Enam bulan pernikahan yang terlihat bahagia ternyata tak menjamin kebahagiaan itu abadi. Anya merasa sudah memenangkan hati Adipati sepenuhnya, namun satu kiriman video menghancurkan semua kepercayaannya. Tanpa memberi ruang penjelasan, Anya memilih pergi... menghilang dari dunia Adipati, membawa serta rahasia besar dalam kandungannya.
Lima tahun berlalu. Anya kini hidup sebagai single mom di desa kecil, membesarkan putranya dan menjalankan usaha kue sederhana. Namun takdir membawanya kembali ke kota, menghadapi masa lalu yang belum selesai. Dalam sebuah acara penghargaan bergengsi, dia kembali bertemu Adipati—pria yang masih menyimpan luka dan tanya.
Adipati tak pernah menikah lagi, dan pertemuan itu membuatnya yakin: Anya adalah bagian dari hidup yang ingin ia perjuangkan kembali. Namun Anya tak ingin kembali terjebak dalam luka lama, apalagi jika Adipati masih menyimpan rahasia yang belum terjawab.
Akankah cinta mereka menemukan jalannya kembali? Atau justru masa lalu kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juwita Simangunsong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Di halaman rumah mewah mereka yang asri, dua pria berbadan tegap berdiri kaku mengenakan pakaian hitam rapi dan kacamata hitam.
Arga dan Riko, bodyguard pribadi yang dikirim langsung oleh Adipati, terlihat sangat serius seperti sedang menjaga presiden.
Anya membuka pintu, lalu mengerutkan dahi "Astaga… beneran segini formalnya? Mas Adipati serius banget, ya..."
Riko menunduk sopan "Ibu Anya? Saya Riko, ini rekan saya Arga. Kami ditugaskan untuk menjaga Ibu dan Alvino. Mulai hari ini kami akan bergantian menjaga keamanan Ibu 24 jam."
Anya menahan senyum, lalu berbisik pelan ke dirinya sendiri "Ya ampun, ini rumah tangga apa film action sih…"
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kecil dari dalam rumah. Alvino muncul dengan seragam sekolah, rambutnya sedikit berantakan karena baru saja bangun dari tidur siangnya.
Alvino mengucek mata "Maaa… itu siapa sih dua orang di depan rumah? Kayak bodyguard yang di film kartun itu, loh! Yang suka bilang ‘area aman, Pak Presiden!’"
Anya terkekeh "Iya, Vin. Mulai hari ini kita punya 'pengawal pribadi'."
Alvino langsung mendekat ke Arga dan Riko sambil melongo takjub. Alvino dengan mata membesar. "Waaahh! Om badannya gede banget! Bisa angkat mobil, nggak? Bisa lempar alien?"
Arga berusaha tetap serius tapi senyum menahan tawa. "Mobil mungkin bisa, Vin. Tapi alien... hmm, itu tergantung aliennya berat berapa kilo."
Riko ikut menimpali "Kami jago sembunyi juga, Vin. Kalau kamu lagi main petak umpet, kami bisa bantu jadi ninja. Tapi jangan bilang Mama, ya..."
Alvino sangat semangat "Yess! Aku suka ninja! Tapi… boleh nggak kalian ajarin aku jurus rahasia ninja? Kayak... 'menghilang di balik gorden'?"
Anya meletakkan tangan di pinggang, pura-pura galak. "Hati-hati, nanti Mama ikut juga belajar jurus itu biar bisa kabur kalau disuruh masak sama Papa."
Semua tertawa.
Suasana rumah itu yang tadinya tegang karena kabar ancaman, perlahan menjadi hangat dan penuh tawa kecil.
Anya menatap Arga dan Riko "Terima kasih ya, sudah bantu menjaga. Tapi tolong, jangan terlalu kaku. Kita di sini rumah, bukan markas tentara."
Arga tersenyum sopan "Siap, Bu. Kami akan tetap waspada… tapi mulai belajar tersenyum juga, biar nggak bikin anak kecil kabur."
Alvino berlari ke dalam rumah sambil teriak "Aku ambil senjata rahasia dulu yaa!!'
Riko bingung. "Senjata rahasia?"
Anya terkekeh "Paling juga pistol - pistolan air bentuk bebek. Siap-siap aja kalian basah, Pak Ninja!"
***
Setelah tawa riang Alvino mereda sedikit di halaman, Anya duduk di sofa dengan handuk kecil di tangannya—baru saja membantu mengeringkan rambut Alvino yang basah kuyup karena pistol air. Ia membuka ponsel dan mulai mengetik pesan singkat.
📱 Anya – 14.17 WIB
> Mas, dua "ninja" kirimanmu udah bertugas. Tapi salah satunya kena tembak air sama Alvino 😂. Tapi sejauh ini… aman. Terima kasih udah jagain kami. ❤️
Tak lama kemudian, panggilan video masuk dari Adipati. Wajah tampannya muncul di layar, sedikit lelah, tapi sorot matanya teduh.
Adipati tersenyum tipis. "Dua ninja itu masih hidup, kan? Atau udah nyerah main sama Alvino?"
Anya tertawa kecil. "Satu nyaris minta pulang, satu lagi disumpahi Alvino jadi katak kalau kalah tembak-tembakan."
Adipati menghela napas lega "Puji Tuhan… akhirnya kamu senyum juga. Tadi aku sempat takut kamu bakal nolak dijagain."
Anya menatap layar penuh sayang "Awalnya iya, Mas. Rasanya aneh banget. Aku ini kan atlet taekwondo masa ia harus di jaga oleh bodyguard. Tapi setelah lihat betapa konyolnya mereka waktu main sama Alvino, aku malah bersyukur. Rumah ini… rasanya hangat lagi."
Adipati berkata. "Itu yang Mas harapkan. Aku tahu Bram nggak bisa dianggap enteng. Tapi aku juga nggak bisa terus-terusan di sisi kalian. Jadi ini satu-satunya cara Mas bisa tenang di kantor."
Anya lembut. "Kamu udah ngelakuin yang terbaik, Mas. Terima kasih. Dan soal Bram… aku janji nggak akan takut. Selama kamu tetap di pihakku, aku siap hadapi apa pun."
Adipati menatap dalam "Anya… kamu dan Alvino itu berharga banget buat aku. Aku pernah kehilangan kamu dulu, dan aku bersumpah… aku nggak akan biarkan siapa pun ambil kalian dari aku lagi."
Terdengar suara tawa keras dari halaman.
Alvino teriak "Mamaaa! Ninja satunya udah tumbang juga! Aku penguasa halaman sekarang!"
Riko teriak lemah. "Tolong... aku hanya ingin bekerja dengan damai..."
Anya dan Adipati tertawa bersamaan.
Adipati sambil tertawa "Nanti malam aku pulang lebih cepat. Kangen kalian. Kangen suasana itu. Tapi… pastikan aku nggak langsung disemprot juga, ya?"
Anya menggoda. "Hmm… lihat nanti. Kalau kamu pulang bawa es krim, mungkin kami bisa negosiasi."
Adipati "Deal. Aku bawa es krim satu ember buat damai sama raja halaman itu."
Anya tersenyum manis. "Hati-hati di kantor, ya. Jangan terlalu stres."
Adipati berkata dengan lembut "Kamu juga jaga diri. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aku. Aku nggak akan diam."
Panggilan berakhir.
Anya menatap layar ponsel yang perlahan gelap. Di luar, Alvino masih bermain dengan semangat. Hatinya hangat… dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar dilindungi, dicintai, dan dihargai.
***
Malam hari. Di sebuah apartemen mewah yang kini terasa dingin dan kosong.
Lampu hanya menyala sebagian. Angin dari AC berhembus pelan, tapi tidak cukup menyejukkan kepala Bram yang dipenuhi amarah dan keputusasaan.
Ia duduk di sofa dengan tubuh membungkuk, tangan gemetar memegang gelas wine yang belum disentuh. Di meja, berserakan foto-foto Adipati bersama Anya, bersama Alvino, tersenyum hangat seperti tak pernah punya luka di masa lalu.
Bram berbicara pada dirinya sendiri, suara lirih dan penuh luka. "Kenapa sih... cuma aku yang nggak bisa bahagia? Kenapa dia bisa lanjut hidup seolah aku nggak pernah ada?"
Ia meremas satu foto, menghancurkannya dalam genggaman sambil bergumam pada dirinya lagi "Kamu janji sama aku, Dip... kita bakal lewatin semuanya bareng. Tapi begitu dia datang, kamu lupa segalanya. Kamu buang aku kayak sampah."
Ia bangkit. Langkahnya gelisah. Kepalanya menunduk, napas berat, matanya sembab.
Sudah terlalu banyak malam yang dihabiskannya dengan kenangan.
Bram tersedu pelan, menatap ke cermin
"Apa aku segitu nggak berharganya? Apa aku cuma bayang-bayang masa lalu yang pantas dilupakan?" Bram tersenyum getir.
Tiba-tiba ponselnya berdering bukan dari Adipati, tentu saja. Tapi dari seseorang bernama Marco, teman lamanya yang dikenal punya koneksi ke dunia abu-abu.
Bram sempat ragu. Tangannya menggantung di atas layar.
Bram berbisik, nyaris menggila. "Mungkin… kalau aku nggak bisa dapetin dia dengan cinta… aku harus ambil dia dengan cara lain. Aku nggak akan tinggal diam. Aku akan bikin dia lihat… bahwa cuma aku yang benar-benar kenal dia, yang benar-benar cinta dia."
Bram menjawab panggilan itu dengan nada datar "Halo, Marco… aku butuh bantuanmu. Kali ini… aku serius."
Marco di seberang, terdengar santai tapi curiga "Serius kayak waktu kamu nyuruh aku cari tahu soal cewek dan anak kecil itu? Atau lebih gila lagi?"
Bram dingin "Jauh lebih gila."
Marco menjawab dengan nada datar namun penuh emosi "Oke… kirim alamat. Tapi ingat, Bram. Sekali kamu mulai, kamu nggak bisa mundur lagi."
Bram menatap foto Adipati dan Anya yang tergantung di dinding, lalu berkata dengan suara pelan, tapi penuh dendam. "Kalau aku nggak bisa punya dia... maka nggak ada yang boleh bahagia."