menyadari kehadiran orang lain selain Eve.
“Aku senang sekali melihat kalian di sini,” ucap Eve sambil menyandarkan tubuhnya ke bantal.
“Bagaimana kondisimu sekarang?” tanya Iris hangat, berusaha membuka pembicaraan.
“Sebenarnya aku baik-baik saja. Ini semua hanya karena dia yang berlebihan,” jawab Eve sambil melirik Alex sekilas.
Sedangkan pria itu tak merespons. Ia hanya menyodorkan piring berisi potongan apel ke arah Eve, lalu bangkit dari duduknya.
“Makanlah. Kau hanya boleh pulang jika Nic mengizinkannya. Aku akan keluar sebentar,” ucapnya singkat, lalu berjalan ke pintu tanpa satu pun lirikan ke arah Iris maupun Shania.
Begitu Alex keluar, Iris langsung mengedipkan mata, menggoda. “Astaga Eve … suamimu manis sekali!”
Eve hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya, dia berkata, ‘Manis apanya? Tidak tahu saja kau, betapa mengerikannya dia.’
Sementara itu, perhatian Eve berpindah ke Shania yang sejak tadi terlihat gelisah. Tatapannya terpaku ke pintu, seolah masih mengejar bayangan Alex yang baru saja lewat.
“Shania, ada apa?” tanya Eve curiga.
“Eh?” Shania tersentak. “A-aku? Tidak, tidak ada. Aku hanya … merasa kau sangat beruntung.” Ia memaksakan senyum lalu duduk di sisi ranjang Eve. “Ngomong-ngomong, apa yang terjadi padamu sebenarnya?”
“Aku cuma terjatuh di kamar mandi dan pingsan. Terlalu lama berendam. Flu juga, tapi sudah mendingan sekarang. Mereka saja yang berlebihan, tidak izinkan aku pulang.”
Shania ragu sejenak, lalu bertanya hati-hati, “Apa ... tadi malam kau...?”
“Jangan tanya soal kemarin malam. Aku sendiri tidak terlalu ingat,” potong Eve cepat. “Sebelumnya aku juga pingsan karena tekanan darahku turun. Setelah bangun, aku lapar dan mandi, lalu terpeleset. Untung saja Alex datang tepat waktu.”
“Alex ada di rumah?” Nada suara Shania meninggi, seolah pertanyaan itu lebih penting dari yang terlihat.
Eve mengernyit. “Iya, dia ada. Dia yang menolongku dan membawaku ke sini. Kenapa kau tanya begitu?”
“Ah?” Shania tampak gugup. “Tidak ... cuma, kupikir pria sibuk seperti dia tidak akan sempat ada di rumah.”
Eve mengangguk pelan, meskipun rasa curiganya mulai muncul. Shania terlihat gugup, suaranya gemetar tak wajar.
Tiba-tiba, Shania meraih tangan Eve dan mulai memeriksanya. Gerakannya terlalu hati-hati, terlalu teliti. Bahkan Iris sampai menoleh heran.
“Shania, apa yang kau lakukan?” tanya Eve tak enak.
“Aku cuma memeriksa ... siapa tahu kau terluka karena terpeleset,” jawab Shania sambil tersenyum tipis, meski matanya seperti menelusuri setiap inci kulit Eve.
Dalam hati, Shania bergolak. “Tidak ada bekas luka. Tidak ada jejak borgol, tidak ada memar ikatan. Apa benar ... Alex tidak menyentuhnya?”
Meski bibirnya tersenyum, Shania tahu, sesuatu terasa tidak masuk akal.
Shania tiba-tiba keluar dari kamar Eve, berpura-pura ingin mencari udara segar. Padahal sebenarnya dia tengah mencari seseorang—Alex.
Pria itu terlihat di taman. Dia sedang duduk santai, menyesap rokok sambil menatap layar ponselnya.
Shania mendekat pelan dengan langkah ragu, namun sorot matanya jelas menyimpan gelisah.
“Alex?” panggilnya pelan.
Alex tidak langsung menoleh. Tapi Shania tahu, dia mendengarnya.
“Mengenai tadi malam ... apakah aku melakukan kesalahan?” tanyanya, suara nyaris tak terdengar.
Alex mengisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia menatap Shania dengan tatapan datar.
“Tidak ada pembicaraan di luar playroom. Dan aku anggap itu tidak pernah terjadi,” ucapnya tajam. “Karena aku hanya membelimu untuk satu malam.”
Tanpa menunggu reaksi, Alex mematikan rokoknya, bangkit, lalu berjalan menjauh begitu saja.
Shania tidak mengejar. Dia hanya berdiri mematung, menatap punggung lelaki itu yang kian menjauh—dingin, seperti biasa.
Setelah kejadian semalam, Shania sempat mencari tahu tentang Alex. Tidak mungkin rasanya kalau pria itu tidak menyentuh Eve. Tapi saat melihat tubuh Eve pagi ini—pergelangan tangan dan kakinya mulus, tanpa satu pun bekas ikatan—Shania tak habis pikir.
Apakah Alex benar-benar mencintai Eve?
Jika ya, rasa cintanya pasti begitu dalam hingga dia tak sanggup menyakitinya sedikit pun. Dan itu membuat hati Shania terasa sesak oleh rasa iri yang tak bisa disembunyikan.
“Shania, apa yang kau lakukan di sini?” Iris tiba-tiba muncul, berjalan cepat ke arahnya. Saat melihat arah pandangan Shania, Iris ikut menoleh. “Apa yang kamu lihat?”
“Ah? Tidak ada. Tadi ... kupikir aku melihat seseorang yang kukenal. Tapi ternyata salah orang.” Shania tersenyum kaku, buru-buru mengalihkan pandangan.
“Sudahlah, ayo masuk. Aku tidak bisa lama, ada urusan setelah ini.” Iris menarik tangannya tanpa curiga. Untung saja dia tidak melihat Alex yang sudah menghilang dari taman.
Shania menghela napas diam-diam. Kalau Iris pergi, dia juga tidak ingin berlama-lama berada di kamar Eve.
Melihat Alex terlalu sering seperti ini... hanya akan membuat dadanya semakin sesak. Entah kenapa, pria itu—dengan semua dinginnya—begitu mempesona. Seperti sosok yang dibungkus kabut, tak terjamah, tapi terus-menerus menarik.
Shania tidak langsung kembali ke panti. Ia malah memutar balik mobilnya dan berhenti di tempat parkir sebuah restoran yang tak jauh dari rumah sakit. Perutnya memang sempat keroncongan, tapi langkahnya terhenti begitu memasuki ruangan.
Pandangannya terpaku pada sosok lelaki yang duduk di salah satu meja sudut. Tatapan mereka bertemu.
“Noah?” gumamnya, nyaris tak percaya. “Kenapa dia bisa di sini?”
Ia berjalan mendekat, melangkah ringan namun waspada.
“Noah? Kau di sini juga?” sapanya, berusaha terdengar biasa.
Noah menoleh, sedikit terkejut. “Ah, iya. Aku mengajak Celline makan. Kau sendiri datang dengan siapa?” tanyanya sambil melirik ke sekeliling, matanya sekilas mencari sosok yang mungkin ia kenal.
“Kau mencari Eve?” tanya Shania langsung, menebak pikirannya.
Noah mendadak diam.
“Dia tidak mungkin ada di sini,” lanjut Shania pelan. “Dia masuk rumah sakit hari ini.”
Wajah Noah langsung berubah. Raut cemas menyergap, tubuhnya sedikit mencondong ke depan. “Apa yang terjadi? Kenapa dengannya?”
Shania terkekeh ringan, meledek kekhawatirannya yang spontan. “Kau begitu panik. Tenang saja, dia hanya terpeleset di kamar mandi dan sempat pingsan.”
“Maksudmu ... dia tidak terluka?”
“Tidak. Tidak ada luka fisik sedikit pun.”
Noah terlihat mengembuskan napas lega, meski kekhawatiran masih membekas di sorot matanya. Shania memperhatikan sekeliling sebentar, lalu merendahkan suaranya, seolah tak ingin ada yang lain mendengar.
“Noah ... apa kau masih mencintainya?”
Noah mendongak, tatapannya tajam. “Aku tak ingin membicarakan itu.”
“Ayolah, ini hanya pertanyaan. Kalau memang iya, kupikir kau masih punya kesempatan,” bisik Shania, nyaris seperti rahasia yang ia ungkapkan dengan enggan.
Noah menarik napas panjang. “Aku sudah membuat pilihanku, Shania. Aku tahu aku tak bisa mencintai dua orang sekaligus. Dan jika Eve telah bahagia dengan pernikahannya sekarang, itu memang sudah sepantasnya dia dapatkan.”
Nada suaranya terdengar getir, seperti seseorang yang telah memaksa dirinya untuk menyerah.
Meski memang kenyataannya dia tidak rela, tapi kebenaran yang ia ketahui sudah terlambat. Dia telah menyakiti Eve terlalu dalam, melepasnya dengan meninggalkan pengkhianatan dan luka.
“Tapi ... bagaimana jika dia tidak bahagia?” bisik Shania lagi, matanya menelusuri perubahan raut di wajah Noah.
Noah diam. Dahinya mengernyit.
“Maksudmu apa?”
“Pernahkah kau bertanya, kenapa dia bisa menikah secepat itu setelah perceraian kalian?” Shania menatapnya tajam. “Aku bertemu dengannya setiap hari, Noah. Aku tahu betul ekspresinya, perasaannya. Dia tidak pernah bahagia dalam pernikahannya. Bahkan dia sering termenung. Mungkin … memikirkanmu.”
“Sungguh?” Mata Noah melebar, seperti berharap pada kata-kata itu.
“Kenapa tidak kau coba bicara baik-baik dengannya?” Shania menarik tasnya, bersiap pergi lagi. “Maaf, aku lupa jika ada janji saat ini. Aku harus pergi.”
***