Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tali Pelana yang Tak Terputus
Masalah yang menimpa Gavin saat ini ibarat pukulan telak di wajah. Pria itu sudah lama tidak pernah menghadapi krisis besar di kantornya. Sekali terpeleset, ia langsung jatuh ke jurang yang dalam—tuntutan hukum, tekanan media, dan ketidakpercayaan investor datang bertubi-tubi, menghantam fondasi reputasinya yang selama ini nyaris tak tersentuh.
“Siapa mereka sebenarnya? Sudah kamu temukan Vanesa?” tanya Gavin dengan suara serendah desis ular, menatap tajam ke arah Felix
Felix menelan ludah, gugup. “Saya mengecek paspor Bu Vanesa, Pak. Beliau sedang dalam perjalanan ke luar negeri untuk menjalani pengobatan.”
“Pengobatan? Pengobatan apa?” Gavin menyipitkan mata, nadanya mencurigai.
“Saya belum tahu pasti, Pak. Tidak disebutkan secara rinci.”
Vanesa memang ahli dalam membuat alibi. Saat Karin akan tampil dalam fashion show di Paris, Vanesa ikut serta dengan dalih ingin memeriksakan pundaknya yang cedera. Kepada Damian, ia mengaku menderita trauma otot akibat insiden kecil di rumah. Padahal, itu hanyalah manuver licik untuk menghindari penyelidikan Gavin.
Ia tahu pria itu tidak akan tinggal diam. Maka, saat krisis besar meledak di perusahaan Gavin, Vanesa justru mengajak Karin menikmati glamornya Paris, menyaksikan lampu sorot panggung, menyembunyikan jejak keterlibatannya dalam bayang-bayang couture dan kacamata hitam.
*
Gavin menemui Damian lagi.
“Apa istrimu sedang sakit?” tanyanya, netral, meski bola matanya memantulkan bara.
‘Walau bukan istrimu dia juga istriku’ ucapnya dalam hati.
Damian belum tahu kalau Gavin menikah dengan Vanesa.
Damian mengangguk pelan, memasang wajah sedih seperti aktor di layar lebar. “Iya, Pak. Maaf kalau akhir-akhir ini saya tidak bisa maksimal. Istri saya cedera. Katanya… ada yang mendorongnya hingga bahunya terluka. Dia ke Jerman untuk berobat.”
Alasan itu terdengar begitu masuk akal, terlalu masuk akal. Tapi Gavin bukan pria yang mudah ditipu oleh air mata buaya. Ia menugaskan anak buahnya untuk menyelidiki. Zidan segera menghubungi pihak imigrasi, menyelidiki catatan perjalanan Vanesa. Dan benar saja, semuanya sesuai: keberangkatan, tempat tinggal, hingga nama rumah sakit.
Yang tidak Gavin tahu, semua itu sudah disusun rapi oleh Vanesa dan adik laki-lakinya. Sebuah rekayasa yang nyaris sempurna.
Masalah yang menimpa perusahaan Gavin merembet ke Vander Group—perusahaan induk milik keluarganya. Kakeknya, pendiri grup tersebut, murka. Laki-laki tua yang terkenal mantan mafia itu . Dikenal dengan ketegasannya, ia memanggil cucunya pulang ke rumah utama.
Sebelum memasuki rumah, Gavin menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, badai yang lebih besar menunggunya di dalam. Saat tiba, ia langsung menuju lantai atas, ke ruang kerja sang kakek.
“Masuk!” suara berat dan penuh wibawa terdengar dari dalam.
Gavin membuka pintu, lalu melangkah masuk dengan langkah mantap. “Saya datang, Kek.”
“Kemarilah.” Suara itu tak bisa ditawar.
Gavin duduk di sofa berhadapan dengan meja besar sang kakek. Di balik kerut dan uban, aura sang pemimpin besar tetap memancar dari tatapan tajam yang tak kehilangan fokus.
“Kamu pasti sudah tahu kenapa kamu kupanggil.”
“Saya akan mengatasinya,” sahut Gavin dengan tatapan dingin.
“Berapa lama?”
“Secepatnya.”
“Secepatnya itu kapan? Satu hari? Dua hari? Satu jam?”
“Besok saya akan selesaikan,” jawab Gavin, datar tapi penuh keyakinan.
“Kalau satu perusahaan saja tak bisa kamu kendalikan, bagaimana kamu akan memimpin grup ini? Apa yang kamu lakukan selama ini? Bermain dengan wanita?” Nada suara sang kakek tak berubah, tenang namun menusuk.
Gavin mengepalkan tangannya. Ia tahu arah pembicaraan itu.
“Jika pikiranmu sudah terbelah antara pekerjaan dan perempuan, maka kehancuran adalah soal waktu.”
“Ini tidak ada hubungannya dengan wanita, Kakek,” tukas Gavin, mulai geram.
“Oh ya? Apa kamu masih mengejar Vanesa? Ingat Gavin dia adikmu sekarang.”
“Sudah cukup,” potong Gavin, berdiri. Matanya menghitam. “Jangan sebut dia adikku. Aku tidak punya hubungan darah denganya.”
“Ibunya sekarang istri Ayahmu, Gavin. Soraya adalah ibumu.”
“Jangan sebut nama wanita itu di depanku!” desis Gavin. “Mereka semua akan menerima balasan atas apa yang mereka lakukan pada Ibu!”
Kakeknya menghela napas, tetap tenang. “Antara benci dan cinta jaraknya sangat tipis. Hari ini kamu dendam, besok kamu bisa jatuh cinta lagi. Hentikan permainan ini sebelum kamu terbakar. Biarkan wanita itu hidup dengan pilihannya . Jangan pernah menahannya apalagi mengejarnya.”
Gavin tidak menjawab. Ia melangkah keluar dari ruangan itu, membiarkan pintu terbuka lebar di belakangnya. Ada amarah besar yang membakar dadanya saat Malik Mahesa menegurnya
Wajahnya kelam saat menuruni tangga. Nafasnya pendek-pendek, dadanya penuh bara. Saat hendak keluar rumah, langkahnya terhenti oleh suara lembut yang menyapanya.
“Gavin... kamu baru bertemu Kakek?” tanya Soraya, ibu tirinya.
Gavin hanya melirik sekilas. Tatapan itu dingin dan penuh cemooh. Tanpa sepatah kata, ia berjalan lurus ke mobilnya dan melaju menuju rumah baru Vanesa.
*
Sesampainya di sana, rumah itu tampak seperti museum tak berpenghuni. Tak ada perubahan, tak ada tanda-tanda kehidupan. Dua minggu berlalu sejak Vanesa menghilang setelah malam itu. Malam ketika Gavin, dalam kemarahan yang membuncah, mendorong wanita itu hingga pundaknya membentur ujung lemari.
Gavin memandang kamar kosong itu. Setiap sudutnya menyimpan jejak. Ia mencium bau samar tubuh Vanesa yang masih tertinggal di sprei. Tawa miring muncul di bibirnya, mengejek luka lama yang kini berusaha ditutup oleh dendam.
“Kamu ingin kabur dariku? Kamu tidak akan pernah bisa lepas karena tali pelanamu ada padaku, Danita.”
Ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya menatap langit-langit, lalu perlahan terpejam. Dalam tidurnya, mimpi itu datang lagi.
Hari itu Danita meninggalkanya di hari pernikahan mereka. Gavin menelpon tidak diangkat dan dia mengirim pesan
[Danita, kita harus tetap menikah. Hanya dengan begitu Ibuku bisa selamat] Tulis Gavin
[Ibu akan bunuh diri kalau Ayah menceraikannya untuk menikahi Soraya. Kumohon, menikahlah denganku] tulisnya lagi.
Lama tidak ada jawaban. Beberaja jam kemudian Vanesa membalas.
“Aku tidak bisa, Gavin. Aku tidak bisa menikah denganmu]
Dalam mimpi Gavin Vanesa berjalan menjauh. Lalu semuanya gelap. Dan saat cahaya kembali muncul, wajah Ibu Gavin muncul dalam gaun putih... dan kemudian melompat dari gedung.
“Ibu! Maaf… maafkan aku…”
Gavin terbangun. Keringat dingin membasahi pelipis. Ia mengusap wajahnya, matanya merah basah. Ia bangkit, berjalan ke kamar mandi, menatap bayangannya di cermin.
Dendam itu kembali membuncah.
“Aku akan menghancurkanmu, Vanesa Danita. Dan keluargamu.”
Bersambung.
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini