Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku butuh cinta
Damian baru sampai di rumahnya, dengan menenteng tas plastik berlogo minimarket di tangannya. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya dan pergi ke lantai dua.
Ia gegas membuka pintu kamar, untuk melihat kondisi Aletha. Saat pintu terbuka, Damian melihat Aletha berbaring di kasur, matanya terpejam, ia tertidur. Wajahnya pucat, persis dengan yang dikatakan oleh stafnya tadi.
Damian segera mendekat, meletakkan kantong plastik tadi di atas meja dan naik ke tempat tidur. Ia memeriksa suhu tubuh Aletha, normal. Tidak ada tanda-tanda Aletha demam. Tapi kondisinya memang tak bisa dibilang sehat juga.
"Apa sesakit itu ya kalau haid?" gumamnya pada diri sendiri.
Damian tak tahu apa yang sebenarnya wanita rasakan saat datang bulan. Yang ia tahu, hanya wanita mengalami pendarahan setiap bulannya sebagai hal yang normal bagi kaum hawa.
Damian melepaskan jasnya, berbaring di samping Aletha dan memeluknya. "Mungkin dia butuh pelukan kalau lagi begini."
Aletha tak bergeming meski Damian memeluknya, tidurnya begitu lelap. Damian menguap, matanya mulai terasa berat lagi.
Ia mendekatkan wajahnya ke kepala Aletha yang tidur dengan posisi miring ke arah jendela kamar, membelakangi dirinya. Dalam hitungan detik, Damian akhirnya tertidur juga.
Siang hari itu, cahaya matahari menembus lembut dari jendela kamar yang setengah terbuka. Tirai tipis bergoyang perlahan, mengikuti hembusan angin yang masuk, membawa aroma segar dedaunan basah setelah disapu embun pagi. Suasana kamar terasa damai, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi kesempatan keduanya beristirahat.
Damian masih terlelap, lengan kokohnya melingkari tubuh Aletha yang berbaring miring membelakanginya. Sesekali, napas hangat Damian menyentuh rambut Aletha, membuat helai-helainya bergerak pelan. Sementara itu, Aletha yang tadinya tidur pulas, perlahan mulai membuka matanya.
Matanya yang sedikit berat menatap keluar jendela. Tirai yang bergoyang, langit biru pucat yang terlihat dari celah, dan suara dedaunan bergesekan seolah menyapanya lembut. Rasa sakit di perutnya masih ada, tapi jauh lebih ringan daripada tadi. Pelukan hangat seseorang di belakangnya juga membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Aletha terdiam, mencoba meresapi kehangatan itu. Ia tahu, yang memeluknya adalah Damian, bukan orang lain. Sehingga ia tak berusaha menepisnya, terlebih tubuhnya masih terasa lemas. Sebagian dirinya ingin melepaskan diri, marahnya belum hilang sepenuhnya. Tapi sebagian lagi, hatinya enggan bergerak, takut kehilangan momen tenang ini.
"Damian…" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. "kamu pulang...?"
Damian bergumam pelan dalam tidurnya, merespons suara itu tanpa sadar. Tangannya justru merangkul Aletha lebih erat, seakan tak ingin melepas.
Angin siang kembali berembus, menebarkan kesejukan yang menenangkan. Aletha menutup matanya lagi, membiarkan dirinya terbuai di antara rasa sakit yang masih menusuk dan rasa hangat yang perlahan-lahan mengikis dinginnya hatinya.
*****
[MALAMNYA]
Aletha mengerjap pelan, matanya terasa berat saat terbuka. Pandangannya sempat kabur sebelum akhirnya jelas melihat suasana kamar yang sudah gelap, hanya diterangi cahaya lampu taman dari jendela yang terbuka. Ia mengerutkan kening, terkejut begitu menyadari langit di luar jendela sudah benar-benar hitam.
"Astaga… sudah malam?" gumamnya lirih. Ia cepat-cepat mengangkat tubuhnya, duduk perlahan sambil menatap jam di dinding. Hampir pukul delapan malam. Mereka ternyata tertidur begitu lama.
Pelukan di pinggangnya yang tadi hangat kini longgar, karena Damian masih berbaring di sampingnya. Rambut pria itu sedikit berantakan, wajahnya tampak lelah tapi begitu tenang. Aletha sempat menatapnya beberapa detik, sebelum Damian tiba-tiba bergerak.
Damian menggeliat malas, lalu menguap sambil menutup mulut dengan punggung tangan. Matanya setengah terbuka, lalu menatap Aletha yang duduk di sisi ranjang. Senyum tipis menghiasi bibirnya.
"Masih sakit?" tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun.
Aletha menoleh sekilas, bibirnya melengkung kecil. "Udah nggak," jawabnya singkat, meski wajahnya masih tampak pucat.
Damian menarik napas lega, lalu duduk perlahan di sampingnya. "Syukurlah," ujarnya pelan. Tangannya terulur, tanpa berpikir mengusap punggung Aletha dengan lembut. Gerakan sederhana itu membuat dada Aletha kembali menghangat, meski ia berusaha menahan ekspresi agar tak terlihat canggung.
Keheningan sesaat tercipta di antara mereka, hanya terdengar suara angin malam dari jendela yang masih terbuka.
"Aku khawatir saat tahu kamu pulang duluan karena sakit. Aku ketiduran, jadi gak sadar kalau kamu masuk ke ruanganku," kata Damian, berhenti mengusap punggung Aletha dan duduk tegak.
"Aku gak benar-benar sakit, cuma sakit karena haid aja. Ini udah biasa, kok. Tiap bulan memang begini," jelas Aletha.
Damian turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu, kamar pun seketika terang benderang oleh cahaya. Ia mengambil kantong plastik tadi dan menyodorkannya pada Aletha. "Tadi aku mampir ke minimarket, aku tanyakan ke pekerja cewek 'apa yang dibutuhkan cewek kalau lagi nyeri haid?'. Dia langsung kasih tahu apa aja yang dibutuhkan. Jadi, aku beli yang kurasa memang cocok buat keluhan kamu saat ini."
Aletha menerima kantong plastik itu dengan perasaan haru. Ternyata, tanpa ia sadari Damian adalah pria yang begitu peka dan perhatian terhadap wanita.
"Makasih banyak, Dam." Ucap Aletha. "Sebenarnya, tadi aku juga udah mampir ke apotek buat beli obat pereda nyeri. Kamu nggak perlu repot-repot membelikan aku semua ini."
"Nggak apa-apa. Itu kan sebagai bentuk perhatian dari aku," jawab Damian.
Aletha tersenyum simpul. "Makasih."
"Ya."
Damian bangkit kembali dan pergi ke kamar mandi. Sementara Aletha, ia mulai membuka satu botol minuman pereda nyeri dan meneguknya perlahan. Hatinya sedikit senang, perhatian Damian begitu berarti baginya.
Bzzz... Bzzzz...
Tiba-tiba, ponsel Damian bergetar, ada panggilan yang masuk. Aletha mencondongkan tubuhnya ke arah meja, untuk melihat siapa yang menghubungi suaminya.
Tapi, rasa senang di hatinya mendadak hilang saat tahu yang menghubungi Damian adalah Bella.
Aletha membuang napas kasar. "Lagi-lagi dia. Kalau masih saling cinta, kenapa juga mereka harus bercerai?"
Aletha mendadak 'bad mood'. Ia menutup botol minuman tadi dan memasukkannya ke dalam plastik, lalu menyimpan plastik itu di lantai sedikit kasar.
Ia turun dari tempat tidur dan pergi keluar kamar. Suasana hatinya kembali memburuk. Ia tahu, Damian pasti akan pergi lagi menemui Bella dan menemaninya semalaman seperti kemarin malam.
Aletha turun ke lantai satu dan pergi ke dapur, si Mbak langsung menyambutnya dengan senyum ramah. "Non, mau makan apa? Biar si Mbak masakin."
"Tadi, sepertinya Non Aletha dan Tuan Damian tidur nyenyak sekali. Jadi, saya belum masak, karena takut gak bangun cepat dan keburu dingin makanannya."
Aletha menjawab dengan wajah datarnya, "Aku pengen pasta aja, Mbak."
"Pasta? Masa, makan malamnya pasta, Non?"
Aletha menatapnya dingin. "Kalau Mbak gak mau bikinin, aku bisa bikin sendiri, kok."
"E-eh... jangan. Biar saya yang buatkan," sahut si Mbak gugup.
Wanita berusia 40 tahun itu langsung bergerak mengambil bahan-bahan pasta dan memasaknya untuk Aletha.
Saat si Mbak sedang memasak pasta, Aletha memperhatikan wanita itu. Sesuatu mulai terpikirkan olehnya, dan mungkin saja wanita itu tahu sesuatu.
"Mbak," panggil Aletha pelan.
"Ya, Non?" sahut si Mbak tanpa menoleh.
"Waktu Damian menikah pertama kali, Mbak udah kerja di rumah ini belum?"
"Sudah. Saya kerja di sini hampir satu tahun, Non. Walaupun Tuan Damian awalnya jarang tinggal di sini, tapi saya tetap harus menjaga rumah ini selalu bersih dan rapi."
Aletha mangut-mangut.
"Terus, apa Mbak kenal istri pertamanya Damian?"
"Tentu saja. Mbak Bella, kan? Yang cantik dan seksi itu."
Aletha mengangguk.
"Hubungan mereka kayak gimana?"
Aletha bertanya pada pembantu Damian, sebab sedikit banyaknya wanita itu pasti tahu tentang Damian dan Bella, jika mereka pernah tinggal bersama di rumah itu.
Si Mbak tak langsung menjawab. Ia membawa sepiring pasta untuk Aletha dan meletakkan di meja, di hadapan wanita itu.
"Saya gak terlalu banyak tahu, Non, tapi... dari yang saya lihat, hubungan mereka kurang harmonis," ucap si Mbak, memberikan jawaban tadi.
"Kurang harmonis gimana?" Aletha menjadi semakin penasaran.
Si Mbak melirik ke pintu dapur, seolah memastikan tak ada Damian di sana. Ia duduk di kursi lain dan bersiap untuk bercerita pada Aletha.
"Kalau saya nggak salah... Mbak Bella itu orangnya memang baik dan perhatian sama Tuan, tapi..."
"Tapi apa?"
"Sepertinya Mbak Bella kurang memberikan servis pada Tuan."
Aletha mengernyit. "Servis apaan? Saya gak paham maksud Mbak?"
"Servis. Servis di sini maksudnya... pelayanan seorang istri terhadap suami, alias hubungan seksual, Non. Masa, Non Aletha gak paham?"
Aletha tersenyum canggung. Jelas dirinya tak paham, ia bahkan belum pernah melakukannya dengan Damian.
"Kenapa Mbak bisa menyimpulkan kalau Bella kurang memberikan servis kepada Damian? Bukannya, itu hal yang privasi ya?"
"Atau jangan-jangan... Mbak suka ngintip?" tuding Aletha dengan tatapan curiga.
Si Mbak langsung menggeleng cepat. "Eh, bukan. Bukan seperti itu, Non. Ya Allah... Mana mungkin saya ngintip, Non."
"Terus, si Mbak tahu dari mana hal-hal yang sensitif kayak gitu kalau bukan ngintip?"
Si Mbak melirik lagi ke pintu dapur, masih memastikan tak ada Damian. Ia seolah takut Damian akan mendengar ceritanya dan marah.
Si Mbak mencondongkan tubuhnya ke arah Aletha lalu berkata setengah berbisik, "Saya pernah gak sengaja lihat mereka bertengkar di kamar, saat saya akan mengganti pengharum ruangan di kamar yang satunya."
Aletha jadi makin penasaran. Ia pun ikut mencondongkan tubuhnya ke arah si Mbak. "Mereka bertengkar seperti apa?"
"Kalau tidak salah, waktu itu saya mendengar Tuan membahas tentang hak seorang suami dan Mbak Bella bilang dia belum siap. Dia minta Tuan menunggu lagi dan mengerti. Tuan mengatakan kalau dirinya sudah cukup lama menunggu kesiapan Mbak Bella, tapi Mbak Bella tetap tidak memberikannya. Tuan sepertinya marah saat itu, tapi ditahan karna mungkin tidak mau kasar terhadap istrinya," si Mbak bercerita sambil sesekali melirik ke arah pintu.
"Maksudnya gimana? Damian dan Bella belum pernah berhubungan (seksual) atau gimana?" tanya Aletha.
"Saya gak bisa bilang begitu, Non. Tapi kalau dugaan saya benar, mungkin begitu."
Aletha terdiam. Ia tiba-tiba saja ingat perkataan Damian tentang dirinya yang masih perjaka dan mengaku tidak suka wanita. Aletha sering mengejeknya masih perjaka karena dia gay, tapi ternyata faktanya Damian masih perjaka karena istrinya memang tak pernah memberikan haknya.
"Terus, habis itu... gimana kelanjutannya, Mbak? Apa yang terjadi antara Damian dan Bella?" Aletha ingin tahu kelanjutan cerita dengan penuh rasa penasaran.
"Setelah pertengkaran itu, Tuan Damian keluar dari kamar dan menutup pintu sedikit kasar. Saya waktu itu langsung bersembunyi karena takut Tuan melihat saya. Lalu Mbak Bella, dia menangis di kamarnya. Sepertinya merasa bersalah pada Tuan."
"Terus, mereka bercerai setelah pertengkaran itu?"
"Kalau tidak salah, mungkin dua minggu setelah pertengkaran itu, Non. Saya lupa lagi."
"Apa mereka sering bertengkar tentang hal yang sama?"
Si Mbak menggeleng. "Kurang tahu, Non. Selama ini, saya melihat hubungan mereka biasa saja, hanya saja kurang romantis. Saya malah pernah melihat saat Tuan mencium Mbak Bella di kolam renang, tapi Mbak Bella mendorongnya kasar, seperti tidak mau."
Aletha merasa heran terhadap sosok Bella. Bukankah aneh, jika seorang istri menolak suaminya mencium dirinya?
Tapi, Aletha segera menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran aneh di benaknya. Ia mulai berpikir, mungkin saat itu memang Bella enggan saja akibat 'bad mood'.
Damian datang tepat ketika Aletha masih menatap si Mbak dengan penuh rasa penasaran. Suara langkah kakinya terdengar jelas memasuki dapur.
Begitu Damian muncul di ambang pintu, si Mbak sontak terlonjak. Wajahnya berubah gugup, lalu ia buru-buru bangkit dari kursinya. "Eh... saya tinggal dulu, Non, Tuan," ucapnya cepat sambil merapikan celemek, lalu segera bergegas keluar dari dapur.
Aletha mengikuti gerakan si Mbak dengan tatapan curiga, jelas-jelas si Mbak tadi seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat ia ceritakan.
Damian melangkah masuk, alisnya sedikit berkerut saat melihat Aletha duduk sendirian dengan sepiring pasta di depannya. "Kamu nggak naik ke kamar lagi? Kok malah di sini?" tanyanya sambil berjalan mendekat.
Aletha menoleh sekilas, berusaha menutupi kekesalannya. "Lagi pengen diem di sini aja," jawabnya datar.
Damian menarik kursi dan duduk di sampingnya. Tatapannya jatuh pada sepiring pasta yang sudah setengah dimakan. "Pasta? Kamu sendiri yang masak?"
"Enggak. Mbak yang bikinin," sahut Aletha singkat, sambil menusuk potongan pasta dengan garpunya.
Damian menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil. "Kamu kelihatan masih pucat, tapi syukurlah nafsu makanmu balik lagi."
Aletha hanya menggumam pelan, tidak menanggapi panjang. Pikirannya masih terganggu oleh telepon dari Bella tadi, dan cerita yang hampir selesai diungkapkan si Mbak.
Damian sempat hendak menambahkan sesuatu, tapi Aletha sudah lebih dulu berucap. "Tadi ponsel kamu bunyi."
Pria itu menoleh padanya. "Kamu tahu?"
Aletha mengangguk, matanya tajam.
Damian terdiam sesaat, lalu menarik napas panjang. Senyum tipisnya perlahan menghilang, berganti dengan ekspresi serius. "Tadi Bella telepon karena..."
Aletha menaruh garpu dengan sedikit kasar di atas piring dan bangkit berdiri. "Dam, kalau kamu merasa Bella masih sangat berarti buat kamu, sebaiknya kalian balikan. Dengan begitu, kalian bisa hidup bersama lagi dan saling menjaga satu sama lain."
Damian mengernyit. "Kamu kenapa, Al? Kenapa selalu membahas tentang Bella, padahal aku gak mau membahasnya?"
"Kamu bilang, kamu nggak mau membahas tentang dia, tapi dalam hidup kamu seolah-olah dia itu nomor satu buat kamu. Gimana bisa, aku gak membahas tentang dia, Dam?"
Damian berdiri dan menatap Aletha dalam. Ia tahu, Aletha cemburu. Tanpa banyak berkata, Damian menarik Aletha ke pelukannya. Tangan kekarnya mengusap kepala hingga punggung Aletha dengan sangat lembut.
Aletha ingin melepaskan pelukan itu, tapi pelukan Damian sangat hangat, hingga membuatnya sulit melepaskan diri.
"Aletha... kamu berpikir bahwa Bella masih nomor satu buat aku, tapi kamu gak pernah berpikir bahwa aku selalu berusaha menjadikan kamu nomor satu," kata Damian.
"Aku mungkin memang masih memberikan perhatian buat Bella, tapi itu ada sebabnya. Bukan karena aku masih mencintainya, tapi karena aku tahu Bella itu kurang kasih sayang ayahnya sejak kecil."
"Bella selalu berusaha cari perhatian, karena memang ingin diperhatikan," tambahnya.
Aletha mendongak dan menatap suaminya. "Maksudnya, dia yatim?"
Damian mengangguk. "Ya, ayahnya meninggal sejak dia umur 3 tahun. Tapi ibunya langsung menikah lagi, dan sampai detik ini Bella hanya punya ayah tiri, bukan ayah kandung."
"Terus, kalau dia kurang kasih sayang dari ayahnya, apa harus dia selalu minta perhatian dari suami orang?" tanya Aletha dengan tatapan sengit.
Damian tersenyum geli dan menangkup wajah Aletha dengan gemas. "Memang gak seharusnya begitu. Aku juga gak tahu kenapa, dia selalu mencari perhatian dariku, padahal aku bukan suaminya lagi. Aku hanya bergerak karena kami sama-sama manusia. Itu aja."
"Halah... bilang aja kamu juga masih cinta dia," sahut Aletha kesal. "kalau kamu gak cinta, gak mungkin bela-belain selalu datang buat dia."
Damian tersenyum lagi, tatapan matanya sangat lembut pada gadis itu. Damian mendekatkan wajahnya pada wajah Aletha. "Untuk apa aku mencintai seseorang yang gak pernah mencintai aku?"
Aletha balas menatap mata Damian. Ia ingat apa yang diceritakan si Mbak padanya tadi dan juga kalimat yang pernah Damian ucapkan beberapa waktu kebelakang, tentang Bella yang tak mencintainya lagi.
Apakah itu artinya, cerita si Mbak itu membuktikan bahwa sejak awal Bella memang tidak pernah mencintai Damian, lalu akhirnya mereka memutuskan bercerai?
"Kenapa bengong?" tanya Damian.
Aletha menggeleng.
"Aku butuh seseorang yang mencintai aku, Aletha..." bisik Damian.
Lalu setelahnya, Damian menarik pinggang Aletha dan mencium bibir gadis itu. Aletha terbelalak, tapi kemudian membalas ciuman itu dengan lembut.
Di saat yang bersamaan, si Mbak kembali dan terkejut melihat adegan mesra itu. Ia yang merasa kikuk, langsung balik badan dan pergi dengan pipi memerah setelah melihat tuannya bermesraan dengan istri barunya.
"Sepertinya, sekarang Tuan sudah menemukan cinta yang sepadan..."
BERSAMBUNG...
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
selesaikan dulu masa lalumu dam
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu