NovelToon NovelToon
Heavenly Body, Broken Trust!

Heavenly Body, Broken Trust!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Romansa / Ahli Bela Diri Kuno / Fantasi Wanita
Popularitas:981
Nilai: 5
Nama Author: kimlauyun45

Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.

Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.

Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?

Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan dengan Anyu

Di balik pohon-pohon plum yang menggugurkan bunga ungu pucatnya, terdengar suara langkah—bukan ringan, tapi mantap. Banxue dan Jingyan menoleh bersamaan.

Seseorang muncul dari balik semak dan kabut tipis. Wajahnya masih seindah yang dulu—penuh ketenangan palsu, mata teduh yang seolah tidak pernah mengenal dosa, dan bibir yang tersenyum tapi menyimpan luka beracun.

Anyu.

Ia berdiri tegap, jubahnya berkibar lembut, tapi tangan kanannya sudah menghunus pedang. Dan ujung pedang itu—mengarah lurus ke dada Banxue.

“Kau datang,” ucap Anyu, suaranya rendah dan dalam. “Tapi kau membawa orang lain. Kau pikir aku tidak tahu cara membedakan antara Banxue yang mencintaiku… dan orang asing yang berdiri di hadapanku sekarang?”

Jingyan secara refleks berdiri di depan Banxue, tapi Banxue menahan lengannya, melangkah maju, menatap mata Anyu tanpa ragu.

“Kalau kau menginginkan pertemuan yang baik-baik saja, kau tidak akan mengarahkannya padaku seperti itu,” jawab Banxue, datar. “Tapi ternyata, kau masih menyimpan watak pengecut itu.”

Wajah Anyu tidak berubah, tapi sorot matanya menajam. “Kemarin… seseorang datang padaku. Mengaku sebagai Banxue. Dia mengingat semua: tempat kita biasa berlatih, tempat kau pertama kali menyentuh tanganku, malam ketika kita—”

“Cukup,” potong Banxue tajam.

Anyu menatapnya dengan kemarahan yang terbungkus kebingungan. “Dia menangis di hadapanku. Dia memelukku, mengatakan dia menyesal meninggalkanku. Dan aku percaya padanya, karena hanya Banxue yang tahu semua itu.”

Jingyan memandang ke arah Banxue dengan alis mengernyit.

Anyu melangkah lebih dekat, pedangnya masih terangkat.

“Kalau dia adalah Banxue… lalu siapa kau sebenarnya?”

Angin memutar dedaunan kering di sekitar mereka, seolah alam pun ikut menahan napas.

Banxue menatap pedang yang mengarah ke dadanya, lalu menatap mata Anyu.

“Aku adalah orang yang kau biarkan mati bersama seluruh sektenya. Aku adalah orang yang kehilangan semua yang dia cintai karena kau lebih memilih menyelamatkan keluargamu sendiri.”

Suara Banxue tak meninggi, tapi tajam. “Dan aku adalah orang yang tidak lagi peduli dengan wajahmu, dengan ingatan yang kau banggakan itu.”

Anyu tampak terguncang, tapi ia menahannya. Tatapannya masih penuh tuntutan.

“Kalau begitu siapa yang datang padaku?”

Banxue menoleh sedikit ke arah Jingyan, lalu kembali menatap Anyu.

“Itu pertanyaan yang seharusnya kau tanyakan pada dirimu sendiri. Karena hanya kau yang masih hidup di masa lalu yang busuk itu.”

Anyu mencengkeram pedangnya lebih erat. “Dia tahu segalanya tentangku… bahkan cara aku menyentuh rambutmu…”

“Kau pikir hanya kenangan yang bisa membuktikan siapa aku?” lirih Banxue. “Aku tidak perlu membuktikan apapun padamu. Karena aku tidak lagi milik kenanganmu, Anyu.”

Jingyan kini perlahan melangkah maju. “Kau tidak lihat betapa kerasnya dia bertahan dari luka yang kau buat? Siapapun yang kau temui kemarin… bukan Banxue. Kau hanya ingin percaya pada sesuatu yang sudah lama mati.”

Anyu menatap keduanya. Lalu menurunkan pedangnya perlahan.

Tapi bibirnya melengkung tipis, bukan karena damai—melainkan seperti seseorang yang menyimpan kartu terakhirnya.

“Kalau begitu kita akan lihat… siapa yang benar-benar mati, dan siapa yang hanya berpura-pura hidup.”

Ia memutar tubuhnya, menyarungkan pedang, lalu berjalan menjauh menembus hutan, membiarkan aroma bunga plum melayang di udara.

Setelah sosoknya lenyap di balik kabut, Banxue menghela napas panjang—tapi bukan karena lelah. Lebih karena jijik.

“Dia masih sama.”

Jingyan menoleh padanya. “Kau tidak terguncang?”

Banxue menatap tajam ke arah tempat Anyu menghilang. “Jika aku masih bisa terguncang oleh orang seperti dia… maka aku belum pantas bertahan sejauh ini.”

-----

Di sisi lain, jauh dari hutan tempat Banxue dan Jingyan berada, senja menggantung seperti kabut tua yang lupa turun ke bumi. Pavilion sunyi berdiri dalam bentuk yang tak biasa—atap-atapnya terbalik, tiangnya melengkung seperti akar yang tumbuh dari langit, dan aroma dupa hitam menyusup ke tulang.

Kultus Jiwa Terbalik.

Tempat yang bahkan para pengelana tidak berani sebut dalam doa mereka.

Di salah satu ruang kecil di kediaman itu, Hungyi duduk dengan lutut ditekuk, jari-jarinya saling meremas gelisah. Angin tak masuk ke kamar itu, namun udara tetap terasa dingin. Dinginnya bukan dari suhu, tapi dari sesuatu yang tinggal di balik bayangan.

Matanya menatap pintu.

Ia tahu Anyu akan datang.

Ia hanya tak tahu—dengan wajah seperti apa.

Suara langkah itu datang perlahan, berat… seperti orang yang menapaki kenangan yang ingin dilupakan. Kemudian, tiga ketukan ringan pada pintu kayu.

Hungyi berdiri dan membuka.

Dan di sana—berdiri sosok yang tak pernah ia lupa, dan tak pernah ia mengerti sepenuhnya.

Anyu.

Wajahnya masih seperti sebelumnya—tenang, terlalu tenang untuk orang yang baru saja mengarahkan pedang ke cinta lamanya. Tapi di balik ketenangan itu, Hungyi bisa melihatnya: mata yang murung, dan keraguan yang menggantung seperti darah di ujung bilah yang belum mengering.

“Masuklah,” ucap Hungyi pelan.

Anyu melangkah masuk. Pandangannya tidak langsung menatap Hungyi, tapi mengarah ke sekeliling ruangan, seolah mencari sesuatu yang tidak pernah ia temukan.

Mereka duduk. Sunyi.

Hingga akhirnya Anyu berkata, suaranya nyaris tak terdengar:

“Apakah kau… hanya bagian kecil yang Banxue buang?”

Hungyi tidak menjawab. Matanya menunduk. Air yang menggantung di pelupuknya tidak jatuh—ia tahu, ini bukan saatnya menangis.

“Bagian kecil yang berisi rasa cinta padaku… yang tak lagi dia butuhkan?” lanjut Anyu, nadanya tajam tapi terluka.

Hungyi masih diam.

Ia ingin menjawab, tapi tidak punya kata yang cukup benar.

“Aku tahu itu dia,” Anyu meneruskan. “Dia... yang di bawah pohon plum itu. Tajam. Dingin. Penuh kebencian. Tapi jujur. Itulah Banxue yang aku kenal. Banxue yang mencintaiku dengan segala keberaniannya—dan juga membenciku dengan keberanian yang sama.”

Hungyi mengangkat wajahnya. Ada ketakutan di matanya, tapi juga tekad rapuh.

“Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya, Anyu…” katanya pelan. “Yang aku tahu… buah pir itu… hanya mengabulkan keinginan terdalam dari siapa pun yang memakannya. Dan saat Banxue memakannya…”

Ia berhenti, menarik napas.

“…dia ingin hidup baru. Jauh dari perburuan. Jauh dari pengkhianatan. Jauh dari kematian.”

Anyu menatap Hungyi untuk pertama kalinya dengan mata yang tidak penuh tuntutan, tapi keheranan.

“Jadi… kau adalah itu? Wujud dari keinginan Banxue untuk… melupakan semuanya?”

Hungyi mengangguk perlahan.

“Aku rasa begitu. Tapi aku… tidak membawa semua dirinya. Hanya sebagian. Dan aku yakin… bagian tergelap, bagian yang terluka… bagian yang terlalu kuat untuk dimatikan… tetap tinggal di tubuh lamanya.”

Ia menggenggam dadanya sendiri, seolah menyentuh sesuatu yang hampa di dalamnya.

“Aku hanya sisa dari keinginan untuk damai. Tapi tidak utuh. Karena aku… kehilangan sebagian jiwaku juga. Dia tidak ikut bersamaku.”

Suara itu lirih, tapi jujur.

Anyu berdiri, langkahnya tak stabil. Ia memunggungi Hungyi dan menatap dinding kosong seakan berharap jawabannya terukir di sana.

“Kalau begitu…” bisiknya, “aku mungkin mencintai Banxue yang sudah mati. Dan sekarang… hanya terobsesi pada pecahannya.”

Hungyi menatap punggungnya. Ingin mengatakan sesuatu. Tapi… tak ada yang layak.

Anyu menoleh sedikit, separuh wajahnya terlihat dalam cahaya redup.

“Dan kau… kau tidak salah. Tapi kau juga bukan dia. Maka jangan mengaku sebagai Banxue di hadapanku lagi.”

Hungyi menggigit bibirnya.

“Aku tidak pernah mengaku. Kau yang ingin melihatku sebagai dia.”

Hening.

Anyu menghela napas dan berjalan keluar ruangan. Tapi sebelum pintu tertutup, ia sempat berkata:

“Aku tidak tahu siapa yang sebenarnya sedang aku cari. Tapi kalau kalian berdua adalah bagian dari Banxue… maka aku ingin tahu:

Siapa yang lebih dulu akan hancur… sebelum aku melupakan semuanya?”

Pintu menutup perlahan.

Dan Hungyi tetap duduk di tempatnya.

Menatap kosong.

Menahan air mata.

Dan menyadari… mungkin bukan Banxue yang ingin melupakan segalanya.

Tapi dirinya—yang tidak pernah tahu apa yang patut diingat.

1
Daisy
Keren banget sih cerita ini! Baca sampe subuh aja masih seru.
Winifred
Wow! 😲
Axelle Farandzio
Bahasanya halus banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!