"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Teman Sekolah
"Serena?"
Langkah Serena terhenti seketika. Ia langsung menoleh, merasa suara yang memanggilnya begitu familiar. Dan benar saja, saat matanya menangkap wajah pria yang berdiri hanya beberapa senti darinya, sekelebat kenangan lama menyelinap masuk ke dalam pikirannya.
"Kamu ... kamu Fikri, kan?" tanya Serena tampak ragu, takut bila salah menebak. Maklum saja, dia sudah lama tidak pulang ke rumah. Dia tidak begitu banyak ingat dengan teman-temannya dulu. Wajah teman-teman lamanya sudah mulai kabur dalam ingatan.
Fikri mengangguk cepat, senyum merekah di wajahnya. Ada sorot terkejut dan tak percaya di balik matanya.
"Iya, ini aku, Fikri. Aku nggak nyangka kita bisa ketemu di sini. Kamu lagi belanja, ya?"
"Iya," jawab Serena sambil melirik ke arah wanita paruh baya di sampingnya. "Aku lagi belanja sama Bunda."
Tanpa diberitahu, Serena sepertinya menyadari, bahwa bundanya itu cukup penasaran dengan Fikri, teman sekolahnya dulu.
Serena lalu menoleh ke Sarah dan memperkenalkan temannya, "Bunda, ini Fikri. Teman aku waktu SMA dulu."
Sarah tersenyum hangat. "Salam kenal, Nak Fikri"
"Salam kenal juga, Bunda," balas Fikri dengan sopan sambil menundukkan sedikit kepalanya.
"Nak Fikri juga mau belanja?" tanya Sarah, melirik keranjang belanjaan kecil yang Fikri bawa. Keranjang itu nampak masih kosong, sepertinya Fikri juga baru tiba di pasar ini, belum membeli apa pun.
"Iya, Bun. Ada beberapa barang yang mau Fikri beli," jawab Radit sambil tertawa kecil.
"Sekalian aja kita barengan. Gimana?" tawar Sarah.
"Apakah boleh?" Fikri menoleh ke arah Serena. Ingin melihat tanggapan dari temannya itu.
Serena menyunggingkan senyum di bibirnya, kemudian dia berkata, "Kenapa nggak boleh. Kita bisa sambil ngobrol, kan?"
"Baiklah kalau begitu," balas Fikri, tampak tersenyum meski sedikit canggung.
Hari kian beranjak siang, dan pasar mulai dipadati oleh lebih banyak orang. Keramaian semakin terasa saat Serena dan Fikri melangkah masuk ke dalamnya. Di dalam pasar, berbagai aroma menyeruak—wangi rempah-rempahan, segarnya ikan dan daging, hingga asap menggoda dari gerobak penjual tekwan, salah satu makanan kuliner khas Palembang.
Kerumunan membuat mereka harus berjalan berdekatan, bahkan sesekali bersinggungan. Namun, Serena berusaha menjaga jarak dengan menjadikan tasnya sebagai pembatas di antara mereka.
Sementara itu, di sisi lain, Fikri tengah berjuang menahan debar di dadanya.
Selama bertahun-tahun, Fikri menyimpan perasaan yang tak pernah sempat ia ungkapkan. Ia pernah berpikir, seiring waktu, perasaan itu akan memudar dengan sendirinya. Namun kini, setelah pertemuan yang tak pernah ia duga-duga, kenyataan justru berkata lain. Detak itu masih ada—bahkan terasa lebih kuat dari sebelumnya.
Apalagi melihat perubahan Serena yang kini tampil berbeda dari yang ia kenal dulu. Balutan gamis dan kerudung yang sederhana justru memancarkan pesona baru. Ia tampak semakin anggun, teduh, dan sekali lagi memikat hatinya.
Sejak lama sekali, Fikri sudah menaruh hati pada Serena. Baginya, Serena adalah sosok perempuan yang lembut, teduh, dan penuh wibawa. Tapi semua harapan itu runtuh saat ia tahu Serena telah bertunangan. Dunia Fikri sempat dilanda kekecewaan yang pahit.
Melihat Serena yang tampak begitu bahagia bersama tunangannya, Fikri tahu dirinya tak boleh egois. Meski hatinya remuk, ia memilih untuk merelakan. Dalam diam, ia mendoakan Serena—semoga kebahagiaan selalu menyertainya. Sementara untuk dirinya sendiri, ia hanya berharap diberikan keikhlasan ... dan hati yang cukup lapang untuk menyambut pengganti yang tepat.
Dalam upaya meredam gejolak di dadanya, Fikri pun membuka percakapan, mengalihkan pikirannya yang melalangbuana, jauh ke masa lalu.
"Kamu kapan pulangnya, Re?"
"Baru kemarin siang, kok," jawab Serena sambil melirik sekeliling pasar. "Kamu sendiri gimana? Kabarmu baik, kan, Fik? Gak nyangka banget bisa ketemu di sini, lho."
"Ya, hidupku gini-gini aja sih," jawab Fikri sambil terkekeh kecil. "Aku kerja di peternakan ayam sekarang."
Serena mengangguk. "Wah, pasti capek, ya."
"Capek sih iya, tapi ya dinikmati aja."
Sementara Serena dan Fikri asik mengobrol, Sarah sendiri tampak sibuk memeriksa daftar belanjaan di notenya. Sesekali ia bertanya kepada pedagang tentang harga, lalu menimbang-nimbang sebelum membuat keputusan.
Serena menoleh, matanya menangkap deretan mainan anak yang digantung rapi di salah satu lapak. Ia tersenyum kecil, teringat pada adik kecilnya yang menggemaskan, Dafa. Dafa pasti sangat senang mendapat mainan baru.
"Bun, aku ke sana sebentar ya, mau beliin mainan buat Dafa."
Sarah melirik tepat ke arah lapak yang Serena tunjukkan. Sedetik kemudian, senyum di wajahnya langsung mengembang. "Iya, sana. Sekalian ngobrol aja dulu sama temenmu, kan udah lama nggak ketemu."
Fikri tersenyum malu mendengar ucapan itu, namun tidak dengan Serena. Perhatian gadis itu sepenuhnya tertuju pada deretan mainan di seberang sana—ia begitu antusias hendak membeli mainan baru untuk si kecil. Tanpa banyak bicara, Fikri menyusul langkah Serena menuju lapak mainan.
Mereka berdua berdiri di depan deretan mainan yang tampak lucu dengan aneka warna-warni. Tangannya menyentuh satu boneka empuk berbentuk dinosaurus bewarna biru.
"Ini lucu, ya? Tapi, Dafa suka nggak, ya?"
Fikri ikut memerhatikan. "Dafa itu umur berapa sekarang?"
"Dua tahun," jawab Serena sambil melirik ke arah Fikri, menunggu pendapat darinya. "Biasanya, anak umur dua tahun itu, suka main apa sih?"
"Hmm ... yang ini kayaknya cocok deh." Fikri menunjuk ke bola empuk berwarna cerah yang bisa mengeluarkan bunyi saat ditekan. "Aman juga buat anak kecil. Tapi, apa pun yang kamu beli buat Dafa, dia pasti seneng. Apalagi, yang beli itu kakaknya."
Serena memandang boneka dinosaurus di depannya dengan tatapan bimbang, kemudian beralih menatap mainan yang lain.
"Kalau gitu, aku beli dua aja deh," putus Serena akhirnya. Dia tidak bisa memilih di antara keduanya, karena dua-duanya sama-sama lucu dan menggemaskan.
Serena kemudian membayar mainan yang dia pilih. Pedagang itu memasukkannya ke dalam plastik belanjaan. Setelah itu, Serena memutuskan untuk mencari hadiah yang lain, tapi kali ini untuk Rafa.
"Aku butuh beli satu hadiah lagi," ucap Serena.
"Kali ini buat siapa?" tanya Fikri.
"Buat adikku, Rafa. Umurnya 15 tahun. Kamu kan cowok yaa, kamu bisa kasih aku pendapat, nggak?"
"Kamu bisa beli apa yang dia suka."
Serena mengembuskan napas dengan berat. "Aku nggak tahu apa-apa soal Rafa. Mana mungkin aku tahu, aku aja baru pulang setelah 3 tahun lamanya."
Fikri terdiam. Ia tahu sedikit tentang masa lalu Serena—tentang kepergiannya dari rumah dan bagaimana ia tak pernah terlihat lagi, atau terdengar kabarnya. Melihat Serena yang datang dengan seorang wanita yang dia sebut sebagai Bunda—sebagai ibu sambungnya—Fikri pun mulai menyadari sesuatu, meski itu tak seutuhnya.
Pria itu memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Dia tidak punya hak untuk itu, kecuali jika Serena ingin menceritakannya.
Setelah berpikir sejenak, satu ide terlintas di dalam pikirannya. Dia pun berkata, "Gimana kalau jaket? Anak seusia itu biasanya mulai peduli sama penampilan. Bisa jadi dia suka kalau kamu beliin jaket."
Serena tersenyum lebar. "Iya juga ya, aku nggak kepikiran. Kamu bantuin pilih, ya. Soalnya, kulihat-lihat, kamu cukup fashionable, padahal cuma ke pasar."
Mendengar pujian yang Serena lontarkan, Fikri merasakan sesuatu berkembang di dalam dadanya. Perasaan senang yang tidak terkira.
Mereka pun berjalan menuju lapak pakaian di pojokan pasar. Sambil memilih-milih jaket dan beberapa pakaian yang cocok untuk Rafa, Serena mulai mengajak Fikri berbincang tentang teman-teman lama mereka.
"Oh ya, gimana kabar teman-teman yang lain?" tanya Serena sambil terus memilah pakaian yang terpajang di dalam lapak.
Fikri terkekeh. "Kamu ini emang ajaib banget, Re. Teman-teman itu kadang suka nanyain kamu, lho. Masih hidup atau udah hilang ke dimensi lain. Soalnya, kamu benar-benar kayak ditelan bumi."
Serena ikut tertawa mendengar ucapan Fikri.
Ia sangat paham kebiasaannya yang satu itu—sering menghilang tanpa jejak, bahkan juga tanpa kabar. Itu memang salah satu sifat buruknya, dan ia sendiri kesulitan mengubahnya. Mau bagaimana lagi? Sebagai seorang introvert akut, Serena memang tak lihai dalam bersosialisasi, apalagi menjaga komunikasi dalam jangka panjang.
Serena lebih sering tenggelam dalam dunianya sendiri—dunia yang ia jalani saat ini, bukan yang telah tertinggal di belakang. Baginya, semua punya masanya tersendiri. Seperti kata orang, people come and go. Akan tiba waktunya ketika orang-orang lama perlahan tergantikan oleh yang baru. Karena pada akhirnya, tidak semua orang akan menetap di sisimu.
"Teman-teman kita banyak yang udah nikah dan punya anak. Ada juga yang merantau ke luar kota," ujar Fikri sambil mengelus jaket berbahan parasut. Ia tersenyum tipis, lalu menambahkan, "Kadang aku iri, tahu nggak? Lihat mereka udah sukses, atau punya kehidupan yang jelas dan terarah. Sementara aku ... ya, masih gini-gini aja."
Serena menoleh, memerhatikan wajah Fikri yang tampak menyimpan kegetiran. Ia merasa simpati dengan temannya itu.
"Enggak apa-apa, Fik. Kita nggak harus membandingkan jalan kita dengan orang lain. Hidup itu bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang bisa tetap bertahan," ucapnya lembut, seolah memberi semangat. Lalu, ia menambahkan dengan senyum yang tulus, "Lagian kamu udah keren, kok. Apalagi kamu ganteng begini, pasti banyak yang mau."
Fikri terpaku, mencerna apa yang baru saja Serena katakan mengenai dirinya. Dari sekian banyak kata yang keluar dari bibir gadis itu, hanya satu saja yang tersangkut di dalam telinga dan otaknya, yaitu: ganteng. Satu kata yang berhasil membuat Fikri salah paham.
"Kamu masih seperti dulu, Re. Selalu tahu cara bikin orang lain merasa senang."
Serena tersenyum sebelum menanggapi, "Karena kita kan teman. Apalagi, hari ini kamu udah bantuin aku beliin hadiah buat adik-adikku."
Akhirnya, dia tertampar oleh satu kata yang lain. Teman, kata yang cukup menyakitkan untuk didengar oleh dirinya yang sudah lama memendam perasaan pada Serena. Dia mengutuk dirinya sendiri, karena terlalu banyak berharap dan bermimpi.
Singkat cerita, Serena tidak hanya membeli baju untuk Rafa, tetapi juga berakhir membeli hadiah untuk Bunda, Dafa, dan bahkan Ayahnya. Kantong belanjaannya kini penuh sesak, dan setelah membayar semuanya, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bunda tertera di layar.
"Nak, kamu di mana?" suara Sarah terdengar dari seberang telepon.
"Aku lagi beli hadiah buat Rafa sama Dafa. Bunda udah selesai belanjanya?"
"Udah, Nak. Bunda mau langsung keluar. Kamu udah selesai belanjanya?" tanya Sarah.
"Tunggu, ya, Bun. Aku juga mau keluar. Semua barang yang mau aku beli, udah aku bungkus."
"Iya, Nak. Hati-hati, ya."
Setelah menutup sambungan, Serena menoleh ke Fikri dengan senyum hangat. "Makasih banget, Fik. Kamu udah mau nemenin aku belanja. Tapi kamu sendiri belum beli apa-apa."
Fikri mengangkat bahu, tersenyum santai. "Nggak apa-apa, jangan dipikirin. Kamu mau aku bantu bawa belanjaanmu? Kayaknya berat banget, tuh."
Serena tertawa kecil, memandangi kantong-kantong di tangannya. "Iya juga, sih. Aku nggak nyangka bakal beli sebanyak ini. Tapi makasih, aku masih bisa bawa sendiri, kok."
Ia sempat ragu sejenak, lalu menambahkan, "Oh ya, aku boleh minta nomor kamu? Biar kita bisa ngobrol kapan-kapan."
Fikri sedikit terkejut, tapi segera mengangguk. "Boleh, dong. Tapi, aku aja yang nyimpen nomor kamu. Kayaknya, kamu kesulitan sama barang-barang bawaanmu itu, Re."
"Ide bagus tuh."
Fikri mengeluarkan ponsel yang tersimpan dalam saku hoodienya. Setelah itu, Serena mulai menyebutkan satu per satu nomor ponselnya.
Setelah memberikan nomornya kepada Fikri, Serena buru-buru pamit. Ia harus segera menemui Bundanya yang sudah menunggu di area parkir. Ia tak tega membiarkan sang Bunda menunggu terlalu lama.
"Aku duluan, ya, Fik. Makasih atas bantuannya!" seru Serena dengan wajah yang dipenuhi kegembiraan. Memang belanja itu adalah salah satu healing paling menyenangkan. Walaupun setelahnya, kadang dibikin pusing karena dompet yang tiba-tiba kempes.
Fikri terpaku di tempatnya, sambil terus menatap punggung Serena yang perlahan menghilang di antara kerumunan. Langkah cepat gadis itu membawanya kian jauh, menembus riuhnya pasar yang kian padat.
Helaan napas terdengar darinya. Ada perasaan gelisah yang sulit dijelaskan. Sejujurnya, jauh di dalam benaknya saat ini, dia ingin momen kebersamaan dengan Serena bisa berlangsung sedikit lebih lama. Tapi, lagi-lagi, dia hanyalah seorang pengecut yang tidak bisa menahan gadis itu bahkan hanya sedetik saja.
Hingga akhirnya, Serena benar-benar lenyap sepenuhnya—tenggelam dalam arus manusia yang tak henti bergerak.
Di tengah keramaian yang kembali terasa hampa, Fikri termenung. Dalam hati kecilnya, sebuah pertanyaan mengambang pelan, “Adakah kesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Serena seperti hari ini—sekali lagi?”
Bersambung
Selasa, 26 Agustus 2025