Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Pagi itu, suasana rumah masih terasa canggung. Damar duduk di meja makan, menatap tumpukan foto yang dikirim Sofia dengan tatapan benci. Senja sedang menyiapkan susu untuk anak-anak, gerakannya masih kaku.
Tiba-tiba, Fajar Arun, si sulung yang ahli visual, merangkak naik ke kursi di samping ayahnya. Ia melihat foto-foto yang tersebar di meja. Damar hendak menyingkirkannya agar tidak dilihat anak-anak, namun Fajar menahan tangan ayahnya.
"Papa, look," ujar Fajar, menunjuk sudut foto di mana bayangan Damar dan Sofia jatuh ke lantai lobi hotel. "Bayangan ini... not right."
Damar mengerutkan kening. "Kenapa, Fajar?"
"Ada lampu lain di sana. Not from the ceiling," Fajar menunjuk sebuah pantulan kecil di kaca pintu hotel yang ada di latar belakang foto. Di sana, terlihat siluet kecil seseorang yang memegang kamera dengan lensa besar. "Ada orang sembunyi di balik bunga besar, Papa. Dia not tamu hotel."
Senja yang mendengar itu langsung mendekat. Sebagai fotografer profesional, ia segera menyadari apa yang dimaksud putranya yang baru berusia dua tahun itu. Fajar melihat angle pencahayaan yang tidak alami—ada flash tambahan yang disembunyikan.
"Damar, Fajar benar," bisik Senja, matanya melebar. "Foto ini diambil oleh profesional yang sudah bersiap di sana. Ini bukan foto candid dari orang lewat. Ini staged."
Damar memeluk Fajar erat. Kejeniusan anaknya baru saja memberikan peluru pertama untuk senjatanya. "Terima kasih, Jenderal Kecil. Papa tahu apa yang harus dilakukan."
Damar segera berangkat ke kantor dengan membawa pengamatan Fajar. Ia tidak lagi bersikap defensif. Ia memanggil Hadi, kepala keamanan dan intelijen perusahaannya yang merupakan mantan anggota militer.
"Hadi, aku ingin rekaman CCTV hotel itu secara utuh. Jika mereka bilang rusak, beli manajernya. Aku ingin tahu siapa yang berdiri di balik pot bunga besar pukul sepuluh malam itu," perintah Damar, suaranya dingin dan berwibawa, mencerminkan jiwa jenderal yang bertransmigrasi ke tubuhnya.
"Lalu, lacak metadata dari file asli foto ini jika Sofia mengirimkannya via email atau digital. Aku ingin nama fotografernya hari ini juga."
Damar tidak berhenti di situ. Ia mulai meninjau ulang semua kontrak PT. Jaya Sejahtera Material milik Sofia. Ia menemukan pola kecurangan: Sofia sering memberikan "servis tambahan" kepada pejabat proyek untuk memenangkan kontrak.
"Dia ingin bermain kotor denganku? Baik. Akan aku tunjukkan bagaimana cara menghancurkan kerajaan bisnis dengan satu gerakan catur," gumam Damar.
Malam harinya, rumah "Tiga Cahaya" berubah menjadi markas komando. Damar dan Senja duduk berdampingan di perpustakaan rumah. Untuk pertama kalinya sejak insiden itu, jarak di antara mereka menyempit.
Senja menggunakan perangkat lunak editing tercanggihnya untuk membedah foto-foto Sofia. Ia memperbesar pantulan di kaca yang ditunjukkan Fajar tadi.
"Ini dia, Damar. Lihat strap kameranya. Ini merk khusus yang hanya dipakai oleh fotografer paparazi kelas atas di kota ini," jelas Senja. "Aku kenal beberapa dari mereka. Berikan aku waktu, aku akan cari tahu siapa yang menerima pesanan dari Sofia."
Damar menatap Senja dengan kagum. "Maafkan aku, Senja. Seharusnya kita bekerja seperti ini sejak awal, bukan aku yang menyimpan semuanya sendiri."
Senja berhenti menggerakkan tetikusnya. Ia menatap Damar. "Kejujuran itu melelahkan di awal, Damar, tapi menyelamatkan di akhir. Jangan pernah lupa itu lagi atau buwung puyuhmu akan di potong habis oleh dia."
Keesokan harinya, Sofia datang ke kantor Damar tanpa diundang. Ia masuk dengan gaya angkuh, mengenakan pakaian merah yang mencolok, merasa sudah memenangkan permainan.
"Bagaimana, Damar? Istrimu sudah mengusirmu? Atau kau butuh tempat tinggal baru.. di apartemenku?" tanya Sofia sambil menyandarkan tubuhnya di meja kerja Damar.
Damar bahkan tidak mendongak dari dokumennya. "Sofia, kau tahu apa kesalahan terbesarmu?"
Sofia tertawa. "Apa? Terlalu mencintaimu?"
"Kesalahanmu adalah meremehkan penglihatan seorang anak kecil dan keahlian seorang istri," Damar memutar layar monitornya. Di sana terpampang foto fotografer bayaran Sofia yang tertangkap CCTV hotel sedang menerima amplop cokelat dari asisten Sofia satu jam sebelum insiden hotel.
Wajah Sofia memucat. Tawanya hilang seketika.
"Aku sudah mengirimkan somasi resmi. Bukan hanya pencemaran nama baik, tapi juga percobaan pemerasan dan suap proyek. Perusahaanmu akan diblacklist dari seluruh proyek pemerintah dan swasta mulai jam dua siang ini," kata Damar, suaranya sangat rendah namun penuh ancaman. "Dan satu hal lagi... jangan pernah sebut nama istriku dengan mulut kotormu."
Siang itu, rapat dewan direksi diadakan secara mendadak. Damar mempresentasikan semua temuan timnya. Ia menunjukkan bahwa Sofia sengaja menjebaknya karena Damar menolak memberikan "jatah preman" dalam proyek tender.
Bagus berdiri dengan bangga. "Putraku tidak hanya memenangkan tender dengan otak, tapi dia melindunginya dengan integritas. Sofia dan PT. Jaya Sejahtera resmi kita putuskan hubungannya, dan kita akan menuntut ganti rugi atas kerusakan reputasi perusahaan."
Sofia mencoba berteriak, mencoba membela diri, namun bukti digital dan saksi mata fotografer yang sudah "dibeli" balik oleh Damar tidak bisa dibantah. Ia dikawal keluar dari gedung oleh pihak keamanan. Reputasinya di dunia bisnis hancur dalam sekejap.
Malam harinya, Damar pulang ke rumah dengan bahu yang lebih ringan. Ia menemukan Senja sedang membacakan buku untuk Tiga Cahaya di perpustakaan.
Damar berlutut di depan Senja di depan anak-anak mereka. "Semua sudah selesai. Sofia sudah tidak ada lagi di dalam hidup kita. Dan aku... aku berjanji untuk selalu menjadikanmu partner utamaku dalam segala hal."
Senja menatap mata Damar, mencari sisa-sisa kebohongan, dan ia tidak menemukan apa pun kecuali kejujuran yang telanjang. Ia mengulurkan tangannya, membelai rambut Damar.
Cahaya Surya tiba-tiba bersorak, "Papa is the hero! Seperti di buku!"
Binar menyahut, "Logikanya, Papa menang karena ada Mama."
Dan Fajar hanya tersenyum sambil memegang pensil warnanya, ia mulai menggambar sketsa keluarga mereka berlima yang utuh, tanpa ada bayangan tersembunyi di sudut mana pun.
Senja akhirnya memeluk Damar erat. "Selamat datang kembali, Suamiku. akhirnya kau dapat membuktikan bahwa kau tidak bersalah"
