Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.
Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.
Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DHARMA KEMBALI
Pernah nggak sih kalian punya temen yang tiba-tiba hilang tanpa kabar, terus muncul lagi pas kalian lagi dalam masalah berat? Nah, itulah yang terjadi padaku hari ini.
Kami sedang terkepung. Aeliana dan tiga delegasi Simfoni Galaksi lainnya mengepung kami di laboratorium rahasia orang tuaku, senjata mereka mengarah pada kristal di tanganku.
"Serahkan kristal itu, Jaka!" teriak Aeliana, matanya yang biasanya penuh kedamaian sekarang dingin seperti es. "Kami tidak bisa mengambil risiko kristal ini jatuh ke tangan yang salah!"
Sekar berdiri di sampingku, tangannya sudah mengumpulkan energi air. "Kami percaya padamu, Aeliana! Kenapa kalian berubah?"
"Karena kami baru tahu kebenaran tentang orang tuamu, Jaka," jawab Aeliana. "Mereka bukan pahlawan. Mereka ingin menghancurkan keseimbangan galaksi!"
Aku menggenggam kristal itu lebih erat. "Aku tidak percaya omongammu!"
Tiba-tiba, semua lampu di laboratorium mati. Senjata-senjata galaksi yang tadinya bersinar redup seketika. Suara yang sangat kudengar, suara yang tidak pernah kupikir akan kudengar lagi, bergema di ruangan itu.
"Rasanya aku pernah melihat adegan seperti ini," kata suara itu. "Bedanya, dulu kau masih hijau sekali, Jaka."
Aku menoleh. Dan di sana, berdiri dengan santainya seperti baru pulang dari jalan-jalan ke warung, adalah Dharma. Sama persis seperti terakhir kali kulihatnya, rambut hitamnya masih berantakan, senyumnya masih sedikit menyebalkan, dan matanya masih berbinar-binar seperti tahu sesuatu yang tidak kita ketahui.
"DHARMA?" teriakku, tidak percaya. "Tapi... kamu...?"
Dia mengangkat bahu. "Aku hanya mengambil cuti panjang. Liburan antar-dimensi, kalau boleh dibilang."
Banaspati yang berupa asap tiba-tiba menjadi sangat padat. "Dharma? Tapi aku... aku sudah..."
"Membunuhku?" Dharma menyelesaikan kalimatnya sambil tertawa. "Tolonglah. Butuh lebih dari itu untuk menyingkirkanku."
Dalam waktu tiga detik, situasi berubah total. Dharma hanya perlu melambaikan tangannya, dan senjata-senjata delegasi Simfoni Galaksi itu melayang ke samping.
"Maaf, Aeliana," kata Dharma dengan sopan. "Tapi tim kita punya prioritas lain sekarang."
Aeliana terlihat seperti ingin protes, tapi kemudian mengangguk dan memerintahkan anak buahnya untuk mundur. Sepertinya Dharma punya semacam otoritas yang bahkan tidak kuketahui.
"Oke, penjelasan," kata Dharma sambil duduk di meja laboratorium seperti dia pemiliknya. "Pertama, aku nggak mati. Kedua, aku sengaja menghilang karena harus menyelidiki sesuatu yang lebih besar."
Sekar masih terlihat syok. "Selama ini kamu di mana?"
"Di mana-mana," jawab Dharma. "Terutama menyelidiki Simfoni Galaksi yang ternyata... yahh, tidak sebersih yang mereka kira."
Dia mengeluarkan device kecil dan memproyeksikan hologram. "Orang tuamu, Jaka, bukan pengkhianat. Mereka justru mencoba mengungkap konspirasi dalam Simfoni Galaksi."
Hologram itu menunjukkan pertemuan rahasia—beberapa anggota senior Simfoni Galaksi sedang berdiskusi tentang "mengontrol" Benih-Benih Pencipta, termasuk Bumi.
"Tunggu, apa?" kataku, pusing menyerang dan aku menggaruk rambutku yang padahal tidak gatal. "Jadi Simfoni Galaksi itu jahat?"
"Bukan jahat," koreksi Dharma. "Tapi seperti organisasi besar mana pun, ada faksi-faksi di dalamnya. Ada yang ingin membantu Benih Pencipta berkembang, ada yang ingin mengontrolnya."
Dharma kemudian mengambil kristal dari tanganku. "Dan ini... ini adalah kuncinya."
Dia menekan bagian tertentu di kristal itu, dan tiba-tiba kristal itu terbuka seperti bunga. Di dalamnya, ada object kecil yang berdenyup-denyup dengan cahaya lembut.
"Itu..." bisik Banaspati. "Itu adalah Heart of Creation!"
"Bingo!" kata Dharma. "Orang tuamu tidak cuma menjebak diri untuk melindungi Genesis Device. Mereka juga mencuri ini dari Simfoni Galaksi."
Aku masih tidak mengerti. "Heart of Creation? Apa itu?"
"Semacam... remote control universal," jelas Dharma. "Dengan ini, kita bisa mengakses semua Benih Pencipta di galaksi. Tapi lebih penting lagi, kita bisa berkomunikasi dengan mereka."
Sekar mendekat, matanya penuh kekaguman. "Jadi kita bisa... berbicara dengan planet-planet lain?"
"Bukan planetnya, tapi kesadarannya," kata Dharma. "Seperti Bumi sekarang."
Tiba-tiba, Mar berbicara melalui speaker laboratorium. "Analisis saya menunjukkan object itu memancarkan energi yang sama dengan Genesis Device. Tapi... lebih murni."
Dharma tersenyum. "Karena inilah aslinya. Genesis Device yang kalian aktifkan? Itu hanya replikanya."
Tapi kejutan belum berakhir. Dharma memandangku dengan ekspresi aneh.
"Ada satu hal lagi, Jaka," katanya. "Tentang kenapa aku memilihmu sejak awal."
Aku sudah tidak sabar. "Kalau kamu bilang kamu adalah pamanku atau sesuatu yang klise seperti itu—"
"Lebih buruk," canda Dharma. "Orang tuamu dan aku... kita sama-sama keturunan Ras Pertama. Tapi keluarga kita terpecah ribuan tahun yang lalu."
Sekar memegang tanganku. "Jadi kamu... sepupu Jaka?"
"iya seperti itulah," jawab Dharma. "Keluargamu memilih untuk tinggal dan melindungi Bumi. Keluargaku memilih untuk menjelajah galaksi. Tapi kita semua punya tujuan yang sama."
Aku duduk, mencoba mencerna semua informasi ini. Dharma adalah keluargaku? Selama ini dia adalah sepupuku?
"Jadi semua ini... tentang keluarga?" tanyaku.
"Selalu tentang keluarga, Jaka," kata Dharma dengan lembut. "Tapi keluarga dalam skala yang lebih besar. Ras Pertama, Benih Pencipta, semua makhluk hidup di galaksi, kita semua keluarga."
Dharma kemudian menjelaskan pilihan yang harus kita buat.
"Dengan Heart of Creation, kita bisa membangunkan semua Benih Pencipta yang masih tertidur. Tapi itu juga akan menarik perhatian faksi jahat dalam Simfoni Galaksi."
"Atau," lanjutnya, "kita bisa menyembunyikannya, membiarkan Benih-Benih lain bangun dengan sendirinya seperti Bumi."
Aeliana yang selama ini diam akhirnya berbicara. "Faksi kami dalam Simfoni Galaksi akan mendukung apapun keputusan kalian. Kami percaya pada kedaulatan setiap Benih Pencipta."
Aku memandangi Sekar, lalu Mbah Ledhek yang baru saja masuk dengan tehnya.
"Gimana, Mbah?" tanyaku. "Keputusan besar nih."
Mbah Ledhek tersenyum. "Wong kok wedi. Alam iki wis nawakne jawaban. Tinggal nek kita gelem ngrungokke."
Dia benar. Aku menutup mata dan mencoba merasakan kesadaran kolektif Bumi. Dan yang kurasakan... jelas sekali.
Bumi ingin membantu saudara-saudaranya.
"Kita akan membangunkan mereka," kataku dengan yakin. "Tapi dengan cara kita. Bukan dengan cara Simfoni Galaksi."
Dharma tersenyum bangga. "Itulah jawaban yang aku tunggu-tunggu."
Malam itu, kami berkumpul di pendopo. Dharma bercerita tentang petualangannya selama ini, bagaimana dia menyusup ke markas Simfoni Galaksi, bagaimana dia menemukan kebenaran tentang orang tuaku, dan bagaimana dia selalu mengawasiku dari jauh.
"Beberapa kali aku hampir ketahuan," ceritanya sambil tertawa. "Terutama waktu Jaka hampir mati melawan Pemburu. Aku hampir saja turun tangan."
"Jadi semua 'keberuntungan' kami selama ini..." kata Sekar.
"Bukan keberuntungan," sahutku, menyadari sesuatu. "Itu Dharma."
Dia mengangguk. "Aku selalu percaya sama kamu, Jaka. Tapi aku juga nggak bisa membiarkan kamu mati sia-sia."
Banaspati mendekat. "Aku minta maaf, Dharma. Untuk... kamu tahu."
"Sudah lupakan," kata Dharma. "Kita semua cuma melakukan apa yang harus dilakukan."
Kini dengan Dharma kembali, kami punya pemimpin strategis yang memahami politik galaksi. Dengan Heart of Creation, kami punya senjata. Dan dengan kesadaran kolektif Bumi, kami punya kekuatan.
"Besok kita mulai," kata Dharma. "Pertama, kita akan mengunjungi Benih Pencipta terdekat, planet Aquarius."
"Aquarius?" tanya Sekar. "Seperti bintang?"
"Lebih dari itu," jawab Dharma. "Mereka adalah saudara air kita. Dan mereka sedang dalam bahaya."
Aku memandangi bintang-bintang. Dari anak desa biasa, kini aku menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dengan keluarga baruku, Sekar, Mbah Ledhek, Banaspati, Mar, dan sekarang Dharma, apa pun yang terjadi, aku tahu kita bisa menghadapinya.
"Oke," kataku pada semua. "Ayo selamatkan galaksi."
Dharma tertawa. "Akhirnya kamu bicara seperti pewaris sejati."
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa... semuanya akan baik-baik saja.
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
bantu akun gua bro