NovelToon NovelToon
Spring Song For You

Spring Song For You

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Romansa
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Violetta

cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...

aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 - Perasaan Baru

Setelah berjalan melewati beberapa lorong, perhatian Vio tertarik pada sebuah area terbuka berwarna cerah dengan suara tawa anak-anak dan denting musik ceria yang mengalun lembut. Sebuah zona bermain dalam ruangan yang tidak terlalu ramai, namun cukup menarik perhatian. Di antara warna pastel dan permainan sederhana seperti jungkat-jungkit, trampolin mini, dan mesin tangkap boneka, Vio terdiam sejenak.

“Eh?” gumamnya pelan.

Tissa yang ikut berhenti langkahnya menatap Vio heran. “Kenapa?”

Vio menoleh padanya, lalu tersenyum samar. “Masih ada waktu sebelum pulang, mau coba ke sana sebentar?”

Tissa menoleh ke arah zona bermain itu. Awalnya ia tampak ragu, matanya menyapu permainan yang tampaknya ditujukan untuk anak-anak usia lebih muda. Tapi Vio hanya berkata pelan sambil menyentuh bahunya, “Bukan buat main, cuma lihat-lihat, santai aja.”

Setelah beberapa langkah masuk, suasana di sekitar mereka langsung terasa berbeda. Meski tempat itu tak penuh, keberadaan keduanya dengan Tissa yang cantik dan manis, serta Vio yang berpenampilan santai namun memikat membuat mereka mencuri perhatian.

Beberapa ibu muda yang duduk sambil menjaga anak mereka menoleh. Seorang remaja yang tampaknya sedang menjaga adik kecilnya, dengan cepat membuka ponsel dan mencoba mengarahkan kameranya ke arah mereka secara diam-diam.

Tissa, yang berdiri di dekat mesin tangkap boneka, tampak menikmati pemandangan di sekitarnya. Ia menatap permainan itu dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Vio, ini bonekanya lucu banget...”

Vio mendekat dan melihat sekilas ke dalam mesin. “Mau coba?”

Tissa tersenyum kecil. “Boleh?”

Tanpa menjawab, Vio langsung mengeluarkan koin dari dompet kecilnya dan memasukkannya ke dalam mesin. Ia lalu merapikan posisi tuas dan mempersilakan Tissa mencobanya.

Saat Tissa sibuk mencoba mengendalikan capit boneka, Vio menyadari adanya gerakan tak biasa di pinggiran zona bermain. Seorang pria muda mengangkat ponselnya dengan posisi agak rendah, lalu mencoba mengarahkan kamera ke arah mereka.

Gerakan itu sangat halus tapi tidak cukup cepat untuk lolos dari perhatian Vio.

Dalam sekejap, Vio menoleh dan menatap lurus ke arah kamera itu. Matanya yang sebelumnya tenang, kini berubah tajam dan dingin.

Pria itu terkejut, lalu dengan gugup menurunkan ponselnya dan pura-pura melihat ke arah lain.

Vio tak berkata apa-apa. Ia hanya menghela napas pelan, lalu kembali menoleh ke arah Tissa, yang tampak kecewa karena capit bonekanya gagal.

“Hampir,” ucap Tissa pelan.

Vio tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. “Kalau begitu, biar aku coba sekali.”

Dia menggantikan posisi Tissa, memasukkan satu koin lagi, dan dengan ketelitian yang seperti biasa ia tunjukkan di hal-hal kecil, Vio menggerakkan tuas, lalu menekan tombol.

Capit itu turun dan berhasil mengangkat seekor boneka kelinci kecil berwarna putih lembut.

Tissa berseru kecil pelan, “Wah…”

Boneka itu jatuh ke lubang dan Vio langsung mengambilnya, lalu menyerahkannya ke Tissa dengan satu kalimat singkat, “Untukmu.”

Tissa memeluk boneka itu sambil tersenyum malu-malu. “Terima kasih…”

Di belakang mereka, beberapa orang yang melihat momen itu hanya saling berbisik kecil sambil tersenyum. Tak ada yang mencoba memotret lagi mungkin karena tatapan dingin Vio barusan masih membekas.

Namun suasana hangat antara keduanya menyebar seperti aroma teh hangat di pagi musim dingin mengundang kehangatan diam-diam bagi siapa pun yang melihatnya.

Langit mulai berganti warna. Cahaya matahari yang hangat perlahan berubah jingga, membentuk bayangan panjang di jalanan kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu kecil yang menyala satu per satu.

Vio dan Tissa berjalan santai menyusuri trotoar di luar pusat perbelanjaan, angin sore bertiup lembut memainkan helaian rambut keduanya. Suasana mulai tenang, dan setelah cukup lama berjalan, perut pun mulai mengisyaratkan kebutuhan akan makan malam.

“Langitnya udah mau gelap…” gumam Vio pelan sambil melirik ke langit barat.

Tissa yang berjalan di sebelahnya menoleh dan mengangguk pelan, memeluk boneka kecil kelinci yang Vio menangkan sebelumnya. “Iya…”

Vio mengusap pelan tengkuknya dan menoleh ke arah Tissa. “Mau makan di luar aja, ya? Udah mulai lapar juga.”

Tissa tampak memikirkan sejenak, lalu mengangguk tanpa suara.

Mereka pun terus menyusuri jalan, melihat beberapa restoran dan kafe, namun tidak satu pun membuat Tissa menunjukkan ketertarikan—sampai akhirnya, di sebuah sudut jalan yang lebih tenang, Tissa tiba-tiba menarik lengan jaket Vio.

“Ah… itu…” ujarnya pelan sambil menunjuk ke arah kanan.

Vio mengikuti arah jarinya. Di sana, berdiri sebuah kedai ramen bergaya klasik Jepang, dengan lentera merah yang menggantung di depan pintu dan papan kayu bertuliskan nama kedai dengan aksen tinta kuas hitam. Aroma kaldu yang khas tercium hingga ke tempat mereka berdiri.

Tissa menatap tempat itu dengan mata berbinar, lalu kembali menoleh ke Vio. “Boleh… yang itu?”

Vio menatap ekspresi wajah Tissa sejenak, lalu tersenyum kecil dan mengangguk. “Mau ramen, ya?”

Tissa mengangguk malu-malu, seolah tak sadar bahwa dia menunjuknya begitu antusias tadi.

“Heh,” Vio tertawa kecil. “Oke, ayo masuk.”

Keduanya pun melangkah masuk ke dalam kedai. Suasana di dalam hangat, dengan interior kayu dan cahaya kuning temaram yang menenangkan. Di balik meja panjang, seorang koki paruh baya menyambut mereka dengan ramah.

“Irasshaimase!”

Tissa langsung duduk di salah satu meja dekat jendela, dan Vio menyusul sambil membuka menu. Setelah mereka memesan, Tissa menatap ke luar jendela, melihat matahari yang kini hampir sepenuhnya tenggelam, sementara lampu-lampu jalan mulai memantulkan cahaya ke permukaan aspal yang lembap oleh embun senja.

“Rasanya seperti dalam film,” ucapnya pelan.

Vio hanya menatapnya dengan senyum tenang. Dalam hati, ia berpikir… Mungkin ini alasan kenapa kak Hilda ingin Tissa keluar rumah lebih sering. Karena dunia di luar tak hanya luas, tapi juga penuh warna yang belum sempat ia lihat.

Semangkuk ramen panas diletakkan di depan mereka oleh pelayan kedai, menguarkan aroma gurih kaldu yang bercampur dengan wangi daun bawang dan minyak wijen. Uapnya menari-nari pelan di udara, menghangatkan suasana di dalam kedai yang sederhana namun nyaman itu.

Tissa menatap mangkuk di depannya dengan takjub. Matanya sedikit membesar, lalu menunduk pelan, menghirup aroma yang mengepul naik dari kuah bening kecokelatan itu.

“Kelihatan enak, ya?” tanya Vio sambil membuka sumpitnya.

Tissa mengangguk kecil. “Aku belum pernah makan ramen langsung dari tempat seperti ini… Biasanya instan.”

Vio terdiam sejenak, memandang Tissa yang mulai mengaduk pelan isi mangkuknya—lembaran rumput laut, telur rebus setengah matang, irisan daging yang lembut, dan mi yang kenyal. Ada seberkas emosi yang menyelusup ke dadanya.

“Kalau begitu… makan pelan-pelan, nikmati rasanya. Ramen kayak gini lebih enak kalau dimakan saat masih panas,” ujar Vio lembut.

Tissa menatapnya sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk. “Iya…”

Suara seruputan mi dan sumpit yang menyentuh mangkuk menjadi irama tenang yang menemani mereka. Sesekali Tissa tampak memejamkan mata saat menggigit irisan daging yang lembut atau menyesap kuahnya.

“Hmm… ini enak banget…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan.

Vio tersenyum kecil melihat ekspresi polos itu. “Kan udah dibilang…”

Tissa menatapnya, lalu tiba-tiba tertawa pelan, “Kakak kayak… orang tua yang ngajak anaknya makan di luar pertama kali.”

“Heh?” Vio terbatuk kecil. “Aku nggak setua itu, Tissa…”

Tawa kecil itu membuat suasana menjadi lebih hangat. Beberapa pelanggan di dekat mereka sesekali melirik dengan senyum ramah, melihat interaksi kakak-adik yang manis dan alami.

Setelah beberapa suapan, Tissa mendongak dan berkata pelan, “Rasanya… nyaman. Bukan cuma makanannya. Tapi… semuanya.”

Vio menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. Tissa memandang meja, jemarinya bermain dengan ujung sumpit.

“Aku sering pindah-pindah. Rumahnya beda, tempatnya beda, orang-orangnya juga… Tapi ini pertama kalinya aku ngerasa kayak—kayak aku bisa duduk tenang, makan kayak gini, dan gak mikir apa-apa,” bisiknya pelan.

Vio menatapnya lama. Lalu dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, ia berkata, “Kalau begitu… jangan buru-buru pergi. Di sini, kamu bisa tenang selama kamu mau.”

Tissa tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu kembali menyesap ramen yang sudah sedikit mendingin, seolah ingin menyerap setiap rasa dan momen yang ada.

Matahari di luar telah benar-benar tenggelam, dan lampu-lampu jalan menari dalam bayangan jendela kedai. Tapi di dalam, kehangatan masih terasa, bukan hanya dari semangkuk ramen… tapi dari ikatan yang perlahan menguat di antara mereka.

1
Finn
ahhhhh..... lagunya bagusss kak /Cry/
_Graceメ: makasih (⁠╥⁠﹏⁠╥⁠)
total 1 replies
Finn
ohhh!!! 😲
Finn
ohh!!! ada lagu original nya /Drool/
_Graceメ: ada dong ヾ⁠(⁠・⁠ω⁠・⁠*⁠)⁠ノ
total 1 replies
Finn
main dobrak aja ya /Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!