Bagaimana jadinya seorang anak pelakor harus tinggal bersama dengan ibu tiri yang merupakan istri pertama dari ayahnya.
Alma selalu mengalami perbuatan yang tidak mengenakkan baik dalam fisik maupun mental, sedari kecil anak itu hidup di bawah tekanan dari ibu tirinya.
Akan tetapi Alma yang sudah remaja mulai memahami perbuatan ibu tirinya itu, mungkin dengan cara ini dia bisa puas melampiaskan kekesalannya terhadap ibunya yang sudah meninggal sedari Alma berusia 4 tahu.
Akankah Alma bisa meluluhkan dan menyadarkan hati ibu tirinya itu??
temukan jawabannya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penangkapan Ameer
Suasana sore turut menyapu pemandangan di sekitar, langit yang hampir meredup karena mentari perlahan mulai bersembunyi di balik awan putih. Di tengah perjalanan sore yang penuh dengan hiruk pikuk jalanan kota, seorang wanita yang duduk di jok mobil belakang merasa puas dan senang, karena sebuah bukti sudah ia kantongi.
Senyum hangat dan semangat membara mulai tertanam di dalam hatinya ketika mobil sudah membawanya pulang ke rumahnya, dengan langkah yang terburu-buru wanita itu mulai turun dari mobilnya, dia membawa segenggam alat bukti yang membuat anaknya itu percaya, dan tidak menuduhnya yang tidak-tidak.
"Zaidan ... Nak, Mama pulang!" seru Alma dengan perasaan yang menggebu-gebu.
Sementara Zaidan anak itu sedari tadi sedang mengurung diri di dalam kamarnya, sebagai seorang anak ia merasa selalu dibohongi dan di beri janji palsu oleh orang dewasa, pertama ibu kandung yang menghilang di waktu ia masih kecil, kedua neneknya yang selalu menghadirkan dirinya agar menjadi pribadi yang membangkang dan muda membenci orang lain dari sudut tertentu saja.
Sebagai anak kecil Zaidan tidak bisa membedakan mana yang baik dan benar-benar tulus hatinya masih gampang goyah mengikuti arah angin itu tersendiri, apalagi ketika hasutan itu mulai datang.
Alma mulai melihat Zaidan yang terduduk di tepi ranjang dengan alis yang di tekuk dan tangan yang menyilang di perut.
"Sayang, Mama sudah datang," ucap Alma mencoba untuk mendekat ke arah anaknya.
Seketika Zaidan mulai menatap wajah ibu sambungnya itu dengan seksama, ia langsung menagih janji sebuah bukti yang akan di janjikan oleh Alma.
"Mama ... Dari mana?" tanya anaknya itu sekilas tanpa tatapan.
"Sayang, Mama mulai membawa bukti itu, bukti kalau Mama tidak salah, dan Mama bukan penyebab dari semua ini," ucap Alma.
"Mana buktinya?" todong bocah itu.
"Baiklah," ucap Alma.
Alma mulai memutar kejadian di bagian Karina saja, bukan di bagian Shaka karena ia tahu Shaka masih belum mengerti akan tetapi anak kecil itu bisa membedakan di saat tahu kejadian sebenarnya.
Sementara Zaidan anak kecil itu tiba-tiba menangis dan menutup mata ketika tahu Alma di serang oleh kawanan ibu kandungnya dengan mata yang tertutup.
"Mama ...!" teriak Zaidan sambil memeluk Alma.
"Maafkan Mama ya Nak, bukan bermaksud menghasut dirimu tapi Mama hanya mencari pembelaan untuk diri Mama sendiri, agar tidak hilang kepercayaan dari kamu yang mulai menerima Mama," ucap Alma sambil memeluk anaknya.
"Berarti apa yang dikatakan Nenek salah ya, Ma. Mama bukan penyebab semuanya, tapi Mama juga korban, bahkan sampai sekarang luka Mama masih Memar," sahut anak itu sambil menatap wajah Alma penuh dengan tatapan iba.
"Syukurlah kalau Zaidan sudah mempercayai Mama lagi, dan mulai saat ini Mama mohon jangan muda percaya dengan omongan orang yang ingin membuat hubungan Zaidan dan Mama retak ya," ucap Alma meskipun terdengar menghasut, akan tetapi Alma tahu ini ia lakukan juga demi kebaikan anaknya.
Zaidan sudah melihat bagaimana penyiksaan yang diperbuat oleh ibu kandungnya terhadap Alma, bahkan sekarang anak itu kembali memeluk Alma dengan rasa bersalah yang tidak bisa ia ungkapkan dengan perkataan.
☘️☘️☘️☘️☘️
Malam harinya suasana terlihat begitu damai di ruang keluarga Alma yang mulai kembali mendapatkan kepercayaan anaknya ia mulai bermain kembali bersama Zaidan dengan seperti biasanya, dan pemandangan indah itupun tidak luput dari pengawasan Ameer yang berdiri di di belakang mereka.
"Wiiiih kelihatannya kalian berdua sedang baikan nih, Papa boleh gabung," ucap Ameer menghentikan canda mereka.
"Ayo sini Pa gabung, main tebak-tebakan dari tadi Zaidan kalah terus nih," ajak Zaidan dengan senyum yang mengembang.
Suasana bertambah ramai di saat Ameer mulai bergabung dengan keduanya, tawa mereka mampu menghiasi ruangan ini, bahkan anak kecil itu melepas semua tawanya ketika tangan kedua orang dewasa itu mulai menggelitik perutnya.
"Sudah Pa ... Ma, Zaidan geli ...!" ketawanya menggema membuat dua orang dewasa itu tambah menggelitik perutnya.
"Zaidan kan gak bisa jawab, tebakan dari Mama dan Papa, jadi ini hukuman untuk Zaidan," ucap Alma sambil ikut menggelitik pelan.
"Tapi Zaidan gak kuat nanti kalau pipis di celana gimana," sahut anak itu.
"Biarin di bawa ke kamar mandi kalau berani kencing sembarangan," ucap Ameer dengan tawanya yang lepas.
Kebahagiaan mereka terus terjalin hingga pada akhirnya keceriaan itu berhenti karena. Tiba-tiba, suara bel depan terdengar nyaring, memecah tawa dan kehangatan malam itu.
"Aku bukain ya!" seru Zaidan riang, hendak melompat dari pelukan mereka, namun Ameer dengan cepat menahannya.
"Tunggu, Papa saja yang bukakan," ucap Ameer sambil bangkit dan berjalan ke arah pintu.
Namun langkahnya terhenti saat ketukan kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih tegas, dan lebih... mengancam.
Alma bangkit, merasa ada yang tidak biasa.
Tak lama, terdengar suara dari balik pintu, membuat langkah Alma yang sudah berada di ruang utama menjadi terhenti.
"Kami dari kepolisian. Mohon Bapak Ameer membuka pintu. Ada laporan yang perlu kami tindak lanjuti."
Zaidan mendongak ke arah Mamanya. "Ma... itu suara polisi?"
Alma menahan napas. Tangannya secara refleks memeluk bahu Zaidan.
Ameer perlahan membuka pintu, dan di depan sana berdiri dua polisi berseragam, wajah mereka serius. Salah satunya langsung berbicara sambil menunjukkan surat tugas.
"Pak Ameer, Anda kami minta ikut ke kantor untuk dimintai keterangan atas dugaan kekerasan terhadap Karina, sebagaimana dilaporkan oleh pihak rumah sakit," jelas polisi tersebut yang terdengar oleh telinga Alma dan Zaidan.
Alma langsung berdiri, matanya membesar. "Tunggu... apa? Tapi ... Suamiku tidak ....." ucapnya menggantung.
Ameer mengangkat tangan, mencoba tenang. "Saya... saya akan ikut. Tapi bolehkah saya pamit sebentar kepada istri dan anak saya?" tanya Ameer sambil menatap wajah sedih anak dan istrinya.
Polisi mengangguk tegas. "Silakan, tapi jangan terlalu lama."
Ameer menoleh ke belakang. Di ambang pintu, Zaidan memeluk Mamanya dengan mata bingung.
"Papa mau ke mana?" tanyanya lirih.
Ameer berjalan mendekat, berlutut dan memeluk anak itu erat. "Papa harus pergi sebentar, Sayang. Tapi Papa janji, Papa gak akan lama. Jaga Mama, ya?"
Zaidan mengangguk meski matanya mulai berkaca-kaca.
Ameer lalu menatap Alma. Pandangan mereka saling bertaut. Tak ada kata, hanya bahasa hati yang berserak, diantara pandangan mereka.
"Aku titip semuanya padamu, Ma....," bisik Ameer.
Alma menunduk, tak mampu berkata apa-apa. Hanya air mata yang meluncur tanpa permisi. Tapi kali ini bukan karena luka, melainkan karena kehilangan sementara orang yang baru saja mulai menambal luka-lukanya sendiri.
Dan saat pintu tertutup kembali setelah Ameer digiring pergi, hanya suara napas dan isak kecil Zaidan yang menggema di ruang tamu yang tadi penuh tawa.
"Papa ... Aku tidak mau Papa pergi meninggalkan Zaidan dan Mama," tangis anak itu pecah.
Bersambung ....