Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kevin di kesunyian malam
Hari sudah semakin larut, keadaan sudah sangat sunyi. Sebagian staff rumah sakit sudah pada pulang menyisakan rekan-rekan mereka yang mendapat tugas jaga malam. Begitu juga dengan Kevin, sebenarnya shift dia hari ini sudah selesai dia tidak lagi jadwal operasi apa pun, tapi malam ini raganya begitu berat untuk meninggalkan tempat ini. Dia terus mengkhawatirkan keadaan Alena, perempuan itu setelah mendapat perawatan dia terus tertidur, tidak ada tanda-tanda akan sadar.
Ingin sekali mendatangi wanita itu, tapi Danendra terus mengusirnya bahkan rekannya itu menuduh dia ingin memperkosa istrinya, tentu saja dengan tuduhan seperti itu membuat Kevin panik, apalagi Aleon juga mempercayai perkataan adik iparnya.
Dengan langkah gelisah Kevin berjalan di koridor yang sunyi, hatinya terus bergemuruh ingin tahu keadaan Alena, karena tadi pagi dia menyaksikan sendiri wanita itu kesulitan bernapas. Tidak jauh dari kamar tempat Alena di rawat Kevin berdiam diri, jika dia memaksa masuk lagi pasti Danendra akan mengusirnya.
“Ada apa denganmu Alena?”
“Apa kamu bahagia selama ini?”
Kevin terus bergumam sendiri, seakan sedang berbicara dengan Alena, dia tatap lamat-lamat pintu kamar Alena dan terus bergumam, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan.
Setelah hampir satu jam berdiri menatap pintu sang pujaan hati penantian Kevin membuahkan hasil. Dia melihat Danendra keluar dari kamar itu dalam keadaan sedang menelpon seseorang, melihat itu Kevin langsung membawa dirinya untuk masuk tidak mau membuang waktu.
“Ya Tuhan… “ Di luar ekspektasinya, dia kira saat ini Alena sedang terlelap tenang di kasurnya tapi keadaan yang dilihatnya cukup membuat hati pria itu hancur.
“Alena?” Pupil mata Kevin bergetar, dia cukup terkejut melihat kamar ini. Benarkah ini kamar pasien. Wanita itu, sedang bersimpuh di lantai dengan wajah yang berantakan, dan yang lebih memilukan pipinya memerah dengan bibir yang mengalirkan darah.
Melihat kedatangan Kevin, tangisan Alena pecah dia meraung kencang. Kevin dengan cepat meraih tubuh itu memeluknya, “Lena? Apa yang terjadi?” dalam dekapan itu Kevin merasakan tubuh Alena bergetar hebat dia berusaha mengontrol tangisannya.
“Danendra yang melakukan ini?” Tidak ada jawaban Alena hanya terus terisak.
“Lena? Apa yang terjadi kenapa begini?” Kevin ikut meneteskan air mata, hatinya sakit melihat pujaan hatinya terus tersedu-sedu.
Kevin mendongakkan kepala Alena, dia berusaha menatap mata wanita itu.
Dengan suara yang bergetar sang pria berusaha menyuarakan kalimat, “Danendra yang melakukan ini?” Lagi sebagai jawaban Alena hanya semakin menangis.
“Jawab, Alena! Bajingan itu pelakunya?!”
Suara Kevin melengking, meninggi oleh amarah yang telah sampai di ujung tanduk. Dadanya naik-turun cepat, matanya menatap penuh dendam. Tubuhnya melemas ketika samar-samar ia melihat Alena mengangguk pelan, membenarkan dugaannya.
“Sialan!”
“Aku akan membunuhnya.”
Dengan langkah kasar, Kevin bangkit dari tempatnya. Tubuhnya menegang, amarahnya menggelegak, siap meledak kapan saja. Ia ingin mengejar Danendra saat itu juga pria gila itu memang pantas mati di tangannya. Seharusnya sejak dulu ia hancurkan bajingan itu.
“Ja… jangan!”
Sebuah suara lirih, gemetar, menghentikan langkahnya. Alena—dengan tubuh bergetar dan mata basah jatuh berlutut sambil mencengkeram erat betis Kevin. Tangan kecilnya menggigil, mencoba menahan langkah pria itu yang sudah dikuasai murka.
“Kevin… tolong, jangan ganggu dia…”
Kalimat itu meluncur lemah, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk menorehkan luka dalam di hati Kevin. Ia hanya bisa mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir menembus kulit. Frustrasi, marah, dan bingung bercampur jadi satu. Ia tak mengerti mengapa Alena justru memohon demi pria brengsek itu.
Tidak ada pilihan Kevin mengurungkan niatnya untuk mengejar Danendra, saat ini kondisi Alena sangat memprihatinkan, dia kembali duduk meraih tubuh Alena membiarkan wanita itu terisak lamat-lamat dalam rangkulannya.
Kevin memutuskan untuk tetap tinggal di sisi Alena. Ia tahu, tak ada yang bisa menghapus luka dalam sekejap, tapi kehadirannya mungkin bisa sedikit meredakan badai di hati wanita itu.
Alena tak lagi meraung, tak ada tangisan keras yang memekakkan telinga. Namun sorot matanya kosong, hancur, dan penuh luka. Ia tenggelam dalam kesedihan yang sunyi, dan Kevin hanya bisa memeluk diam-diam perih yang dirasakannya.
Beruntung, kali ini Alena tidak sendiri. Teman lamanya itu kini menjadi tempat bersandarnya. Dengan tangan penuh perhatian, Kevin mengobati luka-luka di tubuh wanita itu satu per satu, perlahan-lahan, seperti memperlakukan sesuatu yang nyaris rapuh dan bisa pecah kapan saja.
Ternyata luka-lukanya banyak—lebih banyak dari yang ia bayangkan. Memar menghiasi kulit Alena seperti jejak dari siksaan panjang. Setiap noda biru keunguan adalah bukti kegilaan Danendra, betapa brutal dan kejinya pria itu memperlakukan seseorang yang seharusnya ia lindungi.
Kevin mengepalkan tangannya diam-diam. Rasanya amarah itu kembali mendidih, namun kali ini ia menahannya. Alena masih membutuhkan ketenangan dan untuk saat ini, itu yang terpenting.
Setelah beberapa jam akhirnya Alena tenang, dia terlelap dengan Kevin yang terus berada di sisinya. Sebagai seorang dokter Kevin sudah melakukan yang terbaik untuk mengobati setiap luka pada tubuh itu, tapi bagaimana tentang luka di hatinya, Kevin tidak tahu harus bagaimana meredamkan luka yang tidak terlihat.
Setelah Alena terlelap Kevin di tengah renggangnya malam bergerak dia membersihkan kekacauan di kamar ini, dia bersihkan setiap serpihan kaca, dan barang-barang lainnya yang sudah rusak akibat kegilaan Danendra.
Dia melakukan ini atas permintaan wanita itu.
“Tolong lindungi Danendra… “
Alena memohon kepadanya untuk tetap diam, dan merahasiakan apa yang dilihatnya hari ini. Tapi bagaimana mungkin dia diam, hatinya sudah terlanjur hancur saat mengetahui ternyata pujaan hatinya yang dia relakan untuk hidup bersama orang lain ternyata tidak bahagia.
“Vin, bantu aku bereskan semua kekacuan ini, jangan sampai Kak Aleon melihat.”
“Dan tolong Vin, besok subuh bantu aku untuk segera pulang dari sini, aku tidak mau orang-orang melihat luka di wajahku.”
Setelah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, Alena memohon dengan penuh harap kepada lawan bicaranya, saat ini hanya teman lamanya itu yang mengetahui kejadian memilukan yang baru saja dia alami. Sebelum terlelap tenang Alena mencurahkan semua bebannya, tidak ada yang ditutupi bahkan dia juga menceritakan bahwa hari ini dia akhirnya tahu suaminya ternyata punya wanita lain.
Kevin menangis di kesunyian malam, dia merasa bersalah tidak mampu melindungi wanita itu, dia tatap kekasih hatinya yang terlelap dia genggam tangan rapuh itu, dia kecup penuh cinta tangan lentik Alena. Dulu dia menahan diri karena Alena memang bukan haknya, tapi sekarang tidak ada lagi alasan.
“Aku pasti akan membunuhnya Alena, siapa pun yang menyakitimu akan kupastikan dia mendapat balasan yang setimpal.”
Dengan ragu pria itu berdiri, setelah mengecup jemari Alena dia berpindah mencoba menyentuh lembut dahi Alena dengan bibir panasnya, ia hirup lamat-lamat wajah itu mencoba menuntaskan rindu yang selama ini dia pendam.
Kevin terdiam. Tatapannya terhenti pada bibir Alena yang tampak sedikit membengkak—jejak luka yang masih tertinggal, begitu nyata, begitu menyakitkan. Namun di balik luka itu, masih ada keindahan yang membuat hatinya bergetar.
Perlahan, tanpa suara, Kevin tersenyum kecil, senyum yang tidak dapat dimengerti. Ia meneguk salivanya kasar. Butuh beberapa menit untuk mengumpulkan keberanian agar bisa menyentuh bibir ranum yang selalu indah itu. Setelah menarik napas panjang, perlahan Kevin memajukan kepalanya berusaha menyatukan bibir mereka.
Akhirnya setelah sekian lama kedua bibir itu berhasil menyatu walau dalam keadaan yang tengah rapuh. Kevin merasakan dadanya berdesir hebat saat berhasil merasakan manisnya bibir sang pujaan hati.
"Aku akan melindungimu, Alena," bisiknya lirih di sela kecupan itu.
Tanpa disadari, setetes air mata mengalir dari sudut mata Kevin. Air mata itu jatuh perlahan, menyelinap di antara dua wajah yang begitu dekat. Sang dominan semakin menyesapkan cumbuannya seakan tidak mau berhenti, bahkan dengan sendirinya bibir sang pria terus bergerak berusaha menyelusuri setiap bagian wajah itu.
Bersambung.