Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Malam Minggu
"Dari mana aja? Dari tadi ditungguin Joana tapi nggak pulang-pulang." Bu Yanti langsung mengomeli Bara yang baru muncul di ambang pintu ruang makan.
Joana sedang duduk di sana bersama ibunya sembari menghadapi berpiring-piring cemilan dan gelas minuman yang sepertinya telah berulangkali diisi.
"Dari mana?" tanya Joana. "Pesan dan telfon aku nggak dibales ih," tambah wanita itu.
"Terserah gue juga sih mau bales atau enggak. Yang nyuruh Lo dateng ke sini juga nggak ada ." Ini adalah isi batin Bara. Tentu saja dia tak mengucapkannya secara langsung. Bisa-bisa perempuan itu akan lari pulang sambil menangis.
"Nonton," jawab Bara singkat dan menarik sebuah kursi di sebelah ibunya.
"Nonton?" tanya Joana.
"Heeh," jawab Bara mengangguk.
"Kesel ih, aku nungguin kamunya nonton. Ama siapa sih? Temen-temen reporter?" tanya Joana semakin penasaran.
"Ada deh... want to knooow aja (mau tauuu aja)," jawab Bara tertawa.
"Bara!" hardik Bu Yanti. Bara yang melihat ibunya mendelik malah semakin tertawa. Sementara Joana mengerucutkan bibirnya berpura-pura merajuk.
"Aku naik dulu ya, mau mandi." Bara bangkit meraih ransel yang tadi diletakkannya begitu saja di atas meja.
"Jangan lama-lama ya, aku udah kelamaan keluar. Pengen minta temenin kamu ke suatu tempat. Mumpung Sabtu malem. Kan Tante Yanti bilang kamu Selasa mau berangkat ke Belanda." Joana yang melihat Bara bangkit dan melewatinya menarik lengan pria itu.
Bu Yanti berdiri dari kursinya dan pergi ke belakang meninggalkan Joana yang dirasanya perlu mendengar sesuatu dari Bara.
"Kamu ke sini naik apa? Mobil kamu emangnya parkir di mana?" tanya Bara. Ia sudah menebak kalau Joana datang ke sana dengan menumpangi sebuah taksi. Soalnya wanita itu selalu memarkirkan sedannya di depan pagar kalau datang ke rumah.
"Naik taksi. Sengaja, kan kamu bilang naik motor itu asik. Aku pengen dianter naik motor malem ini." Joana menggeser kursinya dan menarik tangan Bara agar lebih mendekat.
"Emang kamu mau ke mana? Kayaknya aku nggak bisa deh," tukas Bara.
"Kamu baru pulang udah mau pergi lagi?" tanya Joana.
"Iya, penting banget."
"Ke mana sih?" Joana yang tadinya mencoba bertingkah menggemaskan sekarang memasang wajah serius. Matanya menatap Bara penuh selidik.
"Maaf, aku belakangan ini deket ama cewe."
"Kamu kok... Mahasiswi?" Joana memasang wajah kecewa tapi tak bisa menyembunyikan penasarannya.
"Bukan..."
"Jadi siapa sih? Kok bisa? Kamu selama ini gimana sih ke aku?" tanya Joana dengan wajah dan mata memerah.
"Maaf," sahut Bara.
"Siapa sih Ra? Pasti anak kampus. Fakultas apa?" desak Joana yang sekarang susah payah menahan amarahnya. Bara tahu bahwa wanita itu pasti akan menamparnya jika mereka sedang berada di luar.
Joana wanita yang cantik. Tubuhnya sintal sempurna dengan tinggi yang semampai. Kepala Joana hanya berjarak sejengkal saja dari Bara.
Joana adalah tipe wanita Alfa. Superior dan kuat. Ia wanita yang percaya diri. Terbiasa berbicara dengan petinggi kampus dan mengajar di hadapan ratusan mahasiswa membuat ia menjadi sosok yang lugas.
Joana pasti takkan mudah menjatuhkan harga dirinya dengan menangisi dia yang bukan siapa-siapanya, pikir Bara.
"Ra! Aku dari tadi ngomong. Seharian kamu pergi nonton dengan cewe itu? Jangan-jangan kamu malem nginep di tempat dia juga? Siapa sih Ra? Tega banget sih, aku tungguin kamu malah nonton, sakit banget tau Ra!" sergah Joana yang sekarang menaikkan nada bicaranya.
Dan benarlah perkataan Khalifah besar itu; bahwa seorang wanita mampu menyembunyikan cinta selama 40 tahun, namun takkan mampu menyembunyikan cemburu meski hanya sesaat.
Joana yang selalu berpikir dengan logika pun sekarang mulai menghentakkan kakinya dan berdecak marah.
"Kamu tuh jahat banget tau Ra!" Joana menggigit bibirnya dan memalingkan wajah.
"Tapi aku nggak pernah bilang apa-apa ke kamu Jo... Aku suka temenan ama kamu. Aku nerima kiriman makanan karena aku tau kamu pasti marah kalo nggak diterima."
"Tapi harusnya kamu bilang dari awal!" sergah Joana dengan nada tertahan.
"Kamu yakin bakal dengerin aku kalo aku ngomong di awal?" Bara balik bertanya. Joana berdiri dari duduknya dengan wajah memerah. Cengkeramannya belum lepas dari tangan Bara.
Wanita itu pasti ingin dipeluk dan ditenangkan, batin Bara. Ia ingin menenangkan Joana, tapi entah kenapa terasa berat sekali. Pakaian yang dikenakannya saja bahkan masih sama dengan yang dikenakannya tidur bersama Dijah. Rasa-rasanya ia juga masih mencium aroma popcorn bekas tangan Dijah yang menyentuh kemejanya.
"Setidaknya anterin aku pulang Ra!" ujar Joana akhirnya.
"Aku belum mandi, aku telfonin taksi aja ya..." tawar Bara merogoh saku celananya mengambil ponsel.
"Kalo itu aku bisa, nggak perlu kamu. Cuma nganterin aja nggak bisa. Keterlaluan banget sih kamu. Jangan anggap aku sebagai siapa-siapa. Sebagai temen aja," tambah Joana.
"Jo! Karena sebagai temen, harusnya kamu ngerti. Aku ada janji, ini udah mau malem. Aku belom mandi, mau jemput pacarku. Kalo kamu temenku, kamu pasti ngerti," tukas Bara akhirnya.
"Aku jadi bener-bener penasaran cewe mana yang kamu deketin," gumam Joana.
"Nggak usah penasaran. Dia cuma perempuan biasa. Terlalu biasa," sambung Bara.
Ingatannya seketika melayang pada ekspresi Dijah saat sedang memperhatikan seorang wanita yang bersandar di tubuh kekasihnya ketika mereka dalam antrian membeli cemilan tadi.
Dijah dengan tekunnya memperhatikan wanita lain yang sedang bergelayut manja di pelukan kekasihnya. Bara menangkap pandangan Dijah yang menilik seolah sedang berpikir dan mempelajari.
Meski sangat berharap Dijah bisa langsung mempraktekkannya, tapi Bara tahu wanita itu takkan mungkin melakukannya dalam jangka waktu dekat.
"Aku pulang sekarang Ra, salam untuk ayah-ibu kamu," tukas Joana menyambar tasnya dan pergi menuju pintu depan.
Bara cuma sempat mengatakan, "oh" saat Joana melintasinya tadi.
*******
Rokok di tangan Dijah sudah tersisa tiga bungkus lagi. Dan sejak tadi ia berkali-kali melihat ponsel yang diselipkannya di kantong kanan rok.
Bara belum ada menghubunginya, padahal jam kerjanya nyaris berakhir. Pria itu hanya sempat meneleponnya sebentar untuk bertanya sedang di mana Dinah berada.
"Mbak, berapa?" tanya seorang pria berumur 30-an yang sedang duduk di sebuah meja kayu berlapis taplak plastik bersama dua orang temannya.
"Tiga puluh lima ribu," jawab Dijah seketika berbalik saat merasa pria yang baru saja ia lewati bertanya tentang rokok yang dipegangnya.
"Mbaknya 35 ribu? Serius? Murah banget..." ucap pria kedua yang sedang mengajak Dijah bercanda sekaligus melecehkannya dengan kata-kata.
"Rokoknya..." jawab Dijah tersenyum. Setidaknya Dijah mencoba tetap tersenyum meski ia ingin mencampakkan rokok itu ke wajah pria yang mengejeknya.
"Kalo saya borong semua, Mbaknya mau ikut nemenin kita malem mingguan nggak?" tanya pria itu lagi.
"Maaf Mas... Kalau nggak jadi beli, saya lanjut jalan dulu," ujar Dijah berbalik hendak melanjutkan langkahnya.
"Eh tunggu! Jangan sombong-sombong dong Mba. Kalo dagang tuh harus lebih ramah. Nanti Mbak-nya bisa dipecat kalo nggak ngeladeni pelanggan dengan bener," tambah pria pertama yang awal tadi memanggil Dijah. Kedua temannya tertawa menyambut perkataan pria barusan.
"Ya udah, itu rokoknya saya beli semua. Tapi Mbak-nya duduk di sini temenin kita. Jam kerjanya kan udah abis. Rokoknya udah terjual semua," tukas pria pertama tadi seraya menarik lengan Dijah dan mendudukkannya di kursi plastik.
Dijah setengah terhempas sampai kursi plastik itu miring menempeli kursi yang diduduki pria yang menariknya.
"Nggak boleh kayak gini!" sergah Dijah menghempaskan tangan laki-laki yang melingkari lengannya.
"Hei!!"
Suara teriakan laki-laki dari kejauhan membuat beberapa orang yang mengisi beberapa meja di warung kopi itu seketika menoleh.
Bara yang baru turun dari motornya langsung berjalan mendekati Dijah.
"Lo kalo mau beli yang bener aja!! Gak mesti pake acara pegang-pegang tai!" teriak Bara yang masih mengenakan helmnya.
"Eh buka helm lo! Siapa lo berani teriak-teriak di sini!" Pria yang tadi memegang lengan Dijah ikut berdiri.
Bara menarik Dijah menjauhi meja tempat tiga orang pria yang kini semuanya berdiri menggeser meja.
Bara kemudian melepaskan helmnya dan menggenggam helm itu dengan tangan kanannya. Sebelah tangan kirinya masih mencengkeram tangan Dijah.
"Napa emangnya? Gak sanggup Lo beli rokok segitu? Biar gua kasi sekardus!" sergah Bara.
"Eh itu cewe aja nggak keberatan!" teriak teman si pria. "SPG Rokok aja belagu!" tambahnya lagi.
"Hei!! Emang kenapa kalo SPG Rokok belagu??" Tini yang baru datang dengan kibasan rambut apinya tiba-tiba telah berada di tengah.
"Siapa lo? Minggir!" teriak laki-laki pertama yang sudah geram pada Bara.
"Siapa??? Ya SPG Rokok lah! SPG Rokok yang belagu! Mau apa lo?" tanya Tini.
"Nggak usah belagu Lo!" balas pria itu.
"Halah!! Biasa ngrokok klaras klobot wae sok-sok an tekon udud larang, omong wae nek ora ono duit !! (Biasa ngerokok daun klobot aja sok-sok nanya rokok mahal. Bilang aja nggak ada uang)" Tini menarik lengan Bara dan Dijah menjauhi meja itu.
"Sok iye banget lo!" sergah pria pertama saat mendengar perkataan Tini.
"Tuman, ora modal! Sakdhurunge ngudhang barangmu kuwi, kulinakke ngudhang wedhokan sek ngganggo duitmu...!" ("Kebiasaan! Enggak modal! Sebelum mau manjain anumu itu, biasakan manjain perempuan dulu pake duitmu!")
"Tin! Ngapain narik-narik aku dari sana? Aku nggak takut ama mereka!" tukas Bara masih dengan nafas emosinya.
Saat mereka telah berjalan cukup jauh dari meja tempat awal keributan terjadi, Tini menghempaskan lengan Bara dan Dijah.
"Jah! Aku tau Mas-mu nggak takut ama mereka. Tapi ini masih jam kerja aku nggak mau kamu kena masalah. Mas-mu ini darahnya sedang berwarna biru kayak api. Bukan merah lagi! Api biru itu yang paling panas! Ya Mas-mu ini. Sana pulang! Kekepin di ketekmu biar dia adem!" Setelah mengatakan itu Tini berjalan melenggang meninggalkan Bara dan Dijah yang saling bertukar pandang.
To Be Continued.....