Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Kevin Tidak Tahu
Kembali ke kediaman Hernandez. Dua anak muda yang tidak berbuat apa-apa dengan kehebohan yang sedang dilakukan para orang dewasa, memilih menyingkir dan duduk santai di halaman samping rumah.
"Dunia bisnis, ternyata sangat mengerikan ya?" ujar Kevin ditengah obrolan yang dia lakukan bersama Nadira. "Demi keuntungan pribadi, banyak orang, yang tidak pandang bulu dan dikorbankan."
"Yahh, begitulah," ucap Nadira. "Bukankah cara kejam seperti itu juga dilakukan oleh Dirgantara?"
"Dirgantara?" Kevin terkejut mendengarnya. "Emang, apa yang telah dia lakukan?"
Nadira lantas tersenyum. "Ya, banyak," jawabnya. "Aku juga tahu hal itu, karena sering mendengar obrolan Papi dengan Om Harvez, jika menyinggung perusahaan Dirgantara. Demi kemajuan bisnisnya, dia tidak segan menghancurkan usaha lawan. Sudah banyak perusahaan kecil yang gulung tikar karena ulah Dirgantara."
"Separah itu?" Kevin nampak kaget mendengarnya.
Nadira mengangguk. "Bahkan, sikap seperti itu, Dirgantara turunkan kepada dua anaknya yang sedang mengembangkan bisnis. Aku dengar, usaha kosmetik yang didirikan Vina, juga sudah menghancurkan beberapa pesaingnya. Banyak yang bilang kalau Vina menggunakan cara licik untuk menjatuhkan lawannya."
"Apa! Diluar rumah, Kak Vina juga suka bertindak kejam?" tanya Kevin nampak tak percaya dengan cerita yang baru saja dia dengar.
Nadira sontak tersenyum masam. "Dia sudah terkenal di kalangan pengusaha wanita muda, dengan sikap arogannya," ucapnya. "Aku juga awalnya nggak percaya. Tapi teman-temanku banyak menunjukan buktinya. Pengusaha yang berskala kecil, benar-benar ditindas habis oleh Vina."
Kevin terperangah. "Aku pikir, dia hanya jahat di dalam rumah saja," ucap pemuda itu. "Aku nggak nyangka dia bisa kaya gitu. Terus, apa ada yang berani melawannya?"
"Yang pasti nggak ada lah. Kamu kan tahu, pengaruh Dirgantara juga sangat kuat. Mana ada yang berani terang-terangan melawan. Orang yang meneror pakai akun palsu aja ketemu dan langsung dituntut hukuman, apa lagi terang-terangan."
"Ya ampun," Kevin benar benar takjub. Sungguh fakta yang mencengangkan.
"Seandainya kamu jadi pembisnis, apakah kamu juga akan bertindak buruk seperti itu, Vin?" Kevin tertegun mendengar pertanyaan gadis yang menatap kepadanya. "Secara, kamu kan masih ada garis darah dengan Vina dan Vano. Apa mungkin, kelak, kamu juga memiliki sifat seperti itu?"
Kevin lantas tersenyum lebar. "Semoga tidak lah. Aku tuh punya cita-cita, pengin memiliki usaha yang menerapkan ilmu seperti kakek."
"Ilmu seperti Kakek?" Kening Nadira sedikit berkerut.
"Iya," jawab Kevin. "Aku ingin sebuah usaha yang bisa dimanfaatkan banyak orang. Seperti saat ini, Kakek meninggalkan beberapa petak lahan yang diolah warga sekitar. Meskipun tiap bulan aku dapatnya nggak banyak, tapi yang penting kita sama sama diuntungkan. Berkat sistem kerja sama yang dicanangkan oleh Kakek, banyak yang bisa mewujudkan mimpi sederhana mereka."
"Oh..." Nadira mengangguk paham. "Apa kamu nggak takut ada yang curang? Biasa kan, suka kaya gitu. Pasti ada satu dua orang ingin mendapatkan untung lebih."
"Takut sih pasti ada," jawab Kevin santai. "Tapi Kakek juga sudah mengantisipasinya. Kalau ada yang curang, langsung ditindak tegas. Sama sekali tidak ada kesempatan bagi yang curang untuk kembali gabung."
"Wahh, ya bagus tuh. Apa pernah ada yang seperti itu?
"Pernah. Bahkan orangnya menyesal sampai sekarang. Padahal, Kakek juga sudah memaaafkan. Cuma ya gitu, dia menyesal karena susah mendapat kerja yang layak bagi dia."
Nadira tersenyum masam. "Tapi memang banyak orang yang seperti itu sih. Contohnya itu, mantan anak buah Om Mario. Padahal kerja ikut Om Mario termasuk pekerjaan yang nyaman loh."
"Emang bisnisnya Om Mario itu apa saja sih? Kok bisa sampai kelas dunia?" Sebagai anak muda, Kevin tentu penasaran dengan kehidupan pria dewasa yang baru dia kenal.
"Ya ada banyak. Hotel dan pariwisata. Ada usaha dibidang Farmasi. Makanan cepat saji. Banyak lah pokoknya. Om Mario tuh nggak pernah ragu berinvestasi. Sahamnya, ada di banyak sektor."
"Wahh, keren ya," puji Kevin. "Seandainya saja dia punya keluarga, anaknya pasti senang banget tuh, bisa mewarisi harta kekayaan yang tidak terhingga."
"Pasti itu. Aku aja yang jadi keponakan, sangat senang."
"Hehehe... benar juga," balas Kevin. "Kemungkinan, kamu juga bakalan jadi ahli waris hartanya Om Mario. Dia kan nggak ada keluarga."
"Kalau itu sih aku nggak tahu," balas Nadira. "Tapi seandainya aku dapat pun, kayanya nggak semuanya. Soalnya aku pernah dengar, harta Om Mario tuh bakalan disumbangkan seandainya Om meninggal."
"Wahhh, ide bagus sih," ujar Kevin. "Tapi sayang juga yah, ngumpulin harta-banyak banget, tapi bukan dinikmati keluarga."
"Ya, begitulah."
Sejenak kedua anak muda itu terdiam. Sepertinya mereka telah kehabisan bahan pembicaraan. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, mereka kembali terlibat perbincangan yang lebih ringan, khas obrolan anak muda.
Di tempat lain, tak jauh dari gedung Black Diamond, terlihat tiga pria dewasa menatap gedung tersebut dengan penuh kekaguman.
"Kira-kira, kita akan mulai pencarian notebook itu di ruang mana, Man?" tanya salah satu pria, pada rekannya, yang mengajak pria itu untuk menyusup ke dalam gedung tersebut.
"Karena rencana kita ini berhubungan dengan Lavia, berarti kita mulai pencarian dari area kantornya," balas Dorman. Dia memang sudah cukup mengtahui seluk beluk gedung perkantoran tersebut.
"Ya sudah, mari kita beraksi," ucap rekannya. "Kita masuk lewat mana sekarang?"
Dorman menyeringai. "Ikuti aku." Dua rekan Dorman langsung mengikuti langkah pria berbadan agak buncit. Hingga sampai lokasi yang ditentukan, Dorman pun mulai beraksi, melalui celah yang dimaksud.
Sementara itu di dalam mobil, Harvez mengendarai kendaraan, dengan kecepatan yang cukup tinggi.
"Kok bisa ya? Ada yang berani berkhianat pada Tuan Mario," ucap Hendrick yang memilih duduk di sebelah Harvez. "Apa bayarannya lebih besar atau bagaimana? Padahal kan, kerja pada Tuan Mario, biaya hidupnya sudah sangat terjamin sampai tua."
"Namanya juga orang serakah," sahut Patrick yang duduk di belakang. "Mau sebesar apapun gaji yang didapat, nggak akan pernah puas. Kaya tukang korupsi itu."
Seketika Hendrick tersenyum lebar.
"Uang yang dihasilkan secara tidak wajar, memang lebih menggiurkan," Harvez pun ikut berkomentar. "Berry memilih berkhianat, pasti karena tawaran imbalannya tidak main-main."
"Tapi kok bisa, Tuan Marco kecolongan begitu," ucap Hendrick.
"Yang namanya maling, selalu mencari celah, Hendrick," Patrick jadi gemas sendiri. "Adanya dia berhasil kabur, pasti karena sudah diperhitungkan segalanya dengan cermat."
"Iya juga sih," Hendrick malah cengengesan.
"Tuan Mario kayanya juga tidak menyangka kalau Berry ada di Negara ini," ujar Harvez. "Dia pasti langsung mengerahkan pasukan keamanannya untuk mengejar orang itu dan komplotannya."
"Yah, sudah pasti itu," sahut Patrick. "Kita tunggu saja, kabar selanjutnya, akan bagaimana."
Dua pria lainnya mengangguk sepakat.