Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KARMIN BOSAN
Merasa kepalang malu karena dicibir oleh Sulis perkara warna merah di lehernya, Sri pun segera masuk lagi ke dalam rumah. Gondok sekali dia.
Tadi, Sri tergesa keluar saat mendengar suara Sulis dimanja-manjakan di hadapan Karmin. Dia sudah hafal betul bagaimana sepak terjang janda beranak satu itu yang selalu bersikap gatal di depan si Karmin.
"Sri, keluar, dong. Kamu malu, ya? Heheheh." Sulis terus terkekeh.
Sri tidak menyahuti. Dia pergi ke dapur untuk mengambil bawang putih, membelahnya, lalu ia gesekan ke area lehernya yang memerah. Seperti saran yang diberikan oleh sang suami semalam, Sri benar-benar melakukan hal itu untuk menghilangkan bekas cuph@@ng Mbah Samijan yang ia kira bekas cupang dari sang suami.
Tentu saja, bekas itu tidak bisa serta merta langsung hilang begitu saja. Pasti butuh waktu. Tapi Sri merasa tidak punya banyak waktu.
Hatinya kian memanas saat dia mendengar Sulis sedang terkekeh-kekeh senang dan bersenda gurau bersama dengan Karmin di warung bakso. Mereka memang kerap kali bercanda saat Sri tidak ada di dalam warung. Tapi Sri tak pernah memiliki firasat buruk terkait kedekatan sang suami dengan janda itu.
"Sri ... kok sembunyi?" Sulis kembali memanggil.
Dada Sri mulai kembang kempis. Dia segera menyambar jilbab instan dan ia pasangkan di kepalanya agar menutupi bekas merah di lehernya itu. Dia kembali keluar menghampiri Sulis yang tengah berdiri membantu Karmin membungkus bakso di depan gerobak.
"Minggir!" Sri langsung menggeser tubuh Sulis dan menggantikan posisinya untuk membantu sang suami memasangkan kuah.
Sri merasa geram sekali saat melihat Karmin mengizinkan Sulis membantunya mengambil kuah dari dalam dandang.
"Apakah Mas Karmin tidak takut kalau Sulis akan mengetahui tentang rahasia kolor itu?" Sri menggumam sebal.
"Eh, dibantuin bukannya bilang terima kasih, malah main senggol-senggol sembarangan." Sulis nampak kesal karena usahanya untuk merayu dan mencuri perhatian si Karmin ternyata gagal.
"Tidak ada yang meminta bantuanmu di sini. Kalau kamu datang ke sini untuk membeli bakso, ya sudah kamu duduk saja di kursi, tidak perlu sok-sokan menjadi orang baik dengan membantu suamiku membungkus bakso atau pun menyiapkan bakso untuk para pelanggan yang lain." Sri tersenyum sinis ke arah Sulis yang saat ini juga sedang meliriknya dengan sinis pula.
"Dasar gapura kecamatan!" Sulis langsung mendorong pundak Sri dengan kasar. Dia terlihat tidak suka karena diusir dengan paksa dari sisi Karmin.
"Gapura kecamatan itu selalu dicari banyak orang. Kamu tahu kan, para pengendara di jalanan atau para pengemudi selalu mencari gapura sebagai penanda suatu tempat atau untuk mencari suatu alamat, hehehe." Sri terkekeh.
"Beda ceritanya dengan seekor ulat bulu. Ulat bulu biasanya dibuang oleh petani atau pekebun, karena kehadirannya selalu mengganggu dan membuat tanaman-tanaman itu rusak," kelakarnya.
"Intinya apa? Ulat bulu selalu meresahkan karena fungsinya tidak ada. Ulat bulu itu adalah perusak!" tegasnya.
"Jadi, maksudmu aku ini sama seperti ulat bulu?" Sulis memekik sebal. Kedua bola matanya membulat sempurna. Dia mendelik lebar hingga kedua manik legamnya itu hampir mencelos jatuh ke lantai.
"Aku tidak bilang begitu." Sri menyahuti dengan santai sambil mengisikan kuah-kuah di mangkok yang sudah terisi oleh bakso-bakso racikan Karmin.
"Wes tho, Dek." Karmin menatap istrinya dengan tatapan tegas, karena dia sudah mencium bau-bau permulaan perang dunia ke-3
"Opo? Sulis yang memulai! Apa kamu tidak melihat bagaimana dia mencibirku terlebih dahulu?" Sri mendengkus jua.
"Wes diam, Dek! Fokus saja mengisi mangkok-makok itu dengan kuah, biar lekas rampung. Masih banyak itu yang antre menunggu. Ada 12 orang yang makan di sini, dan ada puluhan bungkus bakso yang harus dibawa pulang." Karmin menyorot kedua mata istrinya dengan tajam.
"Belain terus tuh ulat bulu," gerutu wanita gemuk itu.
"Dek! Jangan mengatai Sulis seperti ulat bulu. Itu tidak sopan. Apalagi ini banyak orang. Sebagai penjual, kamu tidak boleh mempertontonkan keegoisan dan kemarahanmu di depan pelanggan. Bisa-bisa mereka kapok untuk makan di sini." Karmin kembali melayangkan tatapan tajam ke arah istrinya.
"Dia yang lebih dulu mengataiku seperti gapura kecamatan, dan itu tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Semua pelanggan di sini juga hafal betul bagaimana Sulis yang gemar mencaci maki tubuhku ini." Sri hanya tersenyum miring.
"Tapi, Dek ... apa yang dikatakan oleh Sulis itu kan memang benar. Memang tubuhmu itu gemuk. Kalau olok-olokanmu tentang ulat bulu itu kan tidak benar." Karmin masih membela Sulis.
Bibir Sri mencebik. Dia nampak mengangguk-angguk perlahan dan memilih untuk bungkam. Namun, hatinya tetap merutuk tiada henti. Dadanya dipenuhi oleh kemarahan yang mengepul dan mulai menyesakkan diafragmanya. Napasnya mulai terengah.
Sri merasa atmosfer di sekitarnya mulai berkurang. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk meraup udara sebanyak mungkin. Karena dadanya serasa mau meledak. Bagaimana bisa ... Karmin justru membela Sulis di hadapan istrinya dan juga di hadapan para pelanggan yang sedang makan bakso?
"Kamu itu seharusnya lebih menjaga penampilan, Sri. Yah ... agar para pelangganmu tidak mual saat melihat lemak-lemak di tubuhmu itu. Lihatlah, kamu ini abot, gerak sedikit saja sudah berkeringat. Berada di depan dandang panas sebentar, kamu sudah berkeringat gobyos begitu. Orang-orang pasti jijik melihatmu." Sulis memiringkan selarik senyuman di bibirnya yang tipis dan berwarna merah menyala.
"Makanya ... jaga penampilan! Jangan seperti gapura kecamatan begini, hehehe," kelakarnya.
DEGH.
Sri terdiam. Tangannya berhenti mengayunkan sendok kuah. Dia melirik sekilas ke area bantalan perutnya yang benar-benar seperti orang hamil 12 bulan. Lalu ... dia juga melihat bagaimana lengannya bergelambir dan seluruh tubuhnya yang dipenuhi oleh lemak. Beruntung dia menggunakan jilbab, sehingga lipatan lemak di lehernya jadi tidak nampak.
"Benarkah aku ini se-menjijikkan itu?" Hati Sri mendesah lelah.
Sri tiba-tiba merasa malu dan merasa sangat rendah diri dengan penampilannya yang memang benar-benar mirip seperti gapura kecamatan. Ingin rasanya wanita itu menenggelamkan kepalanya ke dalam kuah bakso di dalam dandang, untuk bersembunyi dari para pelanggan yang saat ini sedang melayangkan tatapan dengan penuh arti. Ada yang nampak iba, ada yang nampak datar, ada pula yang nampak sedikit bergidik.
"Mungkin ucapan Sulis benar, mereka merasa jijik." Sri menggumam pelan.
Keadaan mendadak hening. Sri merasa waktu mulai melambat berputar. Dia sudah memasang kuda-kuda untuk berlari masuk ke dalam rumah dengan kecepatan ekstra.
"Sri ... dipanggil Emak." Tumi, tetangga yang tinggal tepat di sebelah rumah Sri tiba-tiba memanggil dari depan warung bakso.
"Emak Yem ...?" Sri mendongak.
"Iya, ayo cepetan, nanti Emak keburu esmoni, eh emosi." Tumi segera menghampiri Sri dan menggandeng lengan sahabatnya untuk pergi dari warung itu.
"Ada apa ya, Tum?"
"Kayaknya mau diajak membahas tentang sesuatu yang penting banget."
"Apa yo?"
"Wes ayo makanya ikut dulu." Tumi mempercepat langkah kakinya dan Sri pun mengekor di belakang tetangganya itu.
Sesampai di rumah Tumi, Sri langsung menjatuhkan bobotnya di atas kursi kayu jati berukiran minimalis di ruang tamu tetangganya tersebut.
"Aaahhhhh." Dia mendesah lelah.
Tumi pun duduk di depan Sri. Dia menatap wanita itu dengan tatapan iba. Tumi memindai wajah Sri yang memerah dan nampak mendung.
"Mak Yem mana, Tum?"
"Ke pasar."
"Lah? Katanya dia memanggil aku?"
"Tidak. Itu hanya alasanku saja." Tumi tersenyum simpul.
Sri terdiam. Menyadari jika perbuatan Tumi ini hanyalah sebuah alasan untuk menolongnya dari cibiran Sulis di depan para pembeli bakso tadi, Sri pun tiba-tiba tertunduk. Awan hitam yang sedari tadi mengepul di dalam dadanya, kini mulai merangkak naik dan menciptakan rintik-rintik hujan yang keluar dari kedua pelupuk matanya. Sri terisak.
"Menangislah!" kata Tumi.
"Jadi wanita itu harus strong. Jangan lembek!" titahnya.
Sri masih tersedu.
"Lagi pula ... sedari tadi aku memperhatikan kalian dengan seksama, dan aku bisa mengambil kesimpulan bahwa ... suamimu sepertinya sudah tidak lagi mencintaimu seperti dulu kala, Sri." Tumi mencebik.
"Ah, itu hanya perkiraanmu saja, Tum." Sri menyeka air matanya.
"Bisa jadi begitu. Tapi, seorang lelaki yang sudah tidak mencintai pasangannya, dia cenderung akan selalu menyalahkan pasangannya atas hal-hal sepele dan lebih membela wanita lain," kata Tumi.
"Tapi Mas Karmin pasti sangat mencintai aku, Tum. Kami tak ada masalah, kok." Sri menyahuti dengan yakin.
"Syukurlah kalau begitu. Jadi kamu sekarang harus mulai bersikap tegas kepada si ulat bulu. Nanti takutnya lama-kelamaan suamimu malah kecantol dia loh," sambung Tumi.
"Heemmm." Sri mengangguk pasti.
"Oh ya, jangan lupa kasih servis rutin yang memuwaskan di atas r*njang, agar Karmin tidak berpaling, hehehe." Tumi terkekeh.
"Servisku sih selalu memuwaskan, Tum, heheheh. Meskipun kami melakukannya jarang-jarang," kata Sri.
"Yah! Jangan jarang-jarang dong, Sri."
"Mas Karmin sering ogah-ogahan karena lelah setelah seharian berjualan."
"Wah, patut dicurigai tuh!"
"Apanya, Tum?"
"Ya suamimu."
"Ah, Tumi, Rek. Jangan ngaco ah."
"Lah? Ya memang sepatutnya begitu. Kamu harus pandai mencermati dari aktivitas kalian di atas ranjang. Jika Karmin terlihat berubah, sering menolak bercumbuan dengan ribuan alasan, terus dia terlihat mulai ogah-ogahan saat kamu ajak berchieenta, itu tandanya dia sudah mulai jengah dan BOSAN!" Mata tetangga Sri itu membola.
"Ingat itu, Sri! BOSAN!" tegasnya.
DEGH.
Sri tiba-tiba terperangah. Dia menelan ludah dengan susah payah. Sri mulai mengingat bagaimana suaminya selalu menolak saat diajak melakukan kikuk-kikuk di rumah, tapi Karmin selalu bersemangat jika waktunya melakukan kikuk-kikuk sambil mengasah kolor di rumah Mbah Samijan.
"Duh, apakah itu tanda-tanda kalau Mas Karmin sudah bosan kepadaku? Apakah dia memang benar-benar malas berhubhuuungan badan denganku yang kata Sulis mirip dengan gapura kecamatan ini?" Tiba-tiba hati Sri berbisik lirih.
"Sri! Kok melamun?" Suara Tumi mengangetkan wanita di sampingnya.
"Tum, Tum ... suamiku itu lho aneh." Sri pun akhirnya buka suara.
"Aneh gimana, Sri?"
"Belakangan ini, dia selalu menolak kalau aku ajak berchyinnnnta di rumah, tapi dia selalu bersemangat jika aku ajak bercyinnta di tempat lain." Lagi, Sri mendesah lelah.
"Di tempat lain itu di mana, Sri?"
"Anu, Tum ... di—anu." Sri terbata.