“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Beberapa hari berlalu sejak malam paling kelam dalam hidup mereka.
Hari itu, langit biru tampak lebih cerah dari biasanya, seolah menyambut langkah kecil menuju pemulihan yang sesungguhnya.
Dokter memasang senyum hangat saat memeriksa catatan terakhir.
“Ibu Risa sudah boleh pulang hari ini. Tapi ingat, tetap jaga kondisi fisik dan emosinya,” katanya tenang. Risa mengangguk pelan, hatinya campur aduk. Senang bisa pulang, tapi juga sedikit takut meninggalkan ruang yang selama ini jadi tempat pemulihannya.
Aditya segera menyiapkan segalanya dan ia membantu Risa duduk di kursi roda dengan penuh kelembutan, lalu mendorongnya melewati lorong rumah sakit yang sudah begitu familiar di matanya.
Saat mereka tiba di mobil, Aditya dengan hati-hati membantu Risa masuk ke dalam. Matanya tak pernah lepas dari wajah perempuan yang sudah melewati neraka bersamanya.
Ia menutup pintu perlahan, lalu mengambil posisi di balik kemudi. Mobil pun melaju menuju rumah menuju awal baru.
Risa memandang keluar jendela, menyaksikan dunia luar yang tampak berbeda kini.
Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya muncul perlahan. Ia masih di sini. Masih hidup. Dan yang paling penting, tidak sendiri.
Sesampainya di rumah, kejutan lain menanti dimana puluhan tetangga sudah berkumpul di depan rumah mereka.
Beberapa membawa bunga, sebagian membawa makanan, dan lainnya hanya datang dengan pelukan dan senyum penuh harapan.
Ada yang menepuk bahu Aditya, ada yang membungkuk ke arah Risa, menyampaikan doa dan kekaguman atas keberaniannya.
“Kami semua bangga padamu, Risa...” ucap salah seorang ibu, suaranya serak.
“Kami tahu kamu perempuan kuat,” sambung yang lain.
“Kamu tidak sendirian, Nak.”
Air mata Risa jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tak menyangka, setelah segala fitnah, ancaman, dan luka yang menganga.
Aditya menggenggam tangannya, lalu membisikkan pelan,
“Lihat? Kamu tidak pernah sendiri.”
Tangisan Risa pecah. Tapi kali ini, bukan karena duka, melainkan karena rasa haru. Ia kembali.
Ia pulang meskipun perjalanannya belum usai, ia tahu: langkahnya tidak lagi berat karena ia berjalan bersama cinta, keluarga, dan harapan.
Sore itu, angin berhembus pelan di halaman rumah Aditya dan Risa.
Daun-daun pohon mangga di sudut taman kecil bergoyang tenang, seolah ikut merayakan kedamaian yang mulai perlahan-lahan kembali hadir di rumah itu.
Di ruang tamu, Risa duduk bersandar di sofa dengan selimut menutupi kakinya.
Wajahnya masih pucat, namun ada rona kehangatan di pipinya.
Aditya duduk di sampingnya, membaca buku sambil sesekali menatap sang istri dengan penuh perhatian.
"Kamu datang... kamu selamatkan aku.”
Ia menarik tangan Aditya, menempatkan di perutnya yang kini kosong.
“Meskipun dia pergi, aku bersyukur pernah mengandung anak kita. Dan itu karena cinta kita. Itu cukup… untuk ku kenang seumur hidupku.”
Aditya memeluk tubuh istrinya erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya.
Di antara isak yang tertahan, tak ada kata yang mampu mewakili kehilangan itu, selain rasa saling memiliki yang semakin dalam.
Foto USG kecil itu kini berada di dalam bingkai kaca di nakas samping tempat tidur.
Sebuah simbol cinta yang pernah tumbuh, hadir, dan meski raganya tiada, cintanya akan selalu tinggal.
Dalam diam mereka berdua tahu jika cinta sejati tidak hanya tumbuh di atas kebahagiaan, tapi juga dalam luka yang mereka sembuhkan bersama.
Risa baru saja selesai minum obatnya ketika bel pintu berbunyi.
Aditya membuka pintu dan melihat Stefanus, dengan wajah serius dan raut yang tak bisa menyembunyikan kabar buruk.
"Ada apa, Stef?" tanya Aditya langsung, hatinya mencelos tanpa perlu menunggu.
Stefanus masuk ke ruang tamu, matanya menyapu sekitar, memastikan tidak ada orang asing di sekitar mereka.
Setelah duduk, ia menatap Risa yang masih duduk di sofa, selimut menyelimuti tubuhnya yang mulai pulih.
"Risa, Aditya…" ucapnya pelan.
"Aku minta kalian tetap tenang, tapi aku harus jujur—Elyas belum berhasil kami tangkap."
Risa spontan menunduk dan tangan Aditya langsung menggenggam tangannya erat.
"Apa maksudmu? Bukankah tempat itu sudah terbakar, dia pasti—"
"Kami temukan jejak pelariannya," potong Stefanus.
"Beberapa jam sebelum api membesar, seseorang sempat melarikan diri lewat jalan belakang. Kami menduga kuat itu Elyas. Sekarang, dia buron, dan kami percaya dia tidak akan menyerah begitu saja."
Keheningan menggantung. Aditya menelan salivanya sementara Risa menahan gemetar di tubuhnya.
"Tapi kami sudah tingkatkan pengamanan. Rumah ini dalam pengawasan tak terlihat. Kami juga pasang pelacak di area sekeliling. Jangan panik, tapi kalian harus tetap waspada. Jangan pergi sendirian, jangan membuka pintu sembarangan."
"Kau pikir dia akan kembali... ke sini?" bisik Risa nyaris tak terdengar.
Stefanus menatapnya dalam.
"Orang seperti Elyas tidak menerima kegagalan dengan kepala dingin. Dia kehilangan segalanya karena kesaksianmu. Bisa jadi, dia mengincar kamu untuk balas dendam."
Aditya mengepalkan tangannya. Wajahnya menegang.
"Kalau dia berani menyentuh Risa sekali lagi, aku sendiri yang akan menyeretnya ke neraka."
Tapi kali ini ada nyala kecil di matanya rasa ingin bertahan.
"Terima kasih, Stefanus.Kami akan lebih hati-hati," ucapnya.
Stefanus berdiri dan merapikan jasnya. Sebelum keluar, ia menoleh lagi.
"Kalau ada yang mencurigakan, sekecil apa pun, hubungi aku. Timku akan siaga 24 jam."
Hari sudah beranjak malam dan lampu-lampu rumah menyala dengan hangat, menepis bayang-bayang ketakutan yang masih tersisa di sudut-sudut hati Risa.
Di balik senyum tipisnya, dia masih sering tersentak jika mendengar suara keras mendadak atau bayangan cepat di jendela.
Namun, tanpa diketahui banyak orang bahkan oleh para tetangga yang setiap pagi menyapa ramah.
Aditya telah menyiapkan perlindungan untuk rumah kecil mereka.
Ia tidak ingin istrinya merasa hidup di benteng. Maka semuanya dilakukan senyap, lembut, dan seolah tidak pernah ada ancaman.
Di loteng, ia memasang kamera pengawas kecil dengan sinyal tersembunyi.
Sistem alarm senyap terhubung langsung ke ponsel Stefanus. Ia juga mengganti kunci pintu dan jendela dengan sistem digital yang hanya bisa dibuka oleh sidik jari dirinya dan Risa.
Sementara itu, dua anggota tim Stefanus berjaga di mobil yang parkir di ujung jalan.
Tidak berpakaian dinas, mereka menyamar sebagai warga biasa salah satunya bahkan pura-pura menjadi penjual kopi keliling.
Tapi semua itu tidak terlihat dari dalam rumah, dan itulah yang diinginkan Aditya.
Malam itu, Risa baru selesai mandi dan rambutnya masih basah saat ia melangkah ke ruang keluarga.
Aditya sedang duduk di karpet, menyusun kembali dokumen yang sempat terbengkalai.
Ketika Risa mendekat, Aditya menoleh dan tersenyum.
Tapi senyum itu cepat luntur saat ia melihat raut lelah di wajah istrinya.
Dengan perlaham ia membuka lengannya. dan tanpa bicara, Risa merunduk dan membiarkan tubuhnya jatuh ke dalam pelukan suaminya.
Aditya memeluk erat tubuh istrinya Tia, panggilan lembutnya untuk Risa di saat-saat paling rapuh mereka.
Hanya mereka berdua yang tahu arti panggilan itu.
“Mas…” bisik Risa, “apa semua ini akan segera selesai?”
Aditya menarik napas dalam-dalam, mencium pucuk kepala istrinya.
“Aku nggak tahu kapan semuanya selesai, Tia. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak akan pernah membiarkan kamu sendiri lagi. Rumah ini, kamu , semuanya sudah dijaga.”
Risa menatap wajah suaminya, masih menyimpan luka, mata itu kini penuh tekad dan perlindungan.
“Kamu nggak harus selalu jadi kuat sendirian, Mas.”
“Aku nggak sendiri,” jawab Aditya. “Aku punya kamu.”
Malam itu mereka duduk lama dalam diam, tapi bukan diam yang hampa. Diam yang menyatukan luka, keberanian, dan cinta.
Di luar rumah, angin malam berhembus. Kamera kecil berkelip merah perlahan.
Seseorang mengawasi, bukan untuk mengintai tetapi untuk menjaga.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending