Xaviera wanita berusia 25 tahun, seorang anak dan cucu dari keluarga konglomerat. Namun kehidupan sehari-harinya yang berkilau bagaikan berlian berbanding terbalik dengan kisah asmaranya.
Perjodohan silih berganti datang, Setiap pria tidak ada yang benar-benar tulus mencintainya. Menjadi selingkuhan bahkan istri kedua bukanlah keinginannya, melainkan suatu kesialan yang harus di hadapi. Sebuah sumpah dari mantan kekasihnya di masa lalu, membuatnya terjerat dalam siksaan.
Suatu hari, pertemuan dengan mantan kekasihnya, Rumie membuatnya mati-matian mengejarnya kembali demi ucapan permintaan maaf dan berharap kesialan itu hilang dalam hidupnya.
Akankah Xaviera bisa mendapatkan maaf yang tulus dari Rumie?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Melihat pertengkaran yang tak terkendali itu, Jones segera meminta bantuan penjaga keamanan di kantor. Karena dia sendiri kesulitan untuk melerai keduanya. Jones meninggalkan ruang kerjanya, dan membiarkan petugas keamanan mengurus perkelahian dua wanita yang berada di ruang kerjanya.
“Suruh Rudy menyiapkan mobil!” ucap Jones pada sekretarisnya.
“Baik, Tuan.”
Jones memilih mencari ketenangan, dan pergi dari kantornya sementara.
“Astaga, rumit sekali kehidupan wanita.”
Setelah berada di luar gedung, sopir telah berada tepat di depan pintu lobby.
“Aku ingin ke rumah sakit,” ucap Jones pada sopirnya.
Mobil pun melaju ke arah rumah sakit, dimana istrinya Maria berada. Ketenangan Jones hanya melihat istrinya yang koma terbaring diatas ranjang tidur.
“Maria, mungkin kamu hanyalah satu-satunya wanita yang tidak pernah membawa permasalahan dalam hidupku,” ucap Jones, duduk di samping istrinya.
Di dalam kantor ruangan Jones. Saat ini perkelahian itu telah berakhir. Setelah dua orang penjaga keamanan ikut babak belur akibat melerai Xaviera dan Rezty.
Rezty meninggalkan kantor Jones, setelah mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit.
Sedangkan Xaviera, dengan nafas terengah-engah duduk di sofa. Meneguk segelas jus jeruk dan mengatur nafasnya.
“Apa yang terjadi dengan, Rumie?” Xaviera penasaran dengan kondisi Rumie saat ini.
Xaviera mengambil ponselnya. Dia segera mengutus seseorang, untuk mengikuti mobil Rezty diam-diam. Agar, Xaviera tahu di rumah sakit mana Rumie mendapatkan perawatan.
“Sialan! Rambutku berantakan dan pakaianku lusuh seperti ini,” gerutu Xaviera.
Dia berjalan keluar meninggalkan ruangan Jones dan kembali ke rumah. Sambil menunggu kabar dari orang suruhannya, yang mencari tahu tentang Rumie.
Tidak butuh waktu lama, sebuah pesan yang tertera alamat rumah sakit telah dikirimkan oleh seseorang.
Xaviera yang tengah duduk di kamar dan sedang mendapatkan perawatan luka di wajahnya oleh pelayan, segera bangkit dan bergegas.
“Nona, belum selesai,” ucap salah seorang pelayan, yang kebingungan. Karena belum selesai memberikan penutup luka di dagu Nona mudanya.
“Aku ada urusan. Suruh sopir menyiapkan mobil, cepat!” teriak Xaviera.
“Baik, Nona.”
Xaviere keluar dari rumah, melaju pergi diantar sopir pribadinya menuju rumah sakit dimana Rumie dirawat.
Tiba di rumah sakit, Xaviera mencari tahu kepada resepsionis tentang Rumie. Setelah mendapatkan informasi, Xaviera terkejut, jika Rumie sebelumnya mengalami kecelakaan mobil.
Saat ini Rumie masih di dalam ruang ICU dan belum sadarkan diri, di dalam ruangan dokter. Rezty duduk untuk mendapatkan informasi.
Dokter menunjukkan hasil rontgen kepala Rumie, dimana Rumie mengalami luka yang serius di kepala dua kali. Itu membuat beberapa saraf otak tidak berfungsi dengan baik, sehingga mempengaruhi kemampuan motorik dan kognitif Rumie.
“Kondisi Rumie sangat kritis,” kata dokter dengan nada yang serius. “Kemungkinan besar, ia akan mengalami kelumpuhan otak atau jika ia sadar, kondisinya tidak akan bisa seperti semula.”
Rezty terkejut dan merasa seperti dihantam petir. Ia tidak bisa membayangkan anaknya mengalami kelumpuhan otak atau tidak bisa hidup seperti biasa lagi. Ketakutan akan kehilangan anaknya, kembali menghantui.
“Berapa waktu yang kita miliki untuk mendapatkan perawatan?” Rezty bertanya dengan suara yang bergetar.
“Tidak banyak waktu, Nyonya,” jawab dokter dengan nada yang lembut. “Hal paling buruknya, Rumie memiliki waktu 3 bulan untuk bertahan hidup.”
Rezty merasa seperti dunia telah runtuh. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anaknya lagi dalam waktu yang singkat.
“Tidak mungkin.” Rezty menggelengkan kepala, menolak diagnosa yang diberikan dokter. “Pasti ada perawatan lain yang bisa membantu putraku, kan?”
Dokter memandang Rezty dengan empati, tapi juga dengan nada yang profesional. “Saya paham bahwa ini sangat sulit untuk diterima, Nyonya. Tapi, kami telah melakukan semua tes yang diperlukan dan hasilnya menunjukkan bahwa kerusakan otak Rumie sangat parah. Kami telah mempertimbangkan semua opsi perawatan yang tersedia.”
“Apa Anda tidak tahu, selama ini Rumie telah menjalani beberapa terapi dan mengkonsumsi obat untuk meredakan rasa sakit kepalanya?”
Rezty menggelengkan kepalanya, karena dia tidak tahu selama ini Rumie menyembunyikan rasa sakit yang dideritanya.
“Sepertinya, dia sudah tahu dengan kondisinya yang tidak mungkin membaik dengan mudah. Karena itu dia menyembunyikan ini dari, Nyonya.”
Rezty menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir. Ia tidak ingin menyerah, ia ingin mencari harapan lain, apapun itu. “Tapi, apa tentang perawatan eksperimental? Atau dokter spesialis lain yang bisa membantu?”
Dokter mengangguk paham. “Kami bisa membantu Anda mencari dokter spesialis lain untuk memberikan pendapat kedua. Tapi, saya ingin Anda tahu bahwa prognosisnya tidak akan berubah secara signifikan. Kami akan melakukan yang terbaik untuk membantu Rumie, tapi kita harus realistis tentang kemungkinan hasilnya.”
Seketika tubuh Rezty langsung lemas dan hilang kesadaran mendengar kabar menyedihkan itu terjadi pada putranya. Dokternya segera memanggil perawat untuk memberikan perawatan kepada Rezty di ruangan lain.
Xaviera yang melihat Rezty dibawa dibawa perawat dengan brangkar, segera ikut mencari tahu apa yang terjadi. Ia merasa khawatir dan penasaran tentang kondisi Rumie dan Rezty.
Xaviera kemudian menemui dokter yang sedang memeriksa Rumie dan berpura-pura menjadi adik Rumie.
“Maaf, dokter. Saya adalah adik Rumie,” kata Xaviera dengan nada yang khawatir. “Apa yang terjadi pada kakak saya? Dan bagaimana dengan ibu saya? Mengapa dia pingsan?”
Dokter memandang Xaviera dengan simpati, tidak menyadari bahwa Xaviera sebenarnya bukan adik Rumie. “Saya paham bahwa ini sangat sulit untuk diterima,” kata dokter dengan nada yang lembut. “Kondisi Rumie sangat kritis, dan ibu Anda sangat terpukul dengan berita ini. Kami telah melakukan semua yang kami bisa, tapi..."
“Apa yang terjadi dengan kakak saya?” tanya Xaviera, dengan lantang.
“Kakak Anda mengalami cedera kepala yang serius, dan kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk membantu. Namun, prognosisnya tidak terlalu baik. Kami khawatir bahwa kakak Anda tidak akan bisa bertahan lama.”
“Dia hanya memiliki waktu 3 bulan untuk perawatan dan bertahan hidup.”
Sontak setelah mendengar hal itu, Xaviera tidak bisa menahan air matanya lagi. Jantungnya berdegup kencang, rasa sakit memenuhi dadanya.
Tangisan Xaviera pecah, dan ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi. Ia merasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya sendiri, dan tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa Rumie di sisinya.
“Ini tidak mungkin!”
“Ini tidak mungkin terjadi.”
“Ini pasti hanya mimpi buruk, Rumie tidak akan meninggalkanku.”
Nah loh Xaviera, yang kesalahan dulu aja belum sempat minta maaf. Di tambah dosamu yang sekarang pada, Rumie?
Bayangin cuma 3 bulan, 3 bulan Rumie bisa bertahan hidup! Pikir-pikir lagi kamu mau gimana, cara minta maafnya selama Rumie masih hidup.
Yuk, jangan lupa support karyaku.
Dengan cara vote, like, subscribe dan berikan komentarnya.