NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan

Beberapa bulan setelah Aira mulai menunjukkan gejala penyakit Alzheimer yang semakin parah, hari-hari mereka semakin dipenuhi dengan rasa cemas dan ketakutan akan kemungkinan terburuk.

Abraham selalu berada di samping istrinya, mencoba memberikan dukungan terbaik, namun semakin lama, ia menyaksikan perubahan yang semakin besar pada Aira.

Pagi itu, setelah Abraham terbangun, ia merasa ada yang aneh.

Ia mencari-cari sosok Aira di sampingnya, namun tempat tidur itu kosong. Hatinya langsung dihantui rasa cemas yang mendalam.

"Ra? Aira?" panggilnya, tetapi tidak ada jawaban.

Abraham bergegas keluar dari kamar tidur dan menyusuri rumah.

Ia memanggil-manggil nama istrinya, namun tidak ada jawaban.

Tak lama kemudian, ia menyadari keheningan yang aneh.

Aira sering menghabiskan waktu di taman belakang rumah mereka, di mana dia suka duduk sambil menatap kolam ikan yang selalu memberinya ketenangan.

Tanpa pikir panjang, Abraham langsung menuju ke taman, berjalan cepat dan cemas, berharap Aira masih di sana.

Saat sampai di taman, ia melihat sosok istrinya yang duduk di tepi kolam ikan.

Aira tampak merenung, menatap air yang tenang, seolah-olah berusaha mengingat sesuatu yang sangat penting.

Namun, ketika Abraham memanggil namanya, Aira menoleh dengan tatapan kosong. Sepertinya ia tidak mengenali suaminya sama sekali.

"Mas Abraham?" Aira berbisik pelan, mulutnya terbata-bata.

"Mas... Abraham?"

Abraham merasakan dadanya sesak. Rasa cemas dan kesedihan menghujam hatinya begitu mendalam.

"Ra, aku di sini. Aku Abraham, suamimu," katanya dengan suara pelan namun penuh harap. Ia berjalan mendekat, berlutut di samping Aira.

Namun Aira hanya menatapnya dengan wajah kosong, tanpa ada ekspresi yang mengenali.

"Mas... siapa? Apa... apa kamu?" Aira bertanya dengan nada bingung.

Abraham merasakan hatinya remuk mendengar kata-kata itu.

Istrinya, yang dulu selalu menyebutnya dengan penuh cinta, kini tidak lagi mengenalinya.

Aira perlahan mengalihkan pandangannya kembali ke kolam ikan, seolah-olah dunia di sekelilingnya menghilang begitu saja.

"Ra, sayang, aku suamimu, Mas Abraham. Ingatkan aku, kita sudah bersama selama bertahun-tahun. Kita punya masa lalu yang indah bersama," katanya, berusaha mengingatkan Aira tentang segala kenangan yang mereka lewati bersama.

Namun, Aira hanya diam, terlihat bingung. "Aku... aku tidak ingat," ucapnya pelan, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Aku... aku tidak ingat apapun."

Abraham tidak bisa menahan air matanya. Melihat istrinya seperti ini, merasa seperti kehilangan lebih dari sekadar kenangan, tapi bagian dari dirinya.

Namun, ia tahu ia tidak bisa menyerah begitu saja. Aira mungkin tidak mengenalnya sekarang, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak meninggalkan Aira, meskipun ingatannya menghilang.

"Ra, kamu masih istri aku. Kamu masih segalanya bagi aku," ucap Abraham dengan suara serak. "

Aku tidak akan pergi. Aku di sini, bersama kamu, untuk apapun yang terjadi."

Aira menatapnya untuk beberapa saat, masih kebingungan, lalu perlahan mengangguk, meski matanya penuh kebingungan.

"Mas... Abraham..." katanya lagi, dengan suara yang lebih pelan, seolah mencoba mengenali nama itu.

Abraham mengelus rambut Aira dengan lembut, mencoba memberi kenyamanan meski hatinya terasa hancur.

"Ya, Ra. Mas Abraham. Aku suamimu. Aku akan selalu ada di sini untukmu."

Dengan pelan, Abraham mengangkat Aira ke pelukannya dan membawanya kembali ke rumah.

Hari-hari mereka akan semakin sulit, tapi ia bertekad untuk tidak menyerah.

Ia tahu Aira masih ada di dalam tubuh itu, dan meskipun ingatannya menghilang, cinta mereka tetap ada. Dan itulah yang membuat Abraham bertahan.

Dalam setiap langkah mereka ke depan, Abraham berjanji untuk menjaga Aira, menjaga cinta yang mereka miliki, meskipun dunia sekeliling mereka terus berubah.

Suasana rumah sakit berubah menjadi sunyi saat suara tangisan bayi kembar terdengar di lorong bersamaan dengan ketegangan yang tak bisa dijelaskan.

Abraham berdiri terpaku di depan ruang bersalin, memeluk dadanya sendiri, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar keras.

“Pak Abraham, silakan masuk,” ucap dokter dengan suara berat.

Abraham melangkah masuk dengan jantung yang seakan berhenti berdetak.

Di dalam ruangan, Aira berbaring lemah, wajahnya pucat namun tetap memancarkan senyum.

Di sampingnya, dua bayi mungil berada dalam inkubator, menangis seolah tahu bahwa dunia mereka tidak lagi sempurna.

Aira mengangkat tangannya lemah, melambai pada suaminya.

“Mas... maafkan aku kalau pernah menyakiti hati Mas,” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

“Aku... aku mencintaimu Mas, selamanya.”

Abraham menggenggam tangan istrinya erat. “Aira... jangan bicara seperti itu. Kamu akan baik-baik saja.”

Aira hanya tersenyum. Air matanya mengalir, bersamaan dengan tarikan nafasnya yang semakin pendek.

Dalam detik yang terasa abadi, mesin di samping tempat tidurnya mengeluarkan suara panjang—tanda kehidupan itu telah pergi.

Tanda lurus.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…” lirih Abraham.

Tangannya masih menggenggam erat tangan Aira yang kini dingin.

Air mata tak mampu ia bendung. Tangisan bukan hanya karena kehilangan, tetapi karena kenangan karena cinta yang begitu dalam yang kini hanya tersisa dalam ingatan.

Dinda berlari masuk, melihat tubuh Aira yang terdiam dan Abraham yang menangis tersungkur.

Ia segera memeluk Abraham, mencoba menguatkannya.

Di sisi lain ruangan, dua bayi kecil yang baru saja lahir ke dunia, menangis dalam pelukan seorang perawat.

Hidup harus terus berjalan, bahkan saat dunia serasa berhenti.

Langit kelabu seolah ikut berduka di hari pemakaman Aira.

Gerimis turun perlahan saat keranda diturunkan ke dalam liang lahat, menyisakan keheningan yang menyesakkan dada.

Abraham berdiri di tepi makam dengan mata sembab, menggenggam erat dua selimut kecil yang membungkus bayi kembar mereka hasil cinta terakhir dari Aira.

Dokter Sarah, dokter yang sejak awal menangani kehamilan Aira, ikut hadir dan berdiri tak jauh dari sana.

Dialah yang menjadi saksi perjuangan Aira sejak awal hingga akhir.

Ia yang menahan air mata ketika melihat Aira pergi setelah mempertaruhkan nyawanya demi buah hatinya.

Setelah prosesi pemakaman selesai, Dokter Sarah menghampiri Abraham.

“Tuan Abraham, saya ikut berduka. Aira adalah pasien yang begitu kuat. Dia tahu risikonya, tapi tetap memilih bertahan demi anak-anak ini.”

Abraham mengangguk pelan. “Terima kasih, Dok... karena sudah merawat Aira dengan baik.”

Dokter Sarah menatap dua bayi mungil yang tertidur damai di dalam gendongan Dinda.

“Cinta Aira tidak pergi, Tuan... dia hidup di dalam kedua anak ini. Saya akan bantu yang bisa saya bantu, kapan pun.”

Dengan langkah berat, Abraham menabur bunga terakhir ke atas pusara istrinya.

“Selamat jalan, Ra... istirahatlah. Aku akan menjaga anak-anak kita. Mereka akan tahu betapa luar biasanya ibu mereka.”

Suara doa kembali menggema, dan satu lembar kenangan pun tertutup... namun cintanya akan terus hidup, di hati semua yang mengenalnya.

*****

Beberapa minggu setelah pemakaman, suasana rumah terasa berbeda. Hening. Sunyi.

Tak ada lagi tawa hangat Aira, tak ada aroma masakan favorit Abraham, tak ada langkah riang menyambutnya pulang.

Namun di tengah kehampaan itu, dua bayi mungil hadir sebagai cahaya baru.

Dua pasang mata polos yang belum tahu arti kehilangan, tapi menjadi penguat untuk Abraham berdiri kembali.

Setiap malam, Abraham duduk di depan tempat tidur si kembar.

Ia menatap mereka dengan mata yang tak lagi sesegar dulu, namun penuh kasih sayang.

“Kalian harus tahu... Ibu kalian wanita terkuat yang pernah Ayah kenal. Dia berjuang sampai akhir, untuk kalian.”

Dinda yang kini tinggal bersama mereka membantu merawat si kembar.

Ia menjadi tangan kanan Abraham, sahabat, sekaligus pengingat bahwa hidup harus terus berjalan.

Sesekali Abraham masih memandangi foto Aira di dinding.

Ia akan berbicara dalam hati, seperti sedang berbagi cerita harian.

“Ra... hari ini anak kita sudah bisa tersenyum,” ucapnya pelan, tersenyum getir.

Waktu berjalan, namun cinta Abraham pada Aira tak memudar.

Ia menulis jurnal harian untuk anak-anaknya, berisi kenangan tentang Aira, agar kelak saat mereka tumbuh, mereka tahu betapa besar cinta yang pernah ada.

Dan meski Aira telah tiada, cintanya masih hidup. Dalam senyum bayi-bayi itu.

Dalam pelukan Abraham yang tak pernah menyerah. Dalam doa setiap malam sebelum tidur.

Sejak kepergian Aira, Dinda tak hanya menjadi sahabat, tapi juga tangan kanan yang setia.

Ia pindah sementara ke rumah Abraham, membawa ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk membantu merawat si kembar: Alena dan Arvan.

Setiap pagi, Dinda akan bangun lebih awal. Ia menyiapkan susu, mengganti popok, dan menggendong si kembar satu per satu sambil menyenandungkan lagu-lagu pelan yang dulu sering dinyanyikan Aira.

Ia tahu, tak bisa menggantikan Aira, tapi ia bisa mencintai anak-anak itu sepenuh hatinya.

Abraham, walau masih berkabung, mulai menemukan ketenangan dalam rutinitas baru itu. Ia membantu Dinda sebisa mungkin belajar membuat bubur, membaca buku parenting, bahkan mengganti popok meski awalnya canggung.

"Mas, istirahat dulu. Saya bisa urus Alvin dan Alena malam ini," ucap Dinda suatu malam saat melihat mata Abraham yang lelah.

Abraham menatapnya, mata berkaca. “Terima kasih, Dinda... Aku gak tahu harus bagaimana kalau kamu gak ada.”

Dinda tersenyum kecil. “Kamu gak sendiri, Mas. Kita sama-sama menjaga titipan Aira.”

Malam-malam panjang yang dulu penuh tangis kini mulai terisi tawa kecil.

Rumah itu perlahan hidup kembali, bukan karena melupakan Aira tapi karena cinta yang ditinggalkannya terus tumbuh lewat orang-orang yang masih bertahan.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!