NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 25: Ketenangan Sebelum Latihan Baja

Kabut lembut turun perlahan dari puncak gunung, menyelimuti pondok tua yang berdiri di antara pepohonan tua berlumut. Angin membawa aroma arak dan daun kering, samar namun menenangkan.

Liang Chen duduk bersila di atas batu datar, tubuhnya tegak, mata tertutup, dan napasnya seirama dengan detak bumi di bawah kakinya. Kesunyian gunung itu seakan mengikuti ritme pernapasannya, membentuk harmoni antara manusia dan alam yang jarang tercapai oleh mereka yang berlatih bertahun-tahun di sekte besar.

Kesunyian malam telah menjadi temannya. Kesunyian bukan lagi kegelapan yang menakutkan, melainkan ruang untuk mendengar. Di dalamnya, Liang Chen tidak lagi mendengar jeritan, tidak lagi mendengar bisikan Asura yang dulu meraung dari kedalaman jiwanya.

Kini yang tersisa hanyalah suara arus energi yang mengalir perlahan dari dadanya menuju bilah pedang hitam di pangkuannya. Kesunyian Malam, pedang warisan yang dahulu hanyalah potongan logam tumpul milik ayahnya, kini berdenyut lembut dengan cahaya merah samar.

Energi Pembantaian itu tidak lagi liar. Ia seperti api kecil yang menari di tungku. Kadang bergejolak, kadang tenang. Liang Chen telah belajar menatapnya dari dalam.

Ia tidak lagi takut pada panasnya, tidak lagi tergoda untuk melepaskannya. Dalam setiap tarikan napas, ia membiarkan energi itu mengalir melalui meridiannya, lalu menyalurkannya ke pedang, bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk mengenalinya.

Dulu, saat ia memikirkan orang tuanya, amarah selalu datang lebih cepat dari udara. Namun kini, ketika wajah mereka muncul di pikirannya, Liang Chen tidak lagi bergetar.

Ia masih merasakan sakit, tapi sakit itu telah berubah wujud. Ia menjadi sesuatu yang tenang, sesuatu yang dalam. Setiap luka di hatinya telah menebal menjadi lapisan baja.

Di antara kabut, suara langkah pelan terdengar. Guru Kui Xing mendekat, membawa labu araknya seperti biasa. Ia berhenti di belakang Liang Chen, menatap muridnya tanpa berkata apa pun.

Uap arak yang tajam bercampur dengan aroma energi liar yang samar dari tubuh Liang Chen. Sang guru hanya mengangguk pelan, lalu duduk di batu lain tak jauh dari sana.

“Sudah tenang,” katanya akhirnya, suaranya dalam dan datar. “Kau sudah belajar membiarkan amarahmu bernapas tanpa melahap jiwamu.”

Liang Chen membuka mata perlahan. Pandangannya masih teduh, meski di dasar pupilnya, warna merah samar masih berkilat. “Aku tidak membunuh amarah itu,” ucapnya lirih. “Aku hanya membuatnya menunduk.”

Guru Kui Xing tersenyum kecil, meski matanya tetap serius. “Itu lebih bijak daripada mencoba memadamkannya. Api tidak bisa dipadamkan dengan tangan kosong. Kau hanya bisa memberinya wadah.”

Angin berhembus, membawa dedaunan berguguran di antara mereka. Liang Chen menatap dedaunan itu jatuh ke tanah, terurai menjadi abu halus, lalu hilang. “Wadahku adalah tujuan, Guru. Aku tidak akan membiarkan dendam membakar mereka yang tidak bersalah. Aku hanya ingin mengembalikan keadilan.”

Guru Kui Xing menatap langit yang diselimuti kabut.

“Keadilan,” gumamnya pelan. “Kata yang ringan, tapi penuh darah. Banyak yang mengucapkannya sebelum menodai dunia.” Ia mengangkat labu araknya, meminumnya sedikit, lalu menatap Liang Chen. “Jika kau bisa menjaga arti kata itu tetap murni, maka kau akan melangkah lebih jauh dari para pendahulumu.”

Liang Chen menunduk hormat, lalu menatap Kesunyian Malam yang terbaring di pangkuannya. Bilahnya kini begitu tenang, seolah ikut bermeditasi bersamanya.

Ia mengelus gagangnya yang dingin, mengingat kembali tangan ayahnya yang dulu mengajarkan cara menggenggam pedang. Tangan yang kini sudah tiada, tapi kehangatannya masih hidup di dalam bilah ini.

Di balik ketenangan itu, Liang Chen tahu satu hal. Ia tidak akan pernah kembali menjadi anak desa biasa. Jalan yang ia tempuh telah berlumuran darah, tapi ia memilih untuk menapakinya dengan kepala tegak. Setiap napasnya kini bukan lagi untuk bertahan hidup, melainkan untuk menjaga makna hidup itu sendiri.

Guru Kui Xing berdiri, menatap muridnya dengan mata yang sedikit lebih lembut dari biasanya. “Kau sudah siap untuk langkah berikutnya, Chen’er. Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang harus kau dengar.”

Liang Chen menatap gurunya tanpa bicara. Dalam pandangan mereka yang saling beradu di bawah kabut, tak ada suara lain selain detak hati dan desir angin.

Mentari mulai condong ke barat, memandikan gunung dengan cahaya oranye keemasan. Kabut perlahan menipis, dan dari puncak tempat mereka duduk, dunia tampak tenang, seolah tak pernah mengenal kata pembantaian.

Liang Chen menatap lembah di bawah sana. Di kejauhan, samar terlihat jalur panjang yang mengarah ke timur, ke tempat di mana desanya dulu berdiri. Di sanalah tanahnya yang telah berubah menjadi abu.

Guru Kui Xing duduk bersila di belakangnya, menyalakan pipa kayu kecil. Asapnya naik perlahan, bergabung dengan sisa kabut yang belum terangkat.

Ia tidak segera bicara, hanya memandangi lembah dan mengamati ekspresi muridnya. Liang Chen masih diam, tapi dari cara jari-jarinya mengepal di lutut, ia tahu bahwa amarah itu masih ada, terpendam tapi tidak padam.

“Chen’er,” ujar Guru Kui Xing pelan, “kau ingin balas dendam, bukan?”

Pertanyaan itu sederhana, namun mengguncang udara yang hening. Liang Chen tidak langsung menjawab. Napasnya panjang, tertahan. Akhirnya ia berkata, “Ya. Tapi aku juga tahu dendam yang tidak terarah hanya akan menghancurkan diriku.”

Guru Kui Xing tersenyum tipis, meski matanya tetap gelap seperti langit sebelum badai. “Kau mulai mengerti. Dendam adalah pedang bermata dua. Bila dipegang tanpa kendali, ia akan memotong tanganmu sebelum menyentuh musuh.”

Ia menghembuskan asap pelan, lalu menatap jauh ke arah timur. “Raja Naga Berdarah. Itulah nama yang menandai asal dari luka di dadamu. Ia bukan kultivator biasa.

Dahulu, sebelum dunia mengenalnya sebagai raja pembantai, ia adalah murid sekte besar di Wilayah Barat. Ia berlatih di jalan ortodoks, memuja cahaya dan keseimbangan. Tapi kekuasaan... membuatnya lapar.”

Liang Chen mengangkat wajah. Pandangan matanya tajam, tapi tidak liar. “Kekuasaan?”

Guru Kui Xing mengangguk. “Ia ingin kekuatan yang tidak bisa diberikan oleh ajaran lembut para ortodoks. Maka ia berbalik arah. Ia meminum darah pertama, lalu kedua, hingga akhirnya jiwanya tidak lagi bisa memisahkan amarah dari hidupnya.

Dunia memberinya gelar yang dulu tak seorang pun berani menyandang, Raja Naga Berdarah. Ia adalah contoh sempurna dari jalan yang hilang kendali.”

Kata-kata itu menetes lambat ke dalam hati Liang Chen. Angin berhenti. Burung-burung yang tadi bersuara pun diam. Dunia terasa menahan napas.

“Apakah ia... juga seorang Asura?” tanya Liang Chen lirih.

Guru Kui Xing menatap muridnya lama, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Ia meniru kekuatan Asura, tapi bukan pewarisnya. Ia mencuri seni mereka, bukan jiwanya. Karena itulah, kekuatannya tidak stabil.

Ia menggunakan Energi Pembantaian untuk memperbudak jiwa-jiwa lemah, untuk menciptakan pasukan tanpa pikiran. Kau, Liang Chen, berbeda. Kau memiliki warisan itu secara alami. Kau adalah wadah yang dibentuk oleh takdir, bukan kehendakmu sendiri.”

Liang Chen memejamkan mata. Suara detak jantungnya seakan menggema di telinganya. Ia tidak tahu apakah harus merasa bangga atau takut. Warisan yang mengalir dalam dirinya adalah hal yang sama yang diincar para raja dan sekte besar, hal yang ditakuti oleh dunia.

“Lalu bagaimana aku bisa mengalahkannya?” suaranya lirih, tapi tegas.

Guru Kui Xing tertawa pendek. “Kau tidak akan bisa, belum sekarang. Dunia tidak bisa dijatuhkan oleh satu pedang yang baru belajar bernafas. Tapi setiap gunung besar dimulai dari batu kecil yang tahu ke mana ia akan bergulir.” Ia memandang Liang Chen dengan tajam. “Mulailah dari memahami amarahmu. Dari situ, kau akan menemukan caramu sendiri.”

Liang Chen mengangguk. Ia menatap pedang di sampingnya, Kesunyian Malam, bilah hitam yang tampak lebih tenang dari biasanya. “Aku akan menunggu waktuku. Tapi ketika waktunya tiba, darahnya akan menjadi penebus bagi semua jiwa yang dia renggut.”

Guru Kui Xing menepuk pundaknya pelan. “Kau masih muda, tapi kata-katamu berat. Ingatlah, dendam tidak selalu dibayar dengan darah. Kadang, dengan hidup yang lebih besar dari kebencian itu sendiri.”

Liang Chen memandang gurunya, namun tidak menjawab. Di dalam hatinya, api kecil itu menyala, tidak berkobar, tetapi menyala dengan sinar yang tajam dan dingin.

Kabut sore perlahan turun kembali, menutupi lereng gunung dengan warna keperakan. Liang Chen duduk bersila, masih memandangi tempat di mana matahari lenyap di balik kabut.

Udara dingin mengusap kulitnya, tapi jiwanya terasa hangat, seperti bara yang dijaga di bawah abu. Ia baru saja memahami arah dendamnya, dan kini, untuk pertama kalinya, pikirannya terasa jernih.

Guru Kui Xing berjalan mendekat tanpa suara, langkahnya ringan di atas tanah lembab. Ia membawa kendi arak yang sudah hampir kosong dan secarik kertas tipis dengan garis-garis yang tampak seperti peta. Liang Chen menoleh, melihat gurunya duduk di batu besar di sampingnya.

“Dengar baik-baik, Chen’er,” kata Guru Kui Xing sambil menatap peta di tangannya. “Di luar gunung ini, dunia tidak ramah terhadap mereka yang membawa Warisan Asura.

Kau akan diburu oleh sekte-sekte besar, dijauhi oleh rakyat kecil, dan digunakan oleh mereka yang mengincar kekuatanmu.” Ia melipat peta itu, menyimpannya kembali ke dalam jubah. “Sebelum kau melangkah ke luar, kau harus memahami dua hal: cara bertahan hidup, dan cara tetap menjadi dirimu sendiri.”

Liang Chen mengangguk, perlahan. “Guru, apa yang harus kulakukan?”

Guru Kui Xing mengangkat tatapan, memandang langit yang mulai diselimuti bintang.

“Pertama, pahami dunia tempatmu berdiri. Dunia ini diatur oleh kekuatan yang disebut tingkat kultivasi. Setiap langkah adalah jurang antara hidup dan mati. Tingkat terendah adalah Pembukaan Meridian,

tempat para pemula memaksa tubuh mereka beradaptasi dengan energi dunia. Setelah itu Pondasi Besi, di mana tubuh dan jiwa mulai menyatu. Di atasnya, Inti Berputar, tempat energi mengalir dengan kehendak sendiri. Lalu Lapisan Jiwa, dan seterusnya.”

Ia berhenti sejenak, menatap Liang Chen. “Kau kini berada di perbatasan Pondasi Besi. Tubuhmu telah dikeraskan oleh darah dan pembantaian. Tapi pondasimu tidak stabil. Kau harus menempanya kembali, bukan dengan darah orang lain, tapi dengan kehendakmu.”

Liang Chen terdiam. Ia menatap tangannya yang mulai tampak lebih kokoh, urat-uratnya memancarkan sedikit cahaya merah samar. “Berarti... aku sudah menempuh sebagian jalan itu.”

Guru Kui Xing mengangguk tipis. “Sebagian kecil. Dan kau akan gagal bila kau mengira jalan ini tentang kekuatan semata. Jalan Asura adalah jalan pengendalian. Tanpa kendali, kekuatanmu hanya menjadi jerat yang menunggu waktu untuk menelanmu.”

Ia mengeluarkan botol kecil berisi cairan pekat berwarna tembaga. Cairan itu berkilau samar, seolah ada partikel besi yang mengambang di dalamnya. “Minumlah ini. Ramuan dari akar besi gunung dan darah binatang roh. Ia akan memperkuat tulangmu dan menajamkan uratmu.”

Liang Chen menerima botol itu tanpa ragu. Ia membuka tutupnya dan meneguk habis cairan di dalamnya. Seketika panas menyeruak dari tenggorokan hingga ke perut. Rasanya seperti logam cair mengalir di pembuluh darahnya. Tubuhnya bergetar hebat, dan suara denting samar terdengar dari dalam tulang-tulangnya.

Guru Kui Xing menatap tenang, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. “Itulah prosesnya. Pondasi Besi tidak dibentuk oleh kenyamanan. Ia dibangun di atas rasa sakit dan kemauan.”

Liang Chen menggertakkan gigi, menahan rasa panas yang seolah membakar dari dalam. Ia menutup mata, memusatkan kesadarannya. Energi Pembantaian yang dulu liar kini terasa lebih padat, lebih terkendali. Ia menyalurkannya ke seluruh tubuh, mengikuti jalur meridian yang mulai terbuka lebar. Setiap napasnya membuat udara di sekitar bergetar.

Setelah beberapa saat, panas itu mereda. Liang Chen membuka matanya. Tubuhnya basah oleh keringat, namun napasnya stabil. Ia merasa berat, tapi kokoh, seolah tanah di bawahnya menyalurkan kekuatan ke kakinya.

Guru Kui Xing berdiri, menatap muridnya dari atas. “Bagus. Kau mulai mengerti arti keseimbangan. Sekarang kau tahu, tubuh yang kuat adalah wadah, bukan tujuan. Kekuatan sejati lahir dari jiwa yang tidak mudah terguncang.”

Liang Chen menunduk hormat. “Terima kasih, Guru.”

Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan arak tua. Cahaya bulan turun menimpa dua sosok itu, membuat bayangan mereka memanjang di atas batu dan rumput. Suasana di puncak gunung menjadi tenang, tapi bukan tenang yang hampa, tenang yang disertai keteguhan.

Guru Kui Xing menatap Liang Chen lama, lalu berkata dengan suara datar namun berwibawa, “Chen’er, pengajaran filosofi telah selesai. Semua pelajaran tentang amarah, dendam, dan pengendalian, semuanya kini menjadi bagian dari jiwamu. Mulai besok, kita tidak lagi bicara tentang makna. Kita akan bicara tentang gerak.”

Liang Chen menatap gurunya dengan mata lelah tapi menyala. “Gerak?”

“Ya,” jawab Guru Kui Xing. “Gerak dari tubuh, gerak dari pedang, dan gerak dari niat. Mulai besok, kau akan mempelajari Ilmu Pondasi Besi. Kau akan belajar bagaimana menjadikan tubuhmu baja, bukan hanya dalam nama.”

Ia berbalik, berjalan ke arah pondok kecil yang hampir tertelan kabut. Suaranya terdengar samar di antara desir angin. “Tidurlah malam ini. Besok pagi, sebelum matahari naik, aku akan menunggu di tepi jurang. Bawa pedangmu.”

Liang Chen menatap punggung gurunya hingga sosok itu menghilang dalam kabut. Ia kemudian menatap langit. Bintang-bintang berkelip, seperti mata-mata dari masa lalu yang menyaksikan langkah barunya.

Tangannya terulur, meraih gagang Kesunyian Malam. Bilah hitam itu dingin, tapi bukan dingin yang asing. Ia merasakan denyut halus dari dalam logam, seperti detak jantung kedua yang berdetak seirama dengan miliknya.

Dalam diam, ia mengucap sumpah baru, bukan hanya tentang dendam, tapi tentang pertumbuhan. Bahwa mulai saat ini, setiap tetes darah, setiap luka, dan setiap napas akan menjadi batu pijakan menuju jalan yang akan ia ciptakan sendiri. Jalan yang dibangun di atas darah, tapi diarahkan oleh kehendak.

Ia menghela napas panjang, menunduk sedikit, lalu berdiri. Angin malam meniup rambutnya, membawa kabut menari di sekelilingnya. Di puncak gunung yang sunyi itu, seorang murid yang telah kehilangan segalanya akhirnya menemukan sesuatu yang lebih besar dari balas dendam: tujuan.

Kesunyian kembali turun, dan hanya suara angin yang tersisa. Namun di dalam hatinya, Liang Chen tahu, besok bukan lagi hari pemulihan. Besok adalah hari penempaan.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!