Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Sialan Claire
"Tuan, ini Susan." Suaranya bergetar, masih menyimpan banyak keraguan, berpikir apakah yang dilakukannya saat ini benar atau tidak. "Maaf mengganggu Anda tengah malam begini, tapi... ada masalah besar di penthouse."
Di ujung telepon, Charles Silvan yang baru saja hendak tidur langsung terbangun sepenuhnya. Sebagai patriark keluarga Silvan, ia terbiasa dengan panggilan darurat, tapi ada sesuatu dalam suara Susan yang membuatnya waspada.
"Susan? Ada apa? Ada masalah dengan Claire atau Ethan?" Nadanya tegas, penuh otoritas yang terbangun dari kebiasaan memimpin.
"Saya... saya tidak tahu harus mulai dari mana, Tuan." Susan tergagap, mencoba menyusun kata-kata. "Tuan Aaron... dia pergi. Dia sangat marah. Saya menemukan Nyonya Claire di lantai... dia menangis histeris dan baru saja merasa tenang. Dia bilang Tuan Aaron tahu... tahu semuanya. Dan ada buku harian yang ... yang ..."
"Buku harian? Apa yang kau maksud? Aaron marah kenapa?" Suara Charles menajam, naluri bahayanya terasah. Di sampingnya, Eva yang mendengar percakapan segera mendekat dengan mata penuh kekhawatiran.
"Ada apa, Charles? Apa yang terjadi dengan cucuku?" desak Eva, mencengkeram lengan suaminya.
Susan menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kebenaran yang akan mengubah segalanya.
"Nyonya Claire bilang... dia bilang Ethan... Ethan bukan anak mendiang Tuan Benjamin." Suaranya nyaris berbisik, tapi setiap kata terdengar jelas seperti guntur. "Itu... itu anak Tuan Aaron. Anak kandungnya sendiri."
Hening. Hening yang sangat panjang hingga Susan takut teleponnya mati.
"Apa?" Suara Charles meninggi, terkejut luar biasa. "Kau serius? Ini... ini tidak mungkin! Aaron... mengapa Aaron pergi? Dimana Aaron sekarang?"
"Dia bilang dia tidak bisa lagi berada di sini, Tuan," suara Susan semakin bergetar. "Nyonya Claire sangat terpukul ... dan Ethan ... dia terus menangis tadi. Saya tidak tahu harus berbuat apa."
Charles menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang tiba-tiba menghantam keluarganya. Sebagai pengusaha sukses, ia terbiasa menghadapi krisis, tapi ini adalah krisis keluarga yang berbeda tingkatannya.
"Baiklah, Susan. Tetaplah di sana. Jaga Claire dan Ethan dengan baik. Jangan biarkan apa pun terjadi pada mereka. Kami akan segera ke sana." Charles mematikan telepon dengan gerakan tegas.
Ia menoleh pada Eva yang menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran dan kebingungan.
"Eva, bergegaslah. Kita harus ke penthouse sekarang."
"Ada apa, Charles? Apa yang Susan katakan? Ethan baik-baik saja, kan?" Eva mendesak, naluri keibuannya berteriak bahaya.
Charles meraih mantel dan kunci mobilnya. "Nanti kujelaskan di jalan. Sekarang kita harus kesana. Ini..." Charles terdiam sejenak, merasakan beratnya situasi. "Ini jauh lebih rumit dari yang pernah kita bayangkan."
...****************...
Sementara itu, ratusan kilometer dari penthouse, Aaron Silvan mengemudi Lamborghini hitamnya dengan kecepatan yang membahayakan di jalanan Boston yang basah karena hujan malam. Speedometer menunjuk angka yang gila, mencerminkan kemarahan dan kekacauan batin yang tak terlukiskan.
Ia menyetir keluar dari gemerlap pusat kota, meninggalkan pencakar langit yang menjulang di belakangnya, menuju jalan-jalan sepi yang diselimuti pohon-pohon pinus. Tujuannya adalah vila pribadi keluarga Silvan yang tersembunyi di perbukitan, tempat yang biasa ia gunakan untuk menyepi dari hiruk pikuk dunia korporat.
Kali ini, ia melarikan diri dari dirinya sendiri. Dari kebenaran yang kejam. Dari perasaan yang tak bisa ia mengerti.
Vila itu muncul di ujung jalan berkelok—bangunan bergaya kolonial yang megah namun hangat, dikelilingi taman yang terawat. Tapi malam ini, tempatnya terasa dingin dan asing. Aaron memarkir mobilnya dengan kasar, hampir menabrak pagar batu.
Ia masuk ke dalam vila yang gelap dan sunyi. Tidak ada staf di sini. Tidak ada siapa pun. Hanya dia dan hantu masa lalunya yang menghantui.
Aaron menyalakan lampu, melihat sekeliling ruang tamu yang familiar namun kini terasa asing. Furniture antik, lukisan keluarga, piala-piala lama—semuanya adalah bagian dari kehidupan yang kini terasa seperti kebohongan.
Ponselnya bergetar keras di saku. Ia melihat layar—puluhan panggilan tak terjawab dari Claire. Beberapa dari Charles. Satu dari Eva. Semua menunggu penjelasan yang tidak sanggup ia berikan.
Aaron melemparkan ponsel ke sofa, mengabaikan getaran yang terus berlanjut seperti ejekan. Ia tidak siap untuk bicara. Ia tidak siap menghadapi siapa pun, terutama ayahnya yang pasti akan kecewa berat mengetahui betapa bodohnya putra semata wayangnya.
Ia berjalan ke perapian batu, menyalakannya dengan tangan yang masih gemetar. Lidah api menari-nari, memancarkan kehangatan oranye yang familiar. Tapi tidak ada kehangatan yang bisa membakar rasa sakit dan pengkhianatan yang membakar di dalam dadanya.
Aaron duduk di sofa kulit yang dingin, memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu ketika ia terbangun.
Ethan. Putraku.
Itu adalah kebenaran yang paling menyakitkan sekaligus paling indah yang mengoyak batinnya. Ia mencintai Ethan, cinta yang murni dan tulus pada bayi kecil itu yang telah tumbuh begitu kuat dalam hatinya. Tapi sekarang, cinta itu berbenturan dengan kebenciannya pada Claire.
Bagaimana ia bisa melihat putranya tanpa memikirkan manipulasi keji ibunya? Bagaimana ia bisa mencintai Ethan, hasil dari kebohongan yang begitu besar, tanpa merasa terkontaminasi oleh kemarahan?
Dan Claire... sialan Claire.
Claire yang manis dan rapuh di pelukannya. Claire yang perlahan menghancurkan dinding es di sekeliling hatinya yang selama ini terkunci rapat. Perasaan rumit yang baru saja ia mulai akui—ketertarikan, kenyamanan, mungkin sesuatu yang lebih dalam, kini terasa seperti racun yang menggerogoti.
Ada kemarahan yang membara, rasa muak yang tak terlukiskan. Tapi di balik semua itu, ada getaran samar dari perasaan lain yang tidak mau ia akui. Keintiman yang mereka bagi, ciuman curian di malam sunyi, bisikan Claire di pelukannya ketika Ethan demam...
Apakah semua itu hanya bagian dari rencananya?
Apakah semua kelembutan dan kenyamanan itu hanya alat untuk mengikatku?
Aaron tidak tahu bagaimana menghadapi campuran emosi yang merobek-robek jiwanya ini. Ia merasa malu. Malu karena dibodohi, malu karena perasaannya yang tidak konsisten, malu karena masih bisa merasakan sisa-sisa kerinduan pada wanita yang telah memanipulasinya.
Ia hanya ingin menghilang. Melarikan diri dari semua ini, dari kebenaran, dari perasaan campur aduk yang menguasainya.
...****************...
Malam semakin larut. Hujan mulai turun di Boston, membasahi jendela-jendela pencakar langit dengan air mata alam. Di penthouse yang megah, Claire masih terduduk dalam keputusasaan, dikelilingi puing-puing kehancuran yang ia ciptakan sendiri.
Di vila terpencil, Aaron berjuang dengan badai emosi yang mengoyak jiwanya, mencoba memahami bagaimana hidupnya bisa berubah total dalam satu malam.
Dan keluarga Silvan bergegas dalam mobilnya yang meluncur di jalanan basah, menuju konfrontasi dengan kebenaran yang akan mengubah dinamika keluarga mereka untuk selamanya.
Badai telah dimulai. Dan tidak ada yang tahu kapan badai ini akan berakhir.