Aluna, 23 tahun, adalah mahasiswi semester akhir desain komunikasi visual yang magang di perusahaan branding ternama di Jakarta. Di sana, ia bertemu Revan Aditya, CEO muda yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti drama. Aluna yang ceria dan penuh ide segar justru menarik perhatian Revan dengan caranya sendiri. Tapi hubungan mereka diuji oleh perbedaan status, masa lalu Revan yang belum selesai, dan fakta bahwa Aluna adalah bagian dari trauma masa lalu Revan membuatnya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Tenaganya kuat sekali
Jam menunjukkan pukul 23.47. Aluna memeluk dirinya sendiri sambil berdiri di dekat jendela, menatap ke bawah, jalanan yang tampak basah dan kosong. Ponsel di tangannya sudah ia cek puluhan kali—tidak ada pesan, tidak ada kabar dari Revan sejak pria itu keluar dari kantor siang tadi. Ini bukan Revan yang ia kenal, meskipun tidak menghubunginya secara langsung biasanya Bastian selalu memberinya kabar, dan sekarang bahkan Bastian pun tidak bisa ia hubungi. Suaminya yang kaku dan dingin itu tak pernah meninggalkan pekerjaan seperti ini.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dari luar.
Klik.
Aluna langsung berbalik saat pintu terbuka. Di ambang pintu berdirilah Revan, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya merah, dan dari cara ia melangkah, jelas ia tidak sepenuhnya sadar.
Aluna segera menghampiri Revan, "Pak Revan ..., kamu mabuk?" tanyanya dan langsung mencari seseorang yang biasanya berdiri di belakang pria itu, tapi tidak ada, "Kamu sendiri?" tanyanya lagi.
"Menurutmu, aku dengan siapa?" tanyanya balik dengan suara serak.
Ia hampir terhuyung jatuh sebelum Aluna sigap memapahnya. Dan membawanya ke sofa tidak jauh dari pintu.
"Aku akan buatkan teh hangat untukmu." ucap Aluna yang hendak meninggalkan Revan di sofa tapi dengan cepat Revan menahan tangannya.
"Jangan pergi ..," lagi-lagi ucapnya serak.
"Aku hanya_,"
Srekkk.
Tiba-tiba Revan menarik kuat tubuh Aluna hingga membuatnya terhuyung dan jatuh tepat di atas tubuh Revan.
"Pak_," ucapan Aluna belum selesai saat Revan menempelkan jari telunjuknya tepat di atas bibir Aluna.
"Seharusnya bukan seperti itu," ucapnya sembari mengibaskan tangannya membuat Aluna mengerutkan keningnya.
Bukan, pak Revan hanya sedang mabuk, jangan dipikirkan ...., batin Aluna mencoba mengendalikan perasaannya sendiri. Meskipun begitu Revan tidak membiarkan tubuh Aluna bergerak satu inci pun dari tas tubuhnya.
"Jangan tinggalkan aku." rancau Revan lagi.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, pak Revan."
Srekkkk.
Cup.
Tiba-tiba Revan menarik tubuh Aluna, membuatnya berada di bawah kungkungan Revan dan meninggalkan kecupan di bibir Aluna.
"Pak ...," ucap Aluna lagi begitu bibir itu terlepas.
"Aku suamimu, kenapa selalu memanggilku seperti itu?" kali ini ucapan Revan terdengar begitu dalam.
"Tapi pak ...," Aluna bingung harus memanggil bagaimana. Ia sudah terlalu terbiasa dengan panggilan itu.
Revan berdecak, terlihat kesal, "Aku tidak terlalu tua kan untuk menjadi suamimu?"
"Suamiku." kali ini Aluna tidak lagi menghindar.
Revan tersenyum dan kembali menempelkan bibirnya di bibir Aluna, bukan hanya menempelkan saja, ada sesapan halus yang berhasil membuat tubuh Aluna meremang, ia tahu saat ini pria itu tengah dalam pengaruh alkohol, tapi ada hal yang mendorongnya untuk tidak menghindar, ia seperti menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Revan.
"Jangan di sini, kita ke kamar ya." bisik Aluna begitu menyadari semua tidak akan hanya berhenti sampai sebatas ciuman.
Revan mengerti, ia melepaskan tubuh Aluna. Aluna pun segera berdiri, sedikit merapikan bajunya yang sudah tidak terkancing sempurna karena ulah Revan.
"Aku akan membantumu ke kamar, suamiku." ucap Aluna lirih dan Revan pun hanya pasrah.
Dengan susah payah, Aluna membawanya masuk ke kamar dan merebahkannya di atas tempat tidur. Aluna hendak berlalu, tapi lagi-lagi Revan menahan tangannya.
"Jangan pergi," ucap Revan sembari menatapnya, dan untuk pertama kalinya, mata lelaki itu terlihat begitu... kosong tapi juga mendamba. Tatapan itu menusuk, seolah banyak hal yang selama ini ia pendam.
"Aku menginginkanmu, Aluna. Jangan pernah berpikir untuk pergi dariku." ucapnya dengan suara parau.
Aluna pun akhirnya duduk di samping Revan, ia mengusap punggung tangan Revan yang tengah menggenggam tangannya,
"Aku tidak akan pergi."
Revan tersenyum kemudian menarik tubuh Aluna, membuat Aluna sekali lagi jatuh di atas tubuh pria itu.
"Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku." ucap Revan membuat kepala Aluna yang berada di atas dada Revan, ia dongakkan kepalanya. agar bisa melihat wajah pria yang terdengar begitu kacau itu.
Aluna menatapnya lama, kemudian tersenyum mengusap bibir Revan yang terlihat begitu padat. Lalu perlahan, ia kembali memeluk Revan erat. Wangi alkohol samar bercampur aroma tubuh Revan yang familiar.
Revan pun membalas pelukan Aluna_ erat. Tangannya melingkari pinggang Aluna, dan tubuhnya menegang.
“Jangan lepaskan aku malam ini…” bisiknya rendah di telinga Aluna kemudian kembali menarik tubuh Aluna, membiarkan tubuh Aluna berada di bawah kungkungannya.
Apa yang terjadi setelahnya bukan sekadar pelampiasan dari kelelahan. Revan, yang selama ini selalu mengatur jarak, kini runtuh dalam diam. Ia memandang Aluna dengan sorot tajam yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya—penuh kerinduan yang tak pernah diucap.
Malam ini, Revan membiarkan dirinya lepas—mendominasi, mengungkapkan semua yang terpendam bukan lewat kata-kata, tapi lewat setiap sentuhan, setiap desah napas.
***
Aluna menatap wajah lelap di sampingnya, pria itu kini benar-benar menjadi miliknya seutuhnya. Malam yang dingin ini seolah menjadi saksi, bagiamana pria dingin itu begitu mendominasi. Masih hanya berbalut selimut tanpa sehelai benangpun yang meletakkan di tubuh mereka, Aluna masih bisa merasakan sentuhan pria di sampingnya itu, hangat dan kuat.
"Mabuk saja tenaganya besar sekali, kalau nggak mabuk gimana aku mengatasinya." gumamnya pelan masih sambil menatap wajah tampan itu. Seperti semuanya masih mimpi, yang ia bahkan tidak pernah memimpikan untuk menjangkaunya.
***
flashback on
Revan keluar dari klub milik Rommy, tapi ia tidak berniat untuk segera pulang. Ada ketakutan dari dirinya saat membayangkan bertemu dengan Aluna. Ia pun memutuskan untuk menuju ke rumah Bastian.
Bastian yang mendapati kedatangan bosnya pun cukup terkejut, apalagi pria itu tidak memberitahunya terlebih dulu.
Revan duduk di sofa ruang tamunya, memijat pelipisnya. Terlihat pria itu tengah banyak masalah.
"Pak, apa perlu saya panggil nyonya Aluna ke sini?" tanya Bastian ragu. ia tahu saat ini yang di butuhkan pria itu adalah wanita yang saat ini berstatus menjadi istrinya itu.
"Aku ingin minum." ucap Revan dan Bastian tanpa menunggu lama pun segera mengambilkan segelas air putih untuknya.
Pyarrrr
Bukannya menerima dengan baik, Revan malah melemparnya hingga air dan pecahan gelas berserakan di lantai.
"Aku ingin minum." ucap Revan lagi dan kali ini dengan suara dalam dan tatapan tajam pada Bastian.
Apa ini ada hubungannya dengan kembalinya Raysa? batin Bastian dan ia tahu apa yang dibutuhkan bosnya itu kali ini. Meskipun sudah lama pria itu tidak menyentuh alkohol, sepertinya saat pikirannya kembali kacau pelariannya tetap sama.
Bastian pun segera mengambilkan sebotol minuman, dan membiarkan Revan menghabiskannya sendiri.
"Jangan beritahu dia kalau aku ada di sini." ucap Revan lagi di tengah mabuknya. Dan Bastian sudah tahu siapa yang di maksud, ia melihat cukup banyak pesan dan panggilan dari Aluna, tapi ia tidak bisa memberitahu Aluna saat ini.
Hingga hampir tengah malam saat Revan sudah sangat mabuk, Bastian pun mengantarnya pulang tapi Revan tidak mengijinkan Bastian mengantar sampai atas.
Flashback off
Bersambung
Happy Reading