Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 34.
Berjalannya waktu, kondisi Elio semakin menunjukkan perubahan. Kedua kaki yang sebelumnya dinyatakan lumpuh, kini hal tersebut berangsur-angsur memberikan respon.
Terapi yang dijalani oleh Elio, dan juga berbagai dukungan dari orang-orang yang berada disekitarnya. Membuat perubahan itu semakin berkembang pesat, begitu juga dalam soal perusahaan. Dengan kembalinya Elio memimpin, membuat perubahan dan juga perombakan habis-habisan dalam struktur perusahaan.
Kehadiran Fio dalam kehidupan seorang Elio sangatlah baik, bahkan kedua orangtua dari Elio kini bisa bernafas dengan lega. Putera satu-satunya yang itu, kini kembali memiliki jiwa kepemimpinan yang sempat hilang.
"Pa, Elio sudah turun?" Angelina memberikan suaminya segelas air teh hangat.
"Belum, Fio saja baru datang. Paling sebentar lagi juga turun." Malik meneruskan menyeruput teh hangat yang disediakan oleh sang istri.
"Pa, mama senang banget loh Elio sudah mau move on. Apalagi semangatnya balik ke perusahaan, sangat bagus sekali." Angelina tidak dapat menutupi rasa bahagianya.
"Hmm."
"Mama ingin, Elio tidak lagi teringat sama wanita itu. Jangan sampai dia melihat Elio seperti ini, nanti malah mau balik lagi. Ih, mama jadi semakin nggak suka." Angelina sudah tidak menyukai jika Arabella masih mendekati anaknya.
"Hmm."
"Pa, kalau mama perhatiin. Kayaknya, Fio sama Elio cocok ya. Ya, walaupun kebanyakan suka berdebat. Tapi mama yakin, keduanya itu pasti saling suka." Penuh harapan yang Angelina inginkan atas hubungan puteranya itu.
"Hmm."
"Ish, papa. Hmm hmm hmm terus dari tadi, percuma mama ngomong dari tadi tapi tanggapannya hmm terus." Baru sadar respon sang suami, membuat Angelina kesal.
"Papa sedang sarapan, mama. Mama mau papa tersedak dan mati? Nggak kan?" Malik melirik istrinya yang masih nampak begitu kesal.
"Biarin." Berbalik kesal.
"Kalau papa mati, mama memangnya mau jadi janda? Nggak bisa jalan-jalan lagi, nggak bisa belanja? Terus..."
"Stop! Mama nggak mau, udah papa diam saja dan makan." Mendengar perkataan suaminya, membuat Angelina menjadi merinding.
Dimana, Angelina tidak mau kehilangan suaminya. Pria yang begitu sabar dan penyayang dalam menghadapi dirinya yang begitu bar-bar, untuk kekayaaan dan ketampanan suaminya itu adalah bonus setelah. Cinta Angelina begitu besar pada sang suami, begitu pun sebaliknya.
Sementara itu, didalam kamar Elio. Pria itu begitu manja dan menggunakan berbagai cara, agar membuat Fio menjadi kesal dan kerepotan.
"Sepertinya, dasi ini tidak cocok dengan kemejanya. Kamu carikan lagi warna yang cocok." Elio melepaskan dasi yang sebelumnya sudah terpasang dengan sangat rapi.
"Huh, harus berapa banyak lagi dasi yang mau dicoba tuan? Ini sudah jam berapa, lagian juga anda belum sarapan." Fio yang sudah mulai habis kesabarannya, mencari cara agar Elio bisa menghentikan kegilaannya dipagi hari.
"Carikan saja, saya tidak mau warna itu."
Dengan begitu malas dan kesal, Fio berjalan kembali menuju tempat penyimpanan dasi itu. Tidak tahu harus memilih warna apa lagi yang akan diberikannya pada Elio, lalu ia memutuskan membawa semuanya dasi itu pada Elio.
"Lebih baik, tuan sendiri yang memilihnya. Biar Tidak terjadi kesalahan lagi." Senyuman terpaksa itu terbit pada wajah Fio.
"Kamu g*la apa, hah?! Kenapa sebanyak ini?" Elio kaget, ketika Fio meletakkan semua dasi yang ia punya di atas kedua kakinya.
"Hehehe, biar nggak bolak balik. Ayo tuan, yang mana?"
"Kamu ini, saya itu menyeluruh kamu yang pilih. Kenapa malah berbalik sama saya? Cepat pilihkan." Dengan bernada kesal, Elio kembali menyuruh Fio.
"Tadi saya sudah pilih, tuan malah melepasnya lagi. Ya, lebih baik tuan pilih sendiri." Fio melipat kedua tangannya.
"Kamu berani membantah saya?" Elio menatap tajam pada Fio.
"Tidak membantah, hanya memudahkan tuan dalam memilih saja. Ayo pilih tuan, nanti malah semakin lama."
Tatapan itu masih tidak terlepas dari Elio, dengan menggerakkan kedua tangannya. Elio mengambil secara acak dasi yang ada, dengan masih menahan kekesalannya. Ia memasang sendiri dasi tersebut, sedangkan Fio membereskan semua berkas yang akan dibawa. Setelahnya, mereka berdua turun menuju ruang makan dan sarapan.
"Ah anak mama sudah tampan sekali pagi ini, ayo sarapan. Fio, ayo duduk." Angelina menyambut keduanya.
"Tidak nyonya, saya sarapan dibelakang saja sama yang lainnya." Memang sejak awal datang, Fio sudah bersama Rosi untuk sarapan.
"Ah jangan, kamu disini saja sama Elio. Ayo, jangan menolak." Angelina beranjak dari tempatnya dan membawa Fio duduk disamping Elio.
Dengan wajah kebingungan, Fio semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Apalagi, dengan tatapan Elio yang sangat membuatnya tidak nyaman.
"Anggap saja, kita adalah keluarga. Jangan dipikirkan Elio, dia hanya bisa marah saja." Malik menenangkan Fio, agar dirinya tidak merasa berbeda.
"Tapi tuan." Ada perasaan segan pada pria berkharisma itu.
"Hmm, ayo sarapan. Elio tidak akan menunggumu jika terlambat." Malik menyegerakan untuk Fio ikut sarapan.
Tentunya, Angelina juga nampak begitu antusias untuk hal tersebut. Akan tetapi, Elio tidak bisa membantah apapun jika yang berbicara itu adalah papanya. Mereka pun sarapan dengan caranya sendiri-sendiri, setelahnya. Baik Malik, Fio dan Elio. Mereka pergi menuju tempat dan tujuannya masing-masing.
Baru saja tiba di depan lobby perusahaan, tangkapan bayangan dari seseorang yang begitu dihindari oleh Elio berada disana. Arabella, wanita itu nampak seperti orang yang begitu berpengaruh disana. Betapa angkuhnya dia, dengan semaunya sendiri bersikap arogan.
"Hei, kamu. Bersihkan kursinya, saya mau duduk." Arabella meminta seseorang karyawan untuk membersihkan sofa tamu diruang tunggu.
"Baik nona, saya akan panggilkan petugas kebersihan dahulu." Ucap karyawan wanita yang berada di bagian penerima tamu perusahaan.
"Lama, kamu saja yang bersihkan. Cepat!" Dengan ketusnya, ia berbicara seperti itu.
"Tapi nona, saya ada pekerjaan lain. Mohon tunggu sebentar." Karyawan itu hendak melangkah, namun tiba-tiba saja ia tersungkur ke lantai.
Karena merasa tidak dihormati, Arabella pun menjadi kesal pada karyawan tersebut. Lalu ia melihat ketika karyawan itu mau pergi, dengan sengaja ia mendorongnya dengan cukup kuat.
"Rasakan, kamu sudah berani membantah saya. Kamu tahu, saya ini adalah calon istri dari pemilik perusahaan ini. Siapa pun yang membuat saya tidak nyaman, akan saya adukan pada Elio dan memecatnya." Dengan percaya dirinya, Arabella mengakui jika dirinya akan menjadi calon mendamping dari Elio.
"Maaf kan saya nona, saya tidak tahu." Karyawan itu meminta maaf.
Dari kejauhan, baik Elio maupun Max dan Fio hanya menyaksikannya. Tidak ada dari mereka yang ingin mencegahnya, sebelumnya Fio yang ingin membantu karyawan itu. Namun dengan cepat, Elio menahannya.
"Max, kita lewat jalur VIP saja." Elio meminta Max membawanya memalui jalur khusus.
"Siap tuan, darah tinggi juga lihat tu wanita setan pagi-pagi. Ih, ayo." Max membuka jalan untuk mereka.
Disela-sela mereka menuju ruang kerjanya, Fio dengan sengaja mengoda Max.
"Setan setan, itu setan cantik loh tuan Max. Awas, nanti benci malah jadi cinta." Fio menahan tawanya.
"Amit-amit, kerak nasi." Max bergidik merinding dengan ucapan Fio.
Keduanya asik bercanda, mereka melupakan jika ada satu orang lagi yang sedang menahan kekesalannya. Dan tiba-tiba saja, Fio yang posisinya sedikit berdekatan dengan Max, segera Elio tarik hingga ke sisinya.
"Eh." Fio kaget.
"Hahaha, cemburu ni tuan. Bilang dong, hahaha."